Perlukah Pendidikan Seks di Sekolah?
Oleh: Yudi Juniardi, M.Pd.
Beredarnya video porno (saya lebih suka menyebutnya video tabu) yang ‘diduga’ dilakukan oleh tiga artis papan atas sangat meresahkan masyarakat. Tentunya ada ketakutan dampak negatif yang akan muncul imbas dari peristiwa ini. Belum lagi beberapa media dengan ‘getol’ melansir kabar ini dan diulang-ulang. Walaupun sudah lebih dari sepekan tetapi tetap saja menjadi bahan pemberitaan dan pembicaraan. Selain itu, pihak kepolisan dan sekolah pun melakukan razia handphone yang ada di handphone siswa dan beberapa PNS. Sedihnya adalah ketika ditemukan banyak siswa yang memiliki video tabu tersebut. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak siswa yang telah melihat video ini dan dampak apa yang terjadi setelah melihat tayangan dewasa itu.
Sebagai seorang pendidik dan orangtua, tentunya merasa resah dan ketakutan akan dampak negatif terhadap anak-anak salah satunya adalah perilaku seksual yang menyimpang dan pergaulan seks bebas. Kekhawatiran ini bertambah dengan adanya data penelitian yang menjelaskan bahwa Berdasarkan survei di 33 provinsi di Indonesia, ditemukan 62,7 persen anak-anak perempuan di tingkat SLTP dan SMA sudah tidak perawan seperti ditulis oleh Toto S.Harva, selain itu dengan data yang dirilis Pikiran Rakyat bahwa selama April sampai Juni 2008. kasus AIDS tertinggi di temukan di Jawa Barat yaitu 207 kasus" (PR/23/4). Dapat kita bayangkan jika benar demikian, berarti dari 10 siswa ada 6 orang yang sudah pernah melakukan hubungan seks bebas. Memang bila dilihat sebab akibat, tampaknya perkembangan kasus AIDS tidak terlepas karena adanya pergaulan seks bebas. Tapi anehnya dalam suatu running text disebuah televisi swasta, Mendiknas mengatakan belum perlunya pendidikan seks di sekolah, ini sangat ironis sekali.
Pendidikan Seks Diperlukan
Seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi yang begitu pesat dan canggih, tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat akan dibanjiri oleh informasi baik yang positf maupun negatif. Tentunya hal ini harus dibarengi dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang mendalam dalam hal agama, moral dan pendidikan, sehingga dapat menjadi benteng dan filter dalam memilah mana informasi yang baik atau buruk. Pada kasus video tabu, video ini sangat dengan mudah untuk diunduh kapan saja dan dimana saja tanpa harus minta ijin terlebih dahulu. Bila masyarakat sudah cukup umur dia atas 17 tahun, dewasa, dan dapat membedakan mana yang benar dan salah , tentunya kita tidak khawatir, tetapi, bagi mereka yang di bawah umur seperti siswa SD,SMP, atau SMA, ini sangat riskan karena secara psikologi mereka masih pada posisi labil, serba ingin tahu dan sedang mencari jati diri. Informasi yang paling dominan yang mereka konsumsi tentu itulah yang akan mempengaruhi perkembangan kejiwaan mereka.
Kaitannya dalam pornografi, bukan hal yang tidak mungkin mereka akan mencari tahu secara otodidak. Mengapa demikian?, karena pendidikan seks di masyarakat Indonesia yang memiliki adat budaya ketimuran masih dianggap sangat tabu bahkan dalam lingkungan keluarga pun, masih ada orang tua yang sepertinya enggan untuk menjelaskan secara rinci pertanyaan seputar seksual. Sepertinya ada pemahaman secara konvesional bahwa pada saatnya pun mereka akan “tahu dengan sendirinya”. Nah ini yang berbahaya, karena ada pepatah “mempelajari sesuatu harus ada ilmunya dan gurunya” bila tidak demikian maka akan berbahaya. Terlebih di sekolah belum ada kebijakan atau kurikulum serta muatan yang membahas tentang seksual secara khusus.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pendidikan seksual itu perlu diberikan pada anak? Tentunya bila melihat data penyimpangan perilaku seksual dan penularan AIDS di kalangan remaja perlu dilakukan usaha secara sadar dan terencana dalam mengatasi masalah ini. Setidaknya ada beberapa pihak yang paling berkepentingan seperti keluarga, sekolah, agama, dan lingkungan.
Di lingkungan keluarga, orang tua hendaknya menciptakan suasana keterbukaan agar anak dapat berkeluh kesah atau curhat berkaitan dengan problematika seksual. Orangtua dapat memberikan muatan-muatan pendidikan seksual dalam memberikan nasehat pada anak, misalnya pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, perkembangan reproduksi, dampak pergaulan bebas dan hal lainnya seiring dengan perkembangan wacana pergaulan remaja.
Di rumah juga orang tua harus mensterilisasi semua informasi yang berbau pornografi, baik media cetak, audio aupun audio visual. Bila rumah di lengkapi dengan akses internet orang tua juga harus mengawasi penggunaannya, misalnya internet hanya disimpan ditempat terbuka yang bisa dilihat oleh orang tua, penggunaan internet ditentukan dan dibatasi waktunya. Karena saat ini akses informasi yang paling cepat dan lengkap dapat diperoleh melalui internet (dunia maya) baik yang positif maupun negatif. Dan harus berdasarkan pertimbangan yang matang ketika orang tua memberikan fasilitas handphone kepada anak. Jadi ketika orangtua memberikan akses pada putera-puterinya ini berarti orang tua sudah siap untuk tindakan preventifnya.
Lingkungan sekolah juga sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku seks yang sehat. Sekolah dapat memasukkan pendidikan seks kepada siswa melalui mata pelajaran secara khusus atau integratif dengan pelajaran lain seperti, agama: norma kehidupan beragama , pendidikan kewarganegaraan: moral dan hukum, biologi: fungsi alat reproduksi, pendidikan jasmani dan kesehatan, dan sebagainya.
Di sekolah , akses atau pengaruh negatif dapat diperoleh melalui teman. Terlebih siswa SMP dan SMA kebanyakan memiliki alat komunikasi (hand phone) yang bisa akses internet, jika tidak dikontrol maka alat tersebut dikhawatirkan akan digunakan untuk kegiatan negatif, seperti menngunduh cerita,gambar, atau film porno, transaksi seks bebas dan sebagainya. Bila seperti ini sekolah juga harus memiliki kebijakan untuk mensterilisasi pornografi di sekolah dengan memberikan pemahaman pada siswa tentang dampak buruk pornografi dan melakukan “pemeriksaan” konten negatif yang ada pada alat komunikasi siswa. Sepertinya sekolah harus memiliki kebijakan yang tujuan akhirnya memberikan pendidikan seks dengan tujuan akhir terbinanya karakter yang beriman, bertakwa, tangguh, dan mandiri.
Agama pun turut berperan dalam menciptakan dan memberikan pendidikan seksual. Pendekatan pengajaran agama tidak hanya sekedar doktrin tapi juga harus aplikatif dan dikaitkan dengan wacana kekinian. Sehingga yang siswa dapatkan terasa manfaatnya dan nyata dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebetulnya dalam pelajaran agama pun kita sudah diajarkan hal yang berkaitan dengan seks seperti: nifas, haid, baligh, mandi junub, syarat nikah, wudhu, khitan, dan banyak lagi. Tapi tampaknya harus lebih dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman dan persoalan yang up to date. Misalnya hukumnya dan dampaknya seperti apa dalam agama bila melakukan seks bebas serta melihat pornografi atau menyebarkannya
Penegak hukum saat ini sedang sibuk mencari tahu kebenaran keaslian pemeran dalam video tabu itu, juga siapa yang mengunggah pertama kali video itu. Ini penting, tapi ada yang lebih penting yaitu menjaga mental dan psikologi generasi muda kita dari dampak video tabu itu. Generasi muda kita sudah kewalahan dengan adanya peredaran narkoba yang meraja lela yang sampai saat ini belum tuntas diberantas. Jangan sampai diperparah lagi dengan adanya peredaran video tabu dan pornografi yang dapat berdampak terhadap pergaulan seks bebas. Keluarga, sekolah, dan Lingkungan merupakan tiga mata rantai yang tidak boleh terputus dalam menjaga anak kita terhadap bahaya pornografi dan pergaulan seks bebas. Artinya bila salah satu komponen putus maka sia-sialah dua komponen yang lainnya. Kita tak dapat bayangkan apa yang akan terjadi pada generasi muda kita bila pendidikan seks tidak diberikan, dampak negatifnya akan multi efek: pergaulan seks bebas, narkoba, HIV, Aids, sehingga secara tidak langsung membunuh mereka. Karena bila demikian maka Mereka akan “mati dalam hidup” . Semoga kita dihindarkan dari hal yang demikian.
Jumat, 25 Juni 2010
Jumat, 14 Mei 2010
SEMINAR NASIONAL KEBAHASAAN
SEMINAR NASIONAL KEBAHASAAN
“Implementasi Linguistik dalam pembelajaran Bahasa berdasar KTSP”
1. Pendahuluan
Penerapan KTSP di sekolah memberikan implikasi pada guru untuk menguasai beberapa kompetensi kebahasaan seperti Linguistic competence, socio-competence, dan discourse competence. Tentunya penerapan kompetensi kebahasaan ini tidak dilakukan secara parsial tetapi secara integrasi. Namun dalam penerapannya masih banyak kendala yang dialami guru baik di SMP maupun SMA terutama dalam hal pemahaman kompetensi linguistik itu sendiri dan pengintegrasiannya dalam pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya penggunaan analisis secara linguistic dalam pemberian materi pada siswa. Walaupun ada masih terbatas pada analisis tekstual.
Oleh karena itu dalam rangka memberikan wawasan dan pemahaman secara komprehensip tentang penerapan kompetensi kebahasaan dalam pengajaran bahasa, maka prodi pendidikan bahasa Inggris mengadakan seminar nasional pembelajaran bahasa dengan tema “Implementasi Linguistik dalam pembelajaran Bahasa berdasar KTSP”
2. Pembicara
Prof. Dr. Ahmad HP
Tema: Penerapan Analisis Wacana dalam pembelajaran bahasa berdasar KTSP
Prof. Dr. Basuki
Tema: Penerapan Linguistik dalam pembelajaran bahasa berdasar KTSP
Dr. Ujang Suparman, M.A.
Tema: Penerapan Socio-Linguistik dalam pembelajaran bahasa berdasar KTSP
3. Waktu dan Tempat kegiatan
Hari/ Tanggal : Selasa/ 25 Mei 2010
Waktu : Pukul 9.00 s.d. selesai
Tempat : Rumah Makan S Rizky Serang
4. Pendaftaran
Pendaftaran dapat dilakukan di secretariat panitia : Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Untirta
Atau dapat menghubungi:
Masrupi,M.Pd. Hp. 0815215150630
Pupun Sampurna,Drs, Hp. 087871915514
Yudi Juniardi,M.Pd. Hp. 08128762038
5. Biaya Seminar
Mahasiswa : 75.000
Guru : 100.000
Umum : 150.000
Peserta akan mendapatkan: Sertifikat, makalah, Snack & makan siang
6. Kepanitiaan
Ketua: Yudi Juniardi,M.Pd.
Sekretaris: Pupun Sampurna
Bendahara: Masrupi,M.Pd.
Kesekretariatan : Syafrizal, John Pahamzah
7. Penutup
Demikianlah panduan ini dibuat sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan. Masukan dari berbagai pihak sangat kami harapkan
Serang 01, Mei 2010
Ketua Panitia,
Yudi Juniardi,M.Pd.
Formulir Pendaftaran Seminar Nasional
“Implementasi Linguistik dalam pembelajaran Bahasa berdasar KTSP”
Selasa, 25 Mei 2010
(mohon isi dengan huruf cetak)
Nama: ________________________________________
(Sertifikat akan mengacu pada nama yang tertera di atas)
Afiliasi : _______________________________________
Email : _______________________________________
Alamat : ______________________________________
_____________________________________________
Tlp./HP:___________________Fax: ________________
Cara pembayaran:
Pendaftaran dapat dilakukan di Sekretariat SEMNAS BAHASA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FKIP UNTIRTA
Jalan Raya Jakarta Km 4 Serang – Banten Telp. 08128762038
“Implementasi Linguistik dalam pembelajaran Bahasa berdasar KTSP”
1. Pendahuluan
Penerapan KTSP di sekolah memberikan implikasi pada guru untuk menguasai beberapa kompetensi kebahasaan seperti Linguistic competence, socio-competence, dan discourse competence. Tentunya penerapan kompetensi kebahasaan ini tidak dilakukan secara parsial tetapi secara integrasi. Namun dalam penerapannya masih banyak kendala yang dialami guru baik di SMP maupun SMA terutama dalam hal pemahaman kompetensi linguistik itu sendiri dan pengintegrasiannya dalam pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya penggunaan analisis secara linguistic dalam pemberian materi pada siswa. Walaupun ada masih terbatas pada analisis tekstual.
Oleh karena itu dalam rangka memberikan wawasan dan pemahaman secara komprehensip tentang penerapan kompetensi kebahasaan dalam pengajaran bahasa, maka prodi pendidikan bahasa Inggris mengadakan seminar nasional pembelajaran bahasa dengan tema “Implementasi Linguistik dalam pembelajaran Bahasa berdasar KTSP”
2. Pembicara
Prof. Dr. Ahmad HP
Tema: Penerapan Analisis Wacana dalam pembelajaran bahasa berdasar KTSP
Prof. Dr. Basuki
Tema: Penerapan Linguistik dalam pembelajaran bahasa berdasar KTSP
Dr. Ujang Suparman, M.A.
Tema: Penerapan Socio-Linguistik dalam pembelajaran bahasa berdasar KTSP
3. Waktu dan Tempat kegiatan
Hari/ Tanggal : Selasa/ 25 Mei 2010
Waktu : Pukul 9.00 s.d. selesai
Tempat : Rumah Makan S Rizky Serang
4. Pendaftaran
Pendaftaran dapat dilakukan di secretariat panitia : Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Untirta
Atau dapat menghubungi:
Masrupi,M.Pd. Hp. 0815215150630
Pupun Sampurna,Drs, Hp. 087871915514
Yudi Juniardi,M.Pd. Hp. 08128762038
5. Biaya Seminar
Mahasiswa : 75.000
Guru : 100.000
Umum : 150.000
Peserta akan mendapatkan: Sertifikat, makalah, Snack & makan siang
6. Kepanitiaan
Ketua: Yudi Juniardi,M.Pd.
Sekretaris: Pupun Sampurna
Bendahara: Masrupi,M.Pd.
Kesekretariatan : Syafrizal, John Pahamzah
7. Penutup
Demikianlah panduan ini dibuat sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan. Masukan dari berbagai pihak sangat kami harapkan
Serang 01, Mei 2010
Ketua Panitia,
Yudi Juniardi,M.Pd.
Formulir Pendaftaran Seminar Nasional
“Implementasi Linguistik dalam pembelajaran Bahasa berdasar KTSP”
Selasa, 25 Mei 2010
(mohon isi dengan huruf cetak)
Nama: ________________________________________
(Sertifikat akan mengacu pada nama yang tertera di atas)
Afiliasi : _______________________________________
Email : _______________________________________
Alamat : ______________________________________
_____________________________________________
Tlp./HP:___________________Fax: ________________
Cara pembayaran:
Pendaftaran dapat dilakukan di Sekretariat SEMNAS BAHASA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FKIP UNTIRTA
Jalan Raya Jakarta Km 4 Serang – Banten Telp. 08128762038
Selasa, 11 Mei 2010
Sekolah bertaraf Internasional
SBI: Sekolah Bertaraf Internasional Atau Bertarif Internasional ???
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd.
Setelah menyelesaikan ujian disekolah baik di level SD,SMP, maupun SMA, orang tua dihadapkan lagi dengan permasalahan baru “ke sekolah mana saya akan mendaftarkan anak saya? Orang tua tentunya ingin mendaftarkan ke sekolah yang terakreditasi, bergengsi, dan satu lagi sekolah bertaraf internasional. Saat ini banyak orang tua siswa mempertanyakan hal – hal seputar sekolah berstandar internasional. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat ingin putera-puterinya untuk masuk ke sekolah berstandar internasional baik yang di SD, SMP, maupun SMA. Juga adanya keingin tahuan apa beda sekolah bertaraf internasional dan yang konvensional.
Selain itu, kita juga sangat berharap bahwa SBI yang ada di Banten memang SBI yang sesuai dengan pedoman atau permendiknas yang ada tentang SBI. Artinya tidak hanya namanya yang berubah tetapi kualitas pembelajarannya juga berubah sesuai yang dipersyaratkan.
Tidak bisa tutup mata bahwa saat ini persaingan dalam dunia pendidikan sangat ketat. Yang tidak bisa berkompetisi akan tertinggal (left behind). Sekolah bila tidak melihat hal ini akan tertinggal dan ditinggalkan oleh masyarakat. Pada ulasan sederhana ini akan dipaparkan apa itu SBI, Pengelolaannya seperti apa, kurikulumnya seperti apa, dan sarana serta prasarananya seperti apa.
Sekolah Bertaraf Internasional
Menurut permendiknas no 78 tahun 2009 tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional, Sekolah bertaraf internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang
sudah memenuhi seluruh SNP Standar Nasional Pendidikan, yaitu kriteria minimal sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-Operation and Development) yaitu organisasi internasional yang tujuannya membantu pemerintahan negara anggotanya untuk menghadapi tantangan globalisasi
ekonomi. atau negara maju lainnya. Negara maju lainnya adalah negara yang tidak termasuk dalam keanggotaan OECD tetapi memiliki keunggulan dalam bidang pendidikan tertentu.
Jadi SBI adalah SNP plus kurikulum Negara maju. Ketika sekolah melaksanakan SBI, kurikulumnya tidak hanya berdasar SPN tapi juga ditambah dengan kurikulum yang dipakai oleh Negara-negara maju yang tergabung dalam OECD. seperti: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore dan Hongkong yang mutunya telah diakui secara internasional
SBI yang diprogramkan pemerintah bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki : pertama, kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD atau negara maju lainnya; kedua, daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan keunggulan lokal ditingkat internasional; ketiga, kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya; keempat, kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan; dan yang terakhir kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5) dalam skala internet based test (IBT) bagi SMA, skor TOEIC 450 bagi SMK), dan/atau bahasa asing lainnya.
Bila melihat tujuan di atas tampaknya benang merah semua ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan dan mampu bersaing di level internasional. Sekolah juga diharapkan memunculkan keunggulan local di tingkat internasional.
Komponen SBI
Beberapa komponen yang mendasari dan membedakan SBI dengan sekolah lainnya dapat dilihat dari standar pelayanan dan komponen pembelajaranya. Pada Pasal 3 permen 78/2009 dikatakan bahwa SBI pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diselenggarakan setelah memenuhi seluruh 8 (delapan) unsur SNP yang diperkaya dengan standar pendidikan negara anggota OECD atau negara maju lainnya.
Selain itu kurikulum yang digunakan disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diperkaya dengan standar dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Artinya harus ada muatan lebih yang mengacu pada kompetensi lulusan pada sekolah yang tergabung dalam OECD.
Tidak sama dengan sekolah biasa atau konvensional, dalam pembelajarannya SBI menerapkan satuan kredit semester (SKS) pada jenjang SMP, SMA, dan SMK. Proses Pembelajaran dilakukan menggunakan sarana IT (informasi dan teknologi). SBI menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan kontekstual.
Bahasa pengatar yang digunakanpun tidak hanya satu bahasa tapi juga menggunakan pengantar bahasa asing. SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. Artinya tidak semua pelajaran harus menggunakan bahasa asing ada kekecualian untuk matpel tertentu seperti Pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan local masih dibolehkan menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Dan pada penggunaan bahasa asing ini tidak dimulai sejak kelas satu, misalnya untuk SD dimulai dari kelas IV untuk SD. Bila melihat bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran, ini berarti guru di SBI diharuskan menguasai bahasa asing.
Karakteristik yang dominan lainya adalah kompetensi guru. Pada SBI Pendidik SBI harus memenuhi standar pendidik yang diperkaya dengan standar , pendidik sekolah dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Kemudian Seluruh pendidik mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Jadi guru di sini bukanlah guru yang jadul (jaman dulu) tapi harus dapat menguasai penggunaan media hitech. Ditambah, guru harus menguasai bahasa asing kecuali pada mata pelajaran tertentu seperti yang disebutkan di atas
Karena SBI memfokuskan pada peningkatan kualitas dan daya saing, maka latar belakang guru pun menjadi pertimbangan. Berdasarkan pasal 6 permendiknas No 78/2009 Pada SD bertaraf internasional harus memiliki paling sedikit 10% pendidik yang berpendidikan S2 atau S3 pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) dan/atau berpendidikan S2 atau S3 sesuai dengan mata pelajaran yang diampu dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi. Pada levelSMP bertaraf internasional memiliki paling sedikit 20% pendidik yang berpendidikan S2 atau S3 sesuai dengan bidang studi yang diampu dari perguruan tinggi yang program studinya sudah terakreditasi.
Pada level SMA dan SMK bertaraf internasional memiliki paling sedikit 30% pendidik yang berpendidikan S2 atau S3 sesuai dengan bidang studi yang diampu dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi. Khusus di SMK Pendidik mata pelajaran kejuruan pada SMK harus memiliki sertifikat kompetensi dari lembaga sertifikasi kompetensi, dunia usaha/industri, asosiasi profesi yang diakui secara nasional atau internasional. Untuk membuktikan bahwa guru itu dapat berbahasa asing Pendidik memiliki skor TOEFL ≥ 7,5 (IBT) atau yang setara atau bahasa asing lainnya yang ditetapkan sebagai bahasa pengantar pembelajaran pada SBI yang bersangkutan
Bukan hal yang mudah dan murah, dalam SBI sarana dan prasarananya pun betul - betul diperhatikan. Misalnya sarana prasarana harus sesuai dengan standar pendidikan Negara OECD. Setiap ruang kelas SBI dilengkapi dengan sarana pembelajaran berbasis TIK. Untuk perpustakaan, SBI memiliki perpustakaan yang dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran di seluruh dunia (e-library). Agar kompetensi gurunya meningkat, SBI memiliki ruang dan fasilitas untuk mendukung pengembangan profesionalisme guru. Terakhir, SBI melengkapi sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan peserta didik untuk mengembangkan potensinya dibidang akademik dan non-akademik.
Agar pengelolaan SBI terstandar dan terjamin maka Pengelolaan SBI harus memenuhi standar pengelolaan yang diperkaya dengan standar pengelolaan sekolah di negara anggota OECD atau negara maju lainnya; menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir; menjalin kemitraan dengan sekolah unggul di dalam negeri dan/atau di Negara maju; mempersiapkan peserta didik yang diharapkan mampu meraih prestasi tingkat nasional dan/atau internasional pada aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni; dan menerapkan sistem administrasi sekolah berbasis teknologi informasi dan komunikasi pada 8 (delapan) standar nasional pendidikan.
Pengawasan penyelenggaraan dan pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah bertaraf internasional mencakup pengawasan akademik dan nonakademik. Peran pemerintah sangat signifikan dalam pengawasan mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Pada tingkat pusat Pemerintah melakukan pengawasan secara nasional terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada SBI. Pada tingkat peovinsi, Pemerintah provinsi melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada SBI yang menjadi kewenangannya. Dan di tingkat kabupaten, Pemerintah kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada SBI yang menjadi kewenangannya.
Kesiapan dan problematika di Banten
Bila melihat paparan di atas, bukanlah hal sederhana membentuk SBI. Pemerintah pun secara gradual mendorong sekolah untuk menjadi SBI. Sekolah yang berstandar internasional adalah sekolah yang benar-benar unggul karena sebelum menjadi SBI mereka harus sudah melewati beberapa syarat seperti terkareditasi A, SBN, dan RSBI. Karena kompleksnya persyaratan ini, maka pemerintah tidak serta merta mendorong semua sekolah menjadi SBI. Setidaknya pemerintah mendorong setiap kabupaten memiliki minimal satu sekolah SBI mulai dari level SD,SMP,dan SMA.
Di provinsi Banten sudah mulai dilakukan persiapan SBI. Sekolah-sekolah favorit juga sudah menyandang label SBI. Misalnya untuk daerah Kota Serang untuk level SMP terpilih SMPN 1 dan untuk level SMA dan SMK terpilih SMAN 1 dan SMKN1 kota serang. Namun sayangnya masih ada kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaannya terutama dalam hal sarana dan prasarana dan pendidik. Betulkah sekolah SBI itu setiap kelas sudah dilengkapi dengan media informasi dan teknologi yang standar? Apakah kompetensi pendidik sesuai dengan yang dipersyaratkan termasuk kualifikasi pendidikannya? Apakah penggunaan bahasa Inggris atau asing sudah benar-benar digunakan sebagai bahasa pengantar pembelajaran? Karena berdasarkan hasil penelitian mahasiswa bahasa Inggris FKIP Untirta tahun 2009 di beberapa SBI di kota serang, guru masih dominan menggunakan bahasa Indonesia dengan prosentase tidak sampai 10% selama jam pembelajaran. Sering kali siswa tertawa-tawa (terkesan lucu) ketika melihat gurunya berbahasa Inggris tidak gramatikal dan dicampur dengan bahasa Indonesia.
Melihat problematika itu, tentunya bukanlah hal yang sederhana. Harus ada upaya sekolah dan pemerintah secara aktif dalam mengatasi hal tersebut. Perlu adanya kerjasama yang melibatkan perguruan tinggi misalnya untuk mempersiapkan guru berkualifikasi S2 bisa bekerjasama dengan program Pascasarjana Untirta atau pascasarjana lainnya. Kemudian untuk mempersiapkan guru berkemmpuan bahasa Inggris yang baik bisa menggandeng Untirta dan IAIN Hasanudin yang memiliki prodi Bahasa Inggris untuk mengadakan pelatihan kompetensi berbahasa Inggrus. Secara komprehensif pemerintah daerah dapat membuat task force yang melibatkan diknas, LPMP, perguruan tinggi, stake holder untuk menyempurnakan program SBI yang dilaksanakan di Banten
Karena pemerintah sudah mengundang-undangkan SBI dan diperjelas dengan permendiknas no 78/2009, tidak ada alasan SBI untuk tidak dapat dilaksanakan di daerah. Bahkan untuk pendanaan pun dibantu oleh pemerintah daerah, pemprov, dan pusat. Ketika suatu kabupaten tidak dapat mengadakan SBI maka akan dilimpahkan/dibantu oleh pemprov. Begitu juga ketika provinsi tidak dapat mendanai maka akan dibantu oleh pusat.
Sebagai masyarakat Banten yang bergelut dalam bidang pendidikan, saya berharap program ini tidak hanya jargon saja, tetapi betul-betul pelaksanaannya sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Jangan sampai masyarakat mengeluh dan mencemooh dengan mengatakan ini sekolah bertaraf internasional atau bertarif internasional? Artinya jangan tarifnya saja yang internasional tapi taraf dan kualitasnya juga harus internasional. Semoga
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd.
Setelah menyelesaikan ujian disekolah baik di level SD,SMP, maupun SMA, orang tua dihadapkan lagi dengan permasalahan baru “ke sekolah mana saya akan mendaftarkan anak saya? Orang tua tentunya ingin mendaftarkan ke sekolah yang terakreditasi, bergengsi, dan satu lagi sekolah bertaraf internasional. Saat ini banyak orang tua siswa mempertanyakan hal – hal seputar sekolah berstandar internasional. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat ingin putera-puterinya untuk masuk ke sekolah berstandar internasional baik yang di SD, SMP, maupun SMA. Juga adanya keingin tahuan apa beda sekolah bertaraf internasional dan yang konvensional.
Selain itu, kita juga sangat berharap bahwa SBI yang ada di Banten memang SBI yang sesuai dengan pedoman atau permendiknas yang ada tentang SBI. Artinya tidak hanya namanya yang berubah tetapi kualitas pembelajarannya juga berubah sesuai yang dipersyaratkan.
Tidak bisa tutup mata bahwa saat ini persaingan dalam dunia pendidikan sangat ketat. Yang tidak bisa berkompetisi akan tertinggal (left behind). Sekolah bila tidak melihat hal ini akan tertinggal dan ditinggalkan oleh masyarakat. Pada ulasan sederhana ini akan dipaparkan apa itu SBI, Pengelolaannya seperti apa, kurikulumnya seperti apa, dan sarana serta prasarananya seperti apa.
Sekolah Bertaraf Internasional
Menurut permendiknas no 78 tahun 2009 tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional, Sekolah bertaraf internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang
sudah memenuhi seluruh SNP Standar Nasional Pendidikan, yaitu kriteria minimal sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-Operation and Development) yaitu organisasi internasional yang tujuannya membantu pemerintahan negara anggotanya untuk menghadapi tantangan globalisasi
ekonomi. atau negara maju lainnya. Negara maju lainnya adalah negara yang tidak termasuk dalam keanggotaan OECD tetapi memiliki keunggulan dalam bidang pendidikan tertentu.
Jadi SBI adalah SNP plus kurikulum Negara maju. Ketika sekolah melaksanakan SBI, kurikulumnya tidak hanya berdasar SPN tapi juga ditambah dengan kurikulum yang dipakai oleh Negara-negara maju yang tergabung dalam OECD. seperti: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore dan Hongkong yang mutunya telah diakui secara internasional
SBI yang diprogramkan pemerintah bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki : pertama, kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD atau negara maju lainnya; kedua, daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan keunggulan lokal ditingkat internasional; ketiga, kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya; keempat, kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan; dan yang terakhir kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5) dalam skala internet based test (IBT) bagi SMA, skor TOEIC 450 bagi SMK), dan/atau bahasa asing lainnya.
Bila melihat tujuan di atas tampaknya benang merah semua ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan dan mampu bersaing di level internasional. Sekolah juga diharapkan memunculkan keunggulan local di tingkat internasional.
Komponen SBI
Beberapa komponen yang mendasari dan membedakan SBI dengan sekolah lainnya dapat dilihat dari standar pelayanan dan komponen pembelajaranya. Pada Pasal 3 permen 78/2009 dikatakan bahwa SBI pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diselenggarakan setelah memenuhi seluruh 8 (delapan) unsur SNP yang diperkaya dengan standar pendidikan negara anggota OECD atau negara maju lainnya.
Selain itu kurikulum yang digunakan disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diperkaya dengan standar dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Artinya harus ada muatan lebih yang mengacu pada kompetensi lulusan pada sekolah yang tergabung dalam OECD.
Tidak sama dengan sekolah biasa atau konvensional, dalam pembelajarannya SBI menerapkan satuan kredit semester (SKS) pada jenjang SMP, SMA, dan SMK. Proses Pembelajaran dilakukan menggunakan sarana IT (informasi dan teknologi). SBI menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan kontekstual.
Bahasa pengatar yang digunakanpun tidak hanya satu bahasa tapi juga menggunakan pengantar bahasa asing. SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. Artinya tidak semua pelajaran harus menggunakan bahasa asing ada kekecualian untuk matpel tertentu seperti Pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan local masih dibolehkan menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Dan pada penggunaan bahasa asing ini tidak dimulai sejak kelas satu, misalnya untuk SD dimulai dari kelas IV untuk SD. Bila melihat bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran, ini berarti guru di SBI diharuskan menguasai bahasa asing.
Karakteristik yang dominan lainya adalah kompetensi guru. Pada SBI Pendidik SBI harus memenuhi standar pendidik yang diperkaya dengan standar , pendidik sekolah dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Kemudian Seluruh pendidik mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Jadi guru di sini bukanlah guru yang jadul (jaman dulu) tapi harus dapat menguasai penggunaan media hitech. Ditambah, guru harus menguasai bahasa asing kecuali pada mata pelajaran tertentu seperti yang disebutkan di atas
Karena SBI memfokuskan pada peningkatan kualitas dan daya saing, maka latar belakang guru pun menjadi pertimbangan. Berdasarkan pasal 6 permendiknas No 78/2009 Pada SD bertaraf internasional harus memiliki paling sedikit 10% pendidik yang berpendidikan S2 atau S3 pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) dan/atau berpendidikan S2 atau S3 sesuai dengan mata pelajaran yang diampu dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi. Pada levelSMP bertaraf internasional memiliki paling sedikit 20% pendidik yang berpendidikan S2 atau S3 sesuai dengan bidang studi yang diampu dari perguruan tinggi yang program studinya sudah terakreditasi.
Pada level SMA dan SMK bertaraf internasional memiliki paling sedikit 30% pendidik yang berpendidikan S2 atau S3 sesuai dengan bidang studi yang diampu dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi. Khusus di SMK Pendidik mata pelajaran kejuruan pada SMK harus memiliki sertifikat kompetensi dari lembaga sertifikasi kompetensi, dunia usaha/industri, asosiasi profesi yang diakui secara nasional atau internasional. Untuk membuktikan bahwa guru itu dapat berbahasa asing Pendidik memiliki skor TOEFL ≥ 7,5 (IBT) atau yang setara atau bahasa asing lainnya yang ditetapkan sebagai bahasa pengantar pembelajaran pada SBI yang bersangkutan
Bukan hal yang mudah dan murah, dalam SBI sarana dan prasarananya pun betul - betul diperhatikan. Misalnya sarana prasarana harus sesuai dengan standar pendidikan Negara OECD. Setiap ruang kelas SBI dilengkapi dengan sarana pembelajaran berbasis TIK. Untuk perpustakaan, SBI memiliki perpustakaan yang dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran di seluruh dunia (e-library). Agar kompetensi gurunya meningkat, SBI memiliki ruang dan fasilitas untuk mendukung pengembangan profesionalisme guru. Terakhir, SBI melengkapi sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan peserta didik untuk mengembangkan potensinya dibidang akademik dan non-akademik.
Agar pengelolaan SBI terstandar dan terjamin maka Pengelolaan SBI harus memenuhi standar pengelolaan yang diperkaya dengan standar pengelolaan sekolah di negara anggota OECD atau negara maju lainnya; menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir; menjalin kemitraan dengan sekolah unggul di dalam negeri dan/atau di Negara maju; mempersiapkan peserta didik yang diharapkan mampu meraih prestasi tingkat nasional dan/atau internasional pada aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni; dan menerapkan sistem administrasi sekolah berbasis teknologi informasi dan komunikasi pada 8 (delapan) standar nasional pendidikan.
Pengawasan penyelenggaraan dan pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah bertaraf internasional mencakup pengawasan akademik dan nonakademik. Peran pemerintah sangat signifikan dalam pengawasan mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Pada tingkat pusat Pemerintah melakukan pengawasan secara nasional terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada SBI. Pada tingkat peovinsi, Pemerintah provinsi melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada SBI yang menjadi kewenangannya. Dan di tingkat kabupaten, Pemerintah kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada SBI yang menjadi kewenangannya.
Kesiapan dan problematika di Banten
Bila melihat paparan di atas, bukanlah hal sederhana membentuk SBI. Pemerintah pun secara gradual mendorong sekolah untuk menjadi SBI. Sekolah yang berstandar internasional adalah sekolah yang benar-benar unggul karena sebelum menjadi SBI mereka harus sudah melewati beberapa syarat seperti terkareditasi A, SBN, dan RSBI. Karena kompleksnya persyaratan ini, maka pemerintah tidak serta merta mendorong semua sekolah menjadi SBI. Setidaknya pemerintah mendorong setiap kabupaten memiliki minimal satu sekolah SBI mulai dari level SD,SMP,dan SMA.
Di provinsi Banten sudah mulai dilakukan persiapan SBI. Sekolah-sekolah favorit juga sudah menyandang label SBI. Misalnya untuk daerah Kota Serang untuk level SMP terpilih SMPN 1 dan untuk level SMA dan SMK terpilih SMAN 1 dan SMKN1 kota serang. Namun sayangnya masih ada kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaannya terutama dalam hal sarana dan prasarana dan pendidik. Betulkah sekolah SBI itu setiap kelas sudah dilengkapi dengan media informasi dan teknologi yang standar? Apakah kompetensi pendidik sesuai dengan yang dipersyaratkan termasuk kualifikasi pendidikannya? Apakah penggunaan bahasa Inggris atau asing sudah benar-benar digunakan sebagai bahasa pengantar pembelajaran? Karena berdasarkan hasil penelitian mahasiswa bahasa Inggris FKIP Untirta tahun 2009 di beberapa SBI di kota serang, guru masih dominan menggunakan bahasa Indonesia dengan prosentase tidak sampai 10% selama jam pembelajaran. Sering kali siswa tertawa-tawa (terkesan lucu) ketika melihat gurunya berbahasa Inggris tidak gramatikal dan dicampur dengan bahasa Indonesia.
Melihat problematika itu, tentunya bukanlah hal yang sederhana. Harus ada upaya sekolah dan pemerintah secara aktif dalam mengatasi hal tersebut. Perlu adanya kerjasama yang melibatkan perguruan tinggi misalnya untuk mempersiapkan guru berkualifikasi S2 bisa bekerjasama dengan program Pascasarjana Untirta atau pascasarjana lainnya. Kemudian untuk mempersiapkan guru berkemmpuan bahasa Inggris yang baik bisa menggandeng Untirta dan IAIN Hasanudin yang memiliki prodi Bahasa Inggris untuk mengadakan pelatihan kompetensi berbahasa Inggrus. Secara komprehensif pemerintah daerah dapat membuat task force yang melibatkan diknas, LPMP, perguruan tinggi, stake holder untuk menyempurnakan program SBI yang dilaksanakan di Banten
Karena pemerintah sudah mengundang-undangkan SBI dan diperjelas dengan permendiknas no 78/2009, tidak ada alasan SBI untuk tidak dapat dilaksanakan di daerah. Bahkan untuk pendanaan pun dibantu oleh pemerintah daerah, pemprov, dan pusat. Ketika suatu kabupaten tidak dapat mengadakan SBI maka akan dilimpahkan/dibantu oleh pemprov. Begitu juga ketika provinsi tidak dapat mendanai maka akan dibantu oleh pusat.
Sebagai masyarakat Banten yang bergelut dalam bidang pendidikan, saya berharap program ini tidak hanya jargon saja, tetapi betul-betul pelaksanaannya sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Jangan sampai masyarakat mengeluh dan mencemooh dengan mengatakan ini sekolah bertaraf internasional atau bertarif internasional? Artinya jangan tarifnya saja yang internasional tapi taraf dan kualitasnya juga harus internasional. Semoga
revisi ujian nasional
REVISI UJIAN NASIONAL
Oleh: Yudi Juniardi
Pengumuman Ujian Nsional (UN) SMA hasilnya sudah diumumkan pada tanggal 26 April 2010 dan secara umum ada penurunan prosentase kelulusan khususnya di Banten, tidak menembus angka kelulusan di atas 90%, Begitu juga dengan SMP mengalami penurunan. Namun demikian kita perlu arif dalam melihat penurunan ini, karena indicator baik buruknya ujian nasional adalah validitas dan reliabilitas instrument tes tersebut: apakah tesnya sudah mengukur yang seharusnya dan kejegannya terjaga, dan bisa membedakan yang pintar dan yang kurang. Dan tentunya angka kelulusannya. Idealnya adalah instrument Ujian Nasional valid dan reliable dan siswa lulus UN. Jadi apapun hasilnya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah dan sekolah adalah mengidentifikasi kelemahan –kelemahan yang ada baik siswa, kurikulum, sekolah, dan factor lainnya yang berkaitan dengan Proses Belajar, tentunya tes itu sendiri; apakah sudah sesuai belum dengan yang diharapkan. Membaca tulisan Muhibidin di Radar Banten (30/4) siswa pintar gagal UN adalah salah satu kelemahan alat tes UN itu sendiri; memiliki daya pembeda yang rendah. Belum lagi secara nasional ada 267 sekolah yang 100% gagal UN dan mirisnya terjadi tidak hanya pada sekolah swasta saja tapi juga pada sekolah negeri.
Melihat kegagalan sekolah dalam UN (kelulusan 0%) Perlu juga diketahui dan dikaji secara mendalam apa status akreditasi dari sekolah yang gagal itu dan bagaimana kondisi pengajarnya, serta input siswanya itu sendiri. Dengan demikian dapat diketahui factor-faktor yang berkorelasi dan berpengaruh terhadap kegagalan UN di sekolah. Karena seperti kita ketahui pemerintah sudah mengeluarkan biaya yang besar untuk kegiatan akreditasi sekolah dan sertifikasi guru. Artinya, akreditasi sekolah yang bagus dan guru yang tersertifikasi harus berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan. Begitu juga guru yang sudah tersertifikasi sebagai guru proesional harus menunjukkan eksistensinya.
Revisi Ujian Nasional
Banyak kalangan yang ingin menghapuskan UN (ujian Nasional), tetapi itu adalah hal yang keliru, karena dimanapun yang namanya proses pembelajaran setelah menyelesaikan sebuah program harus dilakukan evaluasi atau ujian. Bila tidak, maka tidak dapat diketahui keberhasilan pembelajaran itu. Namun demikian, mungkin ke depan UN teknisnya harus direvisi. Pertama, UN harus selaras dengan karakter kurikulum yang berlaku di Sekolah. Apabila pendekatan yang digunakan adalah KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) maka ujian nasional pun harus senapas dan selaras dengan kurikulum itu. Bisa dikatakan UN yang sekarang hanya mengukur domain kognitif saja, pada hal dalam KTSP pendekatannya sudah pada domain kompetensi.
Kedua, soal UN harus beragam dan disesuaikan dengan tingkat sekolah itu sendiri. Seperti kita ketahui dengan adanya akreditasi sekolah, sekolah memiliki akreditasi yang berbeda dan tingkat kelulusan pun harus disesuaikan. Misalnya passing grade kelulusan sekolah yang berakreditasi A harus berbeda dengan sekolah yang berakreditasi B dan C, sehingga ada asas keadilan.
Ketiga, penentuan kelulusan harus juga menyertakan penilaian yang dilakukan pihak sekolah. Misalnya nilai praktek juga harus diperhitungkan. Percuma saja sekolah melakukan ujian praktek jika hasilnya tidak berkontribusi apa-apa, terhadap kelulusan. Jika memungkinkan sekolahlah yang memutuskan apakah siswanya lulus atau tidak. Karena idealnya penilaian siswa harus komprehensif dilihat dari input dan proses yang telah dilaluinya.
Keempat, Idealnya proses pendidikan berjalan secara humanis, akademis, dan didaktis. Bukan unsur politis dan hukum. Dalam pelaksanaannya Jangan samakan Ujian Nasional dengan pemilihan umum. Dalam pengawasan UN yang terlibat hendaknya orang yang terlibat dalam ranah pendidikan sehingga bila terjadi problematika dalam penyelenggaraan ujian dapat diselesaikan dengan pendekatan akademis dan didaktis.
Hadirnya polisi dalam ujian nasional (tanpa menyampingkan peran polri) adalah baik tapi ini akan memberi dampak psikologis bagi siswa seperti kecemasan dan seperti orang pesakitan (dicurigai). Bila ini terjadi maka siswa akan tidak konsentrasi dan ketakutan dalam melakukan ujian sehingga berdampak tidak maksimalnya mengerjakan ujian. Sepertinya hanya ada di Indonesia ujian sekolah diawasi oleh polisi. Stigma negative pun akan muncul, seperti pendidikan kita cenderung manipulative dan tidak jujur, sehingga orang luar akan meragukan kualitas pendidikan Indonesia.
Di atas adalah pernak-pernik ujian nasional yang terjadi dalam Ujian Nasional 2010, khususnya di Banten. Semoga ke depan UN tahun 2011 terus diperbaiki teknis penyelenggaraannya sehingga UN yang jujur dan credible dapat terlaksana dengan diiring kualitas lulusan yang baik. Semoga.
___________________________
Oleh: Yudi Juniardi
Pengumuman Ujian Nsional (UN) SMA hasilnya sudah diumumkan pada tanggal 26 April 2010 dan secara umum ada penurunan prosentase kelulusan khususnya di Banten, tidak menembus angka kelulusan di atas 90%, Begitu juga dengan SMP mengalami penurunan. Namun demikian kita perlu arif dalam melihat penurunan ini, karena indicator baik buruknya ujian nasional adalah validitas dan reliabilitas instrument tes tersebut: apakah tesnya sudah mengukur yang seharusnya dan kejegannya terjaga, dan bisa membedakan yang pintar dan yang kurang. Dan tentunya angka kelulusannya. Idealnya adalah instrument Ujian Nasional valid dan reliable dan siswa lulus UN. Jadi apapun hasilnya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah dan sekolah adalah mengidentifikasi kelemahan –kelemahan yang ada baik siswa, kurikulum, sekolah, dan factor lainnya yang berkaitan dengan Proses Belajar, tentunya tes itu sendiri; apakah sudah sesuai belum dengan yang diharapkan. Membaca tulisan Muhibidin di Radar Banten (30/4) siswa pintar gagal UN adalah salah satu kelemahan alat tes UN itu sendiri; memiliki daya pembeda yang rendah. Belum lagi secara nasional ada 267 sekolah yang 100% gagal UN dan mirisnya terjadi tidak hanya pada sekolah swasta saja tapi juga pada sekolah negeri.
Melihat kegagalan sekolah dalam UN (kelulusan 0%) Perlu juga diketahui dan dikaji secara mendalam apa status akreditasi dari sekolah yang gagal itu dan bagaimana kondisi pengajarnya, serta input siswanya itu sendiri. Dengan demikian dapat diketahui factor-faktor yang berkorelasi dan berpengaruh terhadap kegagalan UN di sekolah. Karena seperti kita ketahui pemerintah sudah mengeluarkan biaya yang besar untuk kegiatan akreditasi sekolah dan sertifikasi guru. Artinya, akreditasi sekolah yang bagus dan guru yang tersertifikasi harus berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan. Begitu juga guru yang sudah tersertifikasi sebagai guru proesional harus menunjukkan eksistensinya.
Revisi Ujian Nasional
Banyak kalangan yang ingin menghapuskan UN (ujian Nasional), tetapi itu adalah hal yang keliru, karena dimanapun yang namanya proses pembelajaran setelah menyelesaikan sebuah program harus dilakukan evaluasi atau ujian. Bila tidak, maka tidak dapat diketahui keberhasilan pembelajaran itu. Namun demikian, mungkin ke depan UN teknisnya harus direvisi. Pertama, UN harus selaras dengan karakter kurikulum yang berlaku di Sekolah. Apabila pendekatan yang digunakan adalah KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) maka ujian nasional pun harus senapas dan selaras dengan kurikulum itu. Bisa dikatakan UN yang sekarang hanya mengukur domain kognitif saja, pada hal dalam KTSP pendekatannya sudah pada domain kompetensi.
Kedua, soal UN harus beragam dan disesuaikan dengan tingkat sekolah itu sendiri. Seperti kita ketahui dengan adanya akreditasi sekolah, sekolah memiliki akreditasi yang berbeda dan tingkat kelulusan pun harus disesuaikan. Misalnya passing grade kelulusan sekolah yang berakreditasi A harus berbeda dengan sekolah yang berakreditasi B dan C, sehingga ada asas keadilan.
Ketiga, penentuan kelulusan harus juga menyertakan penilaian yang dilakukan pihak sekolah. Misalnya nilai praktek juga harus diperhitungkan. Percuma saja sekolah melakukan ujian praktek jika hasilnya tidak berkontribusi apa-apa, terhadap kelulusan. Jika memungkinkan sekolahlah yang memutuskan apakah siswanya lulus atau tidak. Karena idealnya penilaian siswa harus komprehensif dilihat dari input dan proses yang telah dilaluinya.
Keempat, Idealnya proses pendidikan berjalan secara humanis, akademis, dan didaktis. Bukan unsur politis dan hukum. Dalam pelaksanaannya Jangan samakan Ujian Nasional dengan pemilihan umum. Dalam pengawasan UN yang terlibat hendaknya orang yang terlibat dalam ranah pendidikan sehingga bila terjadi problematika dalam penyelenggaraan ujian dapat diselesaikan dengan pendekatan akademis dan didaktis.
Hadirnya polisi dalam ujian nasional (tanpa menyampingkan peran polri) adalah baik tapi ini akan memberi dampak psikologis bagi siswa seperti kecemasan dan seperti orang pesakitan (dicurigai). Bila ini terjadi maka siswa akan tidak konsentrasi dan ketakutan dalam melakukan ujian sehingga berdampak tidak maksimalnya mengerjakan ujian. Sepertinya hanya ada di Indonesia ujian sekolah diawasi oleh polisi. Stigma negative pun akan muncul, seperti pendidikan kita cenderung manipulative dan tidak jujur, sehingga orang luar akan meragukan kualitas pendidikan Indonesia.
Di atas adalah pernak-pernik ujian nasional yang terjadi dalam Ujian Nasional 2010, khususnya di Banten. Semoga ke depan UN tahun 2011 terus diperbaiki teknis penyelenggaraannya sehingga UN yang jujur dan credible dapat terlaksana dengan diiring kualitas lulusan yang baik. Semoga.
___________________________
Rabu, 21 April 2010
Ujian Nasional perlu direvisi
UJIAN NASIONAL PERLU DI REVISI
Oleh: Yudi Juniardi
Usai sudah penyelenggaran Ujian Nasional di SMA dan SMP tahun 2010. Secara umum berjalan relative lancar sesuai dengan yang diharapkan tidak ada kasus yang menghebohkan, walaupun ada hal-hal kecil kejadian yang mewarnai ujian nasional, baik di SMA maupun di SMP.
Walaupun hasil UN belum diumumkan nampaknya sudah dapat direkomendasikan beberapa hal untuk penyelenggaraan UN ke depan agar lebih baik: jujur dan credible. Dua variable ini diangkat karena UN 2010 yang diselenggarakan di Banten (seperti diberitakan di harian local Banten) diwarnai adanya kejadian-kejadian yang tidak diharapkan seperti ‘diduga’ ditemukannya kunci jawaban bahasa Inggris dan bahasa Indonesia pada UN SMA yang melibatkan siswa SMA favorit di Serang. Kemudian ‘diduga’ ditemukannya kunci jawaban bahasa Inggris siswa di tempat sampah sekolah setelah ujian berlangsung pada UN SMP. Melihat problematika ini Kemudian salah satu anggota dewan yang melakukan kunjungan kesekolah nampaknya geram dan berharap kinerja TPI (Tim Pemantau Independen) untuk di evaluasi. Beberapa masalah ini hendaknya dicermati dan direnungkan agar UN kedepan menjadi lebih baik.
Berkaitan dengan ‘diduga’ adanya kunci jawaban UN pada level SMA , ini menjadi sorotan public dan membuat masyarakat resah sehingga polisi pun melakukan penyelidikan dan dengan cepat menangkap orang-orang yang terlibat (siswa), sebuah prestasi kerja yang luar biasa. Dan hingga saat ini kasusnya masih berjalan. Tapi yang paling penting dari semua ini adalah bagaimana mengungkap secara tuntas semuanya dari hulu sampai hilir, ibarat gambar , potongan-potongan itu menjadi gambar yang sempurna dan dapat dipahami sehingga tidak salah tafsir.
Untuk kasus UN SMA, dilihat dari waktu peristiwa tertangkapnya siswa yang membocorkan dan menyebarkan ‘kunci jawaban’, semua terjadi di luar sekolah dan pada waktu sore hari ini berarti bahwa kerawanan ‘pembocoran soal’ terjadi di luar lingkungan sekolah. Ini adalah hal yang masuk akal karena kalau disekolah penjagaan super ketat ada TPI dan Polisi. Nampaknya oknum yang membocorkan soal itu paham sekali liku-liku pengawasan UN jadi tidak berani melakukan hal itu di dalam lingkungan sekolah karena beresiko besar.
Pertanyaan mendasar semua ini adalah mengapa bisa demikian?, siapa yang melakukan hal demikian? Karena dengan adanya peristiwa ini yang menjadi korban adalah siswa . Mereka dijadikan alat untuk cuci tangan bagi orang yang ingin mencari ‘keuntungan’. Di sini lagi-lagi yang menjadi korban adalah siswa, seharusnya mereka focus mempersiapkan UN tapi malah berada di kantor polisi untuk diperiksa.
Bila melihat kasus di atas terjadinya kebocoran soal itu terjadi diluar tahapan atau alur penyelenggaraan UN, terpisah dari aktivitas pemantauan TPI. Jadi kalau ada pertanyaan mengapa TPI tidak tahu atau mencegah hal itu terjad, karena hal itu berada di luar kewenangan TPI, TPI tidak berkewajiban menginvestigasi atau menyelidiki tetapi hanya pengawasan sesuai dengan POS (pedoman Operasional Standar) UN yang berlaku.
UN dihapuskan atau direvisi ?
Banyak kalangan yang ingin menghapuskan UN (ujian Nasional), tetapi itu adalah hal yang keliru, karena dimanapun yang namanya proses pembelajaran setelah menyelesaikan sebuah program harus dilakukan evaluasi atau ujian. Bila tidak, maka tidak dapat diketahui keberhasilan pembelajaran itu. Namun demikian, mungkin ke depan UN teknisnya harus direvisi. UN harus selaras dengan karakter kurikulum yang berlaku di Sekolah. Apabila pendekatan yang digunakan adalah KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) maka ujian nasional pun harus senapas dan selaras dengan kurikulum itu. Bisa dikatakan UN yang sekarang hanya mengukur domain kognitif saja, pada hal dalam KTSP pendekatannya sudah pada domain kompetensi.
Pendekatan Sampel dalam UN
Bila pemerintah hanya ingin mengetahui standar pendidikan nasional, mengapa tidak pelaksanaan ujian nasional dilakukan dengan menggunakan sampel. Artinya tidak semua sekolah diuji tapi hanya beberapa sekolah saja yang merepresentasikan sekolah di daerah itu, karena Bila kita aplikasikan ilmu statistic apa yang terjadi pada sampel akan merepresentasikan populasinya. Agar sampel itu terjaga maka pengawasan pada satu sekolah diperketat; jumlah TPI sesuai dengan jumlah kelas. Hal ini pun dapat menghemat pengeluaran biaya dan efektif penyelenggaraannya.
Sebenarnya Pola seperti ini sudah dilakukan dalam kegiatan pemilu pilpres, dimana berdasarkan hasil quick qount yang menggunakan strategi sampling hasilnya sama dengan perhitungan KPU yang dilakukan secara manual berdasarkan jumlah yang ada diseluruh Indonesia.
Bagaimana yang bukan sampling? Sekolah yang bukan sampel tetap dilakukan ujian nasional tetapi pelaksanaannya tidak seperti pada sekolah sampel. Pengawasan hanya dilakukan oleh guru yang disilang dari sekolah yang berbeda. Selain itu, kelulusan melibatkan juga peran sekolah. Hasil akhir UN adalah gabungan nilai-nilai UN dan Ujian Sekolah (domain afektif serta psikomotornya disertakan). Dengan cara ini, peran sekolah sangat diapresiasi dalam proses pembelajaran, karena dalam evaluasi sebaiknya yang memberikan penilaian atau menentukan kelulusan adalah mereka yang betul-betul terlibat dalam proses pembelajaran.
Pengawasan
Idealnya proses pendidikan berjalan secara humanis, akademis, dan didaktis. Bukan unsur politis dan hukum. Dalam pelaksanaannya Jangan samakan Ujian Nasional dengan pemilihan umum. Dalam pengawasan UN yang terlibat hendaknya orang yang terlibat dalam ranah pendidikan sehingga bila terjadi problematika dalam penyelenggaraan ujian dapat diselesaikan dengan pendekatan akademis dan didaktis. Hadirnya polisi dalam ujian nasional (tanpa menyampingkan peran polri) adalah baik tapi ini akan memberi dampak psikologis bagi siswa seperti kecemasan dan seperti orang pesakitan (dicurigai). Bila ini terjadi maka siswa akan tidak konsentrasi dan ketakutan dalam melakukan ujian sehingga berdampak tidak maksimalnya mengerjakan ujian. Sepertinya hanya ada di Indonesia ujian sekolah diawasi oleh polisi. Stigma negative pun akan muncul, seperti pendidikan kita cenderung manipulative dan tidak jujur, sehingga orang luar akan meragukan kualitas pendidikan Indonesia.
Di atas adalah pernak-pernik ujian nasional yang terjadi dalam Ujian Nasional 2010, khususnya di Banten. Semoga ke depan UN tahun 2011 terus diperbaiki teknis penyelenggaraannya sehingga UN yang jujur dan credible dapat terlaksana. Semoga.
Oleh: Yudi Juniardi
Usai sudah penyelenggaran Ujian Nasional di SMA dan SMP tahun 2010. Secara umum berjalan relative lancar sesuai dengan yang diharapkan tidak ada kasus yang menghebohkan, walaupun ada hal-hal kecil kejadian yang mewarnai ujian nasional, baik di SMA maupun di SMP.
Walaupun hasil UN belum diumumkan nampaknya sudah dapat direkomendasikan beberapa hal untuk penyelenggaraan UN ke depan agar lebih baik: jujur dan credible. Dua variable ini diangkat karena UN 2010 yang diselenggarakan di Banten (seperti diberitakan di harian local Banten) diwarnai adanya kejadian-kejadian yang tidak diharapkan seperti ‘diduga’ ditemukannya kunci jawaban bahasa Inggris dan bahasa Indonesia pada UN SMA yang melibatkan siswa SMA favorit di Serang. Kemudian ‘diduga’ ditemukannya kunci jawaban bahasa Inggris siswa di tempat sampah sekolah setelah ujian berlangsung pada UN SMP. Melihat problematika ini Kemudian salah satu anggota dewan yang melakukan kunjungan kesekolah nampaknya geram dan berharap kinerja TPI (Tim Pemantau Independen) untuk di evaluasi. Beberapa masalah ini hendaknya dicermati dan direnungkan agar UN kedepan menjadi lebih baik.
Berkaitan dengan ‘diduga’ adanya kunci jawaban UN pada level SMA , ini menjadi sorotan public dan membuat masyarakat resah sehingga polisi pun melakukan penyelidikan dan dengan cepat menangkap orang-orang yang terlibat (siswa), sebuah prestasi kerja yang luar biasa. Dan hingga saat ini kasusnya masih berjalan. Tapi yang paling penting dari semua ini adalah bagaimana mengungkap secara tuntas semuanya dari hulu sampai hilir, ibarat gambar , potongan-potongan itu menjadi gambar yang sempurna dan dapat dipahami sehingga tidak salah tafsir.
Untuk kasus UN SMA, dilihat dari waktu peristiwa tertangkapnya siswa yang membocorkan dan menyebarkan ‘kunci jawaban’, semua terjadi di luar sekolah dan pada waktu sore hari ini berarti bahwa kerawanan ‘pembocoran soal’ terjadi di luar lingkungan sekolah. Ini adalah hal yang masuk akal karena kalau disekolah penjagaan super ketat ada TPI dan Polisi. Nampaknya oknum yang membocorkan soal itu paham sekali liku-liku pengawasan UN jadi tidak berani melakukan hal itu di dalam lingkungan sekolah karena beresiko besar.
Pertanyaan mendasar semua ini adalah mengapa bisa demikian?, siapa yang melakukan hal demikian? Karena dengan adanya peristiwa ini yang menjadi korban adalah siswa . Mereka dijadikan alat untuk cuci tangan bagi orang yang ingin mencari ‘keuntungan’. Di sini lagi-lagi yang menjadi korban adalah siswa, seharusnya mereka focus mempersiapkan UN tapi malah berada di kantor polisi untuk diperiksa.
Bila melihat kasus di atas terjadinya kebocoran soal itu terjadi diluar tahapan atau alur penyelenggaraan UN, terpisah dari aktivitas pemantauan TPI. Jadi kalau ada pertanyaan mengapa TPI tidak tahu atau mencegah hal itu terjad, karena hal itu berada di luar kewenangan TPI, TPI tidak berkewajiban menginvestigasi atau menyelidiki tetapi hanya pengawasan sesuai dengan POS (pedoman Operasional Standar) UN yang berlaku.
UN dihapuskan atau direvisi ?
Banyak kalangan yang ingin menghapuskan UN (ujian Nasional), tetapi itu adalah hal yang keliru, karena dimanapun yang namanya proses pembelajaran setelah menyelesaikan sebuah program harus dilakukan evaluasi atau ujian. Bila tidak, maka tidak dapat diketahui keberhasilan pembelajaran itu. Namun demikian, mungkin ke depan UN teknisnya harus direvisi. UN harus selaras dengan karakter kurikulum yang berlaku di Sekolah. Apabila pendekatan yang digunakan adalah KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) maka ujian nasional pun harus senapas dan selaras dengan kurikulum itu. Bisa dikatakan UN yang sekarang hanya mengukur domain kognitif saja, pada hal dalam KTSP pendekatannya sudah pada domain kompetensi.
Pendekatan Sampel dalam UN
Bila pemerintah hanya ingin mengetahui standar pendidikan nasional, mengapa tidak pelaksanaan ujian nasional dilakukan dengan menggunakan sampel. Artinya tidak semua sekolah diuji tapi hanya beberapa sekolah saja yang merepresentasikan sekolah di daerah itu, karena Bila kita aplikasikan ilmu statistic apa yang terjadi pada sampel akan merepresentasikan populasinya. Agar sampel itu terjaga maka pengawasan pada satu sekolah diperketat; jumlah TPI sesuai dengan jumlah kelas. Hal ini pun dapat menghemat pengeluaran biaya dan efektif penyelenggaraannya.
Sebenarnya Pola seperti ini sudah dilakukan dalam kegiatan pemilu pilpres, dimana berdasarkan hasil quick qount yang menggunakan strategi sampling hasilnya sama dengan perhitungan KPU yang dilakukan secara manual berdasarkan jumlah yang ada diseluruh Indonesia.
Bagaimana yang bukan sampling? Sekolah yang bukan sampel tetap dilakukan ujian nasional tetapi pelaksanaannya tidak seperti pada sekolah sampel. Pengawasan hanya dilakukan oleh guru yang disilang dari sekolah yang berbeda. Selain itu, kelulusan melibatkan juga peran sekolah. Hasil akhir UN adalah gabungan nilai-nilai UN dan Ujian Sekolah (domain afektif serta psikomotornya disertakan). Dengan cara ini, peran sekolah sangat diapresiasi dalam proses pembelajaran, karena dalam evaluasi sebaiknya yang memberikan penilaian atau menentukan kelulusan adalah mereka yang betul-betul terlibat dalam proses pembelajaran.
Pengawasan
Idealnya proses pendidikan berjalan secara humanis, akademis, dan didaktis. Bukan unsur politis dan hukum. Dalam pelaksanaannya Jangan samakan Ujian Nasional dengan pemilihan umum. Dalam pengawasan UN yang terlibat hendaknya orang yang terlibat dalam ranah pendidikan sehingga bila terjadi problematika dalam penyelenggaraan ujian dapat diselesaikan dengan pendekatan akademis dan didaktis. Hadirnya polisi dalam ujian nasional (tanpa menyampingkan peran polri) adalah baik tapi ini akan memberi dampak psikologis bagi siswa seperti kecemasan dan seperti orang pesakitan (dicurigai). Bila ini terjadi maka siswa akan tidak konsentrasi dan ketakutan dalam melakukan ujian sehingga berdampak tidak maksimalnya mengerjakan ujian. Sepertinya hanya ada di Indonesia ujian sekolah diawasi oleh polisi. Stigma negative pun akan muncul, seperti pendidikan kita cenderung manipulative dan tidak jujur, sehingga orang luar akan meragukan kualitas pendidikan Indonesia.
Di atas adalah pernak-pernik ujian nasional yang terjadi dalam Ujian Nasional 2010, khususnya di Banten. Semoga ke depan UN tahun 2011 terus diperbaiki teknis penyelenggaraannya sehingga UN yang jujur dan credible dapat terlaksana. Semoga.
pilkada dan money politic
Pilkada Tanpa Money Politic
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd
Dalam waktu dekat ini setidaknya ada tiga daerah yang akan menghelat pesta demokrasi pada tahun 2010, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon, dan Kabupaten Serang. Tentunya aktivitas politik akan sangat tinggi terutama yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses. Adalah hal yang wajar jika tim sukses (timses) ingin calonnya menjadi pemenang dalam pilkada. Tentunya mereka akan berjuang habis-habisan mulai dari tahap pencalonan, tahap kampanye, dan tahap pemilihan. Segala kesempatan yang ada dimanfaatkan untuk pencitraan calonnya. Namun demikian, kita tidak berharap mereka melakukan hal yang negative: seperti money politic dan black campaign seperti yang terjadi pada tahun 2009 di beberapa daerah. Ibarat marketing produk, mereka akan ‘jor-joran’ memberikan ‘bonus’ pada calon pembelinya agar tertarik dan membelinya.
Ramlan Surbakti wakil KPU, dalam suatu kesempatan, mengidentifikasi empat hal yang dapat menjadi potensi praktik politik uang (money politic) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan UU. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat mempengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa. Terakhir, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon.
Dari empat hal diatas nampanya secara kontekstual memiliki kesamaan dengan kondisi kabupaten dan kota yang ada di Banten, bila melihat jumlah pemilih dan calon yang bersaing. Dua variable yang sangat berperan disini adalah uang dan kekuasaan. Dengan uang yang besar seseorang dapat dengan bebas memilih perahu sesuka hatinya, bagi pemilik perahu yang penting bayarannya. Kemudian dengan uang yang besar, dimungkinkan dapat ‘membeli’ suara pemilih. Dengan kekuasaan yang besar seorang calon dapat dengan mudah menggunaan fasilitas yang ada yang berkaitan dengan jabatannya. Selain itu dia bisa menghimpun pengusaha ‘berduit’ untuk mendukungnya, tentunya dengan deal dan kontrak plitik yang jelas harus menguntungkan, karena tidak ada satupun pengusaha yang mau merugi. Bila ini terjadi, jelaslah yang menderita masyarakat itu sendiri.
Bagaimana mencegah politik uang
Bukanlah hal yang mudah mencegah poltik uang, tapi juga tidak sulit bila kita mempunyai keinginan memberantas politik uang. Setidaknya ada empat hal yang dapat dilakukan yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri, dan pendidikan poltik bagi masyarakat.
Pertama mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye harus transparan dan komprehensif. Memang benar calon boleh mendapatkan dana dari pihak ketiga dan itu pun ada aturannya, tetapi,ada calon mengeluarkan atau mendapatkan sumbangan dari pihak ketiga sebelum pencalonan dan tidak dicatatkan dalam rekeningnya pada saat mendaftarkan diri menjadi calon. Jadi yang tampak pada rekening hanya saldo diluar pengeluaran-pengeluaran sebelumnya. Disini KPUD harus cermat da kritis melihat aliran dana yang ada atau digunakan oleh calon, dengan demikian akan tampak kewajaran atau ketidak wajaran. Bahkan apabila menggunakan uang Negara atau fasilitas Negara, itu harus dikembalikan. Dan bagi calon yang memiliki kekayaan yang besar harus jelas asal-muasal uang itu, apakah perolehannya itu wajar atau tidak. Kita berharap tidak ada uang yang tidak jelas seperti rekening yang dimiliki Gayus Tambunan.
Penegakan hukum harus ketat dan tegas. Dalam kasus politik uang, banyak terungkap kasusnya tetapi tidak sampai rampung. Mungkin belum pernah ada salah seorang calon yang terkena hukuman karena politik uang yang dilakukan timsesnya dan yang ditangkap hanya oknum dilapangan saja padahal jelas komandonya ada pada calon itu. Bagi masyarakat juga sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pilkada akan banyak bantuan baik berupa barang maupun uang ketika saat kampanye, dan ‘amplop kadeudeuh’ pada saat pemilihan atau sering disebut dengan serangan fajar. Mirisnya, Masyarakat pun jadi bingung ketika menerima amplop dari semua tim ses calon melalui korwilnya masingmasing. Bila sudah terjadi seperti ini, apakah mungkin semua calon digagalkan? Ini adalah hal serius yang harus dipikirkan jalan keluarnya oleh penegak hukum dan tentunya KPUD. Sebetulnya kasus politik uang sama seperti kasus kolusi/suap, jadi yang diberi uang atau menerima uang harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Salah satu kelemahan memberantas poltik uang adalah aturan yang masih mengambang tidak jelas, dan celah ini dimanfaatkan oleh cukong politik. Oleh karena itu KPU/KPUD harus mengeluarkan aturan yang dapat mengatasi masalah ini.
Selanjutnya yang harus dilakukan adalah pengorganisasian pemilih (organize voters). Sudah saatnya, untuk meminimalisir politik uang dengan melakukan pengorganisasian pemilih. Dengan demikian, pemilih disini adalah pemilih yang sadar dan rasional. Mereka memilih berdasarkan keseuaian calon dengan kebutuhan pemilih. Jadi dengan organized voter ini dapat diorganisir kelompok memilih untuk mendata kebutuhan daerah mereka kemudian melakukan kontrak politik dengan partai. Jadi kontribusi kebijakan dari organized voter ini sangat jelas terhadap kemajuan daerah mereka . siapapun calonnya yang penting mendukung program Organized voter. Menurut Ramlan, organized voter bisa diharapkan untuk meng-counter praktik politik uang. Menurutnya, organized voter ini terbukti cukup ampuh di sejumlah negara maju dalam mengurangi praktik politik uang. Bila organized voter itu tertata dengan rapi, maka akan sangat positif untuk meredam politik uang. Bahkan suatu ketika kalau organized voter bertumbuh baik akan berhadapan dengan organized crime atau cukong politik dalam pilkada.
Terakhir upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, baik oleh parpol maupun ormas. Masyarakat perlu dibekali pendidikan politik tentang esensi pilkada apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam pilkada sehingga tidak terjadi lagi masyarakat awam menjadi korban politik oleh sekelompok orang yang ingin memperjuangkan kepentingan dengan cara yang tidak benar.
Harapan untuk terjadinya pilkada tanpa politik uang bukanlah hal yang tidak mungkin. Ini akan menjadi kenyataan ketika semua pihak; baik itu KPU, LSM, ormas, Calon dan timnya, serta masyarakat secara serius menghentikan praktek ini. Semua pihak diharapkan mengawasi jalannya proses tahapan pilkada, dengan demikian akan membatasi ruang gerak oknum yang akan melakukan kecurangan. Kita memang miskin tapi jangan biarkan uang membeli harga diri kita. Ingat pilihan kita menentukan masa depan kita lima tahun kedepan.
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd
Dalam waktu dekat ini setidaknya ada tiga daerah yang akan menghelat pesta demokrasi pada tahun 2010, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon, dan Kabupaten Serang. Tentunya aktivitas politik akan sangat tinggi terutama yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses. Adalah hal yang wajar jika tim sukses (timses) ingin calonnya menjadi pemenang dalam pilkada. Tentunya mereka akan berjuang habis-habisan mulai dari tahap pencalonan, tahap kampanye, dan tahap pemilihan. Segala kesempatan yang ada dimanfaatkan untuk pencitraan calonnya. Namun demikian, kita tidak berharap mereka melakukan hal yang negative: seperti money politic dan black campaign seperti yang terjadi pada tahun 2009 di beberapa daerah. Ibarat marketing produk, mereka akan ‘jor-joran’ memberikan ‘bonus’ pada calon pembelinya agar tertarik dan membelinya.
Ramlan Surbakti wakil KPU, dalam suatu kesempatan, mengidentifikasi empat hal yang dapat menjadi potensi praktik politik uang (money politic) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan UU. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat mempengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa. Terakhir, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon.
Dari empat hal diatas nampanya secara kontekstual memiliki kesamaan dengan kondisi kabupaten dan kota yang ada di Banten, bila melihat jumlah pemilih dan calon yang bersaing. Dua variable yang sangat berperan disini adalah uang dan kekuasaan. Dengan uang yang besar seseorang dapat dengan bebas memilih perahu sesuka hatinya, bagi pemilik perahu yang penting bayarannya. Kemudian dengan uang yang besar, dimungkinkan dapat ‘membeli’ suara pemilih. Dengan kekuasaan yang besar seorang calon dapat dengan mudah menggunaan fasilitas yang ada yang berkaitan dengan jabatannya. Selain itu dia bisa menghimpun pengusaha ‘berduit’ untuk mendukungnya, tentunya dengan deal dan kontrak plitik yang jelas harus menguntungkan, karena tidak ada satupun pengusaha yang mau merugi. Bila ini terjadi, jelaslah yang menderita masyarakat itu sendiri.
Bagaimana mencegah politik uang
Bukanlah hal yang mudah mencegah poltik uang, tapi juga tidak sulit bila kita mempunyai keinginan memberantas politik uang. Setidaknya ada empat hal yang dapat dilakukan yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri, dan pendidikan poltik bagi masyarakat.
Pertama mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye harus transparan dan komprehensif. Memang benar calon boleh mendapatkan dana dari pihak ketiga dan itu pun ada aturannya, tetapi,ada calon mengeluarkan atau mendapatkan sumbangan dari pihak ketiga sebelum pencalonan dan tidak dicatatkan dalam rekeningnya pada saat mendaftarkan diri menjadi calon. Jadi yang tampak pada rekening hanya saldo diluar pengeluaran-pengeluaran sebelumnya. Disini KPUD harus cermat da kritis melihat aliran dana yang ada atau digunakan oleh calon, dengan demikian akan tampak kewajaran atau ketidak wajaran. Bahkan apabila menggunakan uang Negara atau fasilitas Negara, itu harus dikembalikan. Dan bagi calon yang memiliki kekayaan yang besar harus jelas asal-muasal uang itu, apakah perolehannya itu wajar atau tidak. Kita berharap tidak ada uang yang tidak jelas seperti rekening yang dimiliki Gayus Tambunan.
Penegakan hukum harus ketat dan tegas. Dalam kasus politik uang, banyak terungkap kasusnya tetapi tidak sampai rampung. Mungkin belum pernah ada salah seorang calon yang terkena hukuman karena politik uang yang dilakukan timsesnya dan yang ditangkap hanya oknum dilapangan saja padahal jelas komandonya ada pada calon itu. Bagi masyarakat juga sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pilkada akan banyak bantuan baik berupa barang maupun uang ketika saat kampanye, dan ‘amplop kadeudeuh’ pada saat pemilihan atau sering disebut dengan serangan fajar. Mirisnya, Masyarakat pun jadi bingung ketika menerima amplop dari semua tim ses calon melalui korwilnya masingmasing. Bila sudah terjadi seperti ini, apakah mungkin semua calon digagalkan? Ini adalah hal serius yang harus dipikirkan jalan keluarnya oleh penegak hukum dan tentunya KPUD. Sebetulnya kasus politik uang sama seperti kasus kolusi/suap, jadi yang diberi uang atau menerima uang harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Salah satu kelemahan memberantas poltik uang adalah aturan yang masih mengambang tidak jelas, dan celah ini dimanfaatkan oleh cukong politik. Oleh karena itu KPU/KPUD harus mengeluarkan aturan yang dapat mengatasi masalah ini.
Selanjutnya yang harus dilakukan adalah pengorganisasian pemilih (organize voters). Sudah saatnya, untuk meminimalisir politik uang dengan melakukan pengorganisasian pemilih. Dengan demikian, pemilih disini adalah pemilih yang sadar dan rasional. Mereka memilih berdasarkan keseuaian calon dengan kebutuhan pemilih. Jadi dengan organized voter ini dapat diorganisir kelompok memilih untuk mendata kebutuhan daerah mereka kemudian melakukan kontrak politik dengan partai. Jadi kontribusi kebijakan dari organized voter ini sangat jelas terhadap kemajuan daerah mereka . siapapun calonnya yang penting mendukung program Organized voter. Menurut Ramlan, organized voter bisa diharapkan untuk meng-counter praktik politik uang. Menurutnya, organized voter ini terbukti cukup ampuh di sejumlah negara maju dalam mengurangi praktik politik uang. Bila organized voter itu tertata dengan rapi, maka akan sangat positif untuk meredam politik uang. Bahkan suatu ketika kalau organized voter bertumbuh baik akan berhadapan dengan organized crime atau cukong politik dalam pilkada.
Terakhir upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, baik oleh parpol maupun ormas. Masyarakat perlu dibekali pendidikan politik tentang esensi pilkada apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam pilkada sehingga tidak terjadi lagi masyarakat awam menjadi korban politik oleh sekelompok orang yang ingin memperjuangkan kepentingan dengan cara yang tidak benar.
Harapan untuk terjadinya pilkada tanpa politik uang bukanlah hal yang tidak mungkin. Ini akan menjadi kenyataan ketika semua pihak; baik itu KPU, LSM, ormas, Calon dan timnya, serta masyarakat secara serius menghentikan praktek ini. Semua pihak diharapkan mengawasi jalannya proses tahapan pilkada, dengan demikian akan membatasi ruang gerak oknum yang akan melakukan kecurangan. Kita memang miskin tapi jangan biarkan uang membeli harga diri kita. Ingat pilihan kita menentukan masa depan kita lima tahun kedepan.
Rabu, 17 Februari 2010
bahasa dan politisi
PERILAKU BERBAHASA DAN POLITISI
Oleh Yudi Juniardi
”What is clear is that political activity does not exist without the use of language”
(Paul Chilton, Analysing Political Discourse: Theory and Practice, 2004).
Kasus Bank century menyedot perhatian public di Indonesia saat ini. Hampir semua orang tahu kasus ini karena hampir semua program televisi menayangkan siaran langsung jalannya pansus angket kasus Bank Century. Ada dua hal yang menarik: pertama kasus itu sendiri yang menyedot uang hingga 6,7 trilyun dan yang kedua proses jalannya sidang angket yang dilakukan secara terbuka, yang dapat disaksikan oleh masyarakat Indonesia. Pada penayangan siding pansus ini masyarakat dapat melihat prilaku politisi baik secara verbal maupun non verbal. Bagaimana politisi bertanya dan bagaimana politisi merespon jawaban para saksi kasus Bank Century. Sayangnya yang ditampilkan oleh anggota dewan yang terhormat sangat mengecewakan, bahkan Presiden SBY pun berkomentar agar angota dewan terhormat mengedepankan Etika dalam bertanya. Yang menarik di sini apa yang salah dengan cara berbahasa anggota dewan? Apakah cara dan etika berbahasa mereka sudah benar?
Dalam Raja Ali Haji pasal yang ke-5 bait pertama tertuang, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.” Tapi Sayangnya semakin bertambahnya usia bangsa ini budi bahasa sudah tidak diperhatikan lagi bahkan di kesampingkan. Tampaknya hal sepele, tapi penting karena bahasa itu merupakan representasi seseorang, lembaga, bahkan, bangsa.
Selain itu di tambahkan pula oleh Raja Ali Haji, pribadi seseorang, karakter dapat dibaca dari bagaimana seseorang bertutur. Lalu pada Gurindam Dua belas juga pasal 7 bait ke 10 tertulis, “Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah sekalian orang gusar,” dan pada bait ke 9, “Apabila perkataan yang lemah lembut, lekaslah segala orang mengikut.” Melihat perilaku berbahasa anggota dewan pusat, mungkin bila masih hidup Raja Ali Haji akan gusar dan sedih karena ternyata ditemukan banyak orang yang mengabaikan lemah lembut bertutur
Bahasa Dan Politik
Dilihat dari fungsinya bahasa adalah alat untuk berkomunikasi. Alat untuk menyampaikan idea atau opini dapat dilakukan baik secara verbal dan non verbal. Dalam pengunaannya harus melihat situasi dan konteks berbahasa. Karena hal ini berpengruh dalam keberhasilan berkomunikasi. Bahasa yang sesuai dengan situasi dan konteks akan lebih berterima dikalangan pendengar atau pentur. Misalnya saja dalam konteks akademis bila bahasa yang digunakan adalah bahasa kelas bawah atau informal maka stigma negative pun akan muncul: tidak terpelajar, kemampuan bahasanya kurang, tidak sopan atau etis, dan stigma negative lainnya. Begitu pula bila di kelas bawah kita menggnakan bahasa formal maka yang akan terjadi adalah terkesan orang itu sombong, menghina, menyepelekan atau menjaga jarak.
Bahasa berperan penting dalam politik. Masalah politik dapat selesai bila politisi itu piawai dalam berbahasa. Menurut Budiarjo dalam bukunya Dasar- dasar Ilmu Politik “Kemampuan bertutur memungkinkan manusia membangun relasi sosial dan mewujudkan kehidupan yang baik”, Plato dan Aristoteles menyebutnya ”en dam onia”. Itulah ”binatang politik”. Politik dalam arti luas adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik, gemah ripah loh jinawi, the good life . Chilton (2004) juga mengemukakan pentingnya bahasa dalam politik menurutnya tanpa bahasa, politik tidak dapat eksis.
Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Pada proses jalannya pansus kasus angket Bank Century, ini merupakan bagian politik mikro. Bahasa yang digunakan, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa yang digunakan anggota dewan bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif. Tetapi bila kita lihat yang terjadi saat ini dalam jalannya siding Pansus Bank Century bahasa yang digunakan oleh anggota dewan, misalnya ‘Ruhut Sitompul’ (RS) bertolak belakang bahkan terkesan tidak etis kata- kata yang berkonotasi menghina seperti “bangsat” kepada pimpinan sidang saat itu seharusnya tidak dilontarkan.
Melihat hal ini masyarakat akan kecewa terhadap prilaku berbahasa yang dilontarkan oleh anggota terhormat seperti itu, dan implikasi negatifnya hal ini akan dijadikan model bagi anggota dewan lainnya di daerah. Juga yang terakhir berbau sara ‘Daeng’ yang dilontarkan pada Jusuf Kalla. Mengapa berbau Sara, karena kata tersebut akan baik apabila disampaikan oleh orang dan situasi tertentu. Jadi dalam berbahasa harus hati-hati karena kata dalam bahasa memiliki makna yang beragam tergantung situasi dan fungsinya. Mungkin maksud RS adalah agar terkesan akrab, tetapi tidak demikian bagi masyarakat Sulawesi, itu terkesan menghina. Spontan setelah mendengar dan melihat perilaku RS, masyarakat Sulawesi membakar foto politisi ini.
Pentingnya Etika, Sopan Santun Berbahasa
Sudah saatnya anggota dewan yang terhormat berbahasa dengan baik dan cermat. Hal itu bisa dilihat dari fungsi, konteks, dan situasi berbahasa. Bila berbahasa dalam forum diskusi, maka gunakanlah kaidah-kaidah aturan yang berlaku. Misalnya saja tidak memotong pembicaraan orang lain apabila tidak dipersilahkan oleh ketua sidang. Tidak mengeluarkan katakata yang menghina atau merendahkan martabat seseorang, tidak menggunakan kata yang berkonotasi, ambigu, tabu, dan sara.
Sidang Pansus angket bukanlah sidang pengadilan tetapi lebih kepada mencari informasi dan fakta, sehingga gaya berbicara pun harus berbeda sesuai dengan situasi dan konteks. Melihat Boediono. Sri Mulyani, dan jusuf kalla saat dihadirkan di Sidang Pansus Angket, tampaknya gaya bicara yang disampaikan seperti hakim bertanya pada pesakitan (terdakwa) sungguh pemandangan yang sangat memilukan di negara yang terkenal keramahan budayanya sebagai masyarkat yang menganut budaya timur.
Akan terlihat indah dan cantik apabila anggota dewan secara santun berbahasa. Anggota dewan perwakilan rakyat bukanlah orang biasa tapi orang pilihan, mereka terpilih karena memiliki kelebihan salah satunya berkomunikasi. Kesalahan berkomunukasi akan berdampak fatal bagi anggota dewan perwakilan rakyat baik secara individu maupun lembaga. Pada kasus RS, walaupun sudah berdamai dengan pimpinan sidang saat itu tapi hendaknya dewan kehormatan memberikan sanksi atau pelajaran agar hal itu tidak terulang lagi, karena tampak sekali terjadi pengulangan perilaku berbahasa yang kurang baik bahkan sudah menular kepada anggota dewan lainnya. Harus dilakukan usaha-usaha secara serius untuk mengatasi masalah ini bahkan bila dirasa kemampuan berbahasa mereka sangat kurang mengapa tidak diberikan pelatihan atau pendidikan etika berbahasa.
Saatnya para wakil rakyat piawai menggunakan segenap kecerdasan bahasanya. Tidak melulu untuk menyerang dan melumpuhkan lawan politiknya, tetapi terlebih juga untuk memahami kehendak rakyat yang diwakili dan mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai. Masih teringat kata-kata almarhum Gusdur “ DPR seperti taman Kanak-kanak” ketika beliau kecewa dengan perilaku anggota dewan perwakilan rakyat. Semoga perilaku negatif berbahasa ini tidak diidap oleh Anggota Dewan terhormat di Banten.
Oleh Yudi Juniardi
”What is clear is that political activity does not exist without the use of language”
(Paul Chilton, Analysing Political Discourse: Theory and Practice, 2004).
Kasus Bank century menyedot perhatian public di Indonesia saat ini. Hampir semua orang tahu kasus ini karena hampir semua program televisi menayangkan siaran langsung jalannya pansus angket kasus Bank Century. Ada dua hal yang menarik: pertama kasus itu sendiri yang menyedot uang hingga 6,7 trilyun dan yang kedua proses jalannya sidang angket yang dilakukan secara terbuka, yang dapat disaksikan oleh masyarakat Indonesia. Pada penayangan siding pansus ini masyarakat dapat melihat prilaku politisi baik secara verbal maupun non verbal. Bagaimana politisi bertanya dan bagaimana politisi merespon jawaban para saksi kasus Bank Century. Sayangnya yang ditampilkan oleh anggota dewan yang terhormat sangat mengecewakan, bahkan Presiden SBY pun berkomentar agar angota dewan terhormat mengedepankan Etika dalam bertanya. Yang menarik di sini apa yang salah dengan cara berbahasa anggota dewan? Apakah cara dan etika berbahasa mereka sudah benar?
Dalam Raja Ali Haji pasal yang ke-5 bait pertama tertuang, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.” Tapi Sayangnya semakin bertambahnya usia bangsa ini budi bahasa sudah tidak diperhatikan lagi bahkan di kesampingkan. Tampaknya hal sepele, tapi penting karena bahasa itu merupakan representasi seseorang, lembaga, bahkan, bangsa.
Selain itu di tambahkan pula oleh Raja Ali Haji, pribadi seseorang, karakter dapat dibaca dari bagaimana seseorang bertutur. Lalu pada Gurindam Dua belas juga pasal 7 bait ke 10 tertulis, “Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah sekalian orang gusar,” dan pada bait ke 9, “Apabila perkataan yang lemah lembut, lekaslah segala orang mengikut.” Melihat perilaku berbahasa anggota dewan pusat, mungkin bila masih hidup Raja Ali Haji akan gusar dan sedih karena ternyata ditemukan banyak orang yang mengabaikan lemah lembut bertutur
Bahasa Dan Politik
Dilihat dari fungsinya bahasa adalah alat untuk berkomunikasi. Alat untuk menyampaikan idea atau opini dapat dilakukan baik secara verbal dan non verbal. Dalam pengunaannya harus melihat situasi dan konteks berbahasa. Karena hal ini berpengruh dalam keberhasilan berkomunikasi. Bahasa yang sesuai dengan situasi dan konteks akan lebih berterima dikalangan pendengar atau pentur. Misalnya saja dalam konteks akademis bila bahasa yang digunakan adalah bahasa kelas bawah atau informal maka stigma negative pun akan muncul: tidak terpelajar, kemampuan bahasanya kurang, tidak sopan atau etis, dan stigma negative lainnya. Begitu pula bila di kelas bawah kita menggnakan bahasa formal maka yang akan terjadi adalah terkesan orang itu sombong, menghina, menyepelekan atau menjaga jarak.
Bahasa berperan penting dalam politik. Masalah politik dapat selesai bila politisi itu piawai dalam berbahasa. Menurut Budiarjo dalam bukunya Dasar- dasar Ilmu Politik “Kemampuan bertutur memungkinkan manusia membangun relasi sosial dan mewujudkan kehidupan yang baik”, Plato dan Aristoteles menyebutnya ”en dam onia”. Itulah ”binatang politik”. Politik dalam arti luas adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik, gemah ripah loh jinawi, the good life . Chilton (2004) juga mengemukakan pentingnya bahasa dalam politik menurutnya tanpa bahasa, politik tidak dapat eksis.
Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Pada proses jalannya pansus kasus angket Bank Century, ini merupakan bagian politik mikro. Bahasa yang digunakan, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa yang digunakan anggota dewan bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif. Tetapi bila kita lihat yang terjadi saat ini dalam jalannya siding Pansus Bank Century bahasa yang digunakan oleh anggota dewan, misalnya ‘Ruhut Sitompul’ (RS) bertolak belakang bahkan terkesan tidak etis kata- kata yang berkonotasi menghina seperti “bangsat” kepada pimpinan sidang saat itu seharusnya tidak dilontarkan.
Melihat hal ini masyarakat akan kecewa terhadap prilaku berbahasa yang dilontarkan oleh anggota terhormat seperti itu, dan implikasi negatifnya hal ini akan dijadikan model bagi anggota dewan lainnya di daerah. Juga yang terakhir berbau sara ‘Daeng’ yang dilontarkan pada Jusuf Kalla. Mengapa berbau Sara, karena kata tersebut akan baik apabila disampaikan oleh orang dan situasi tertentu. Jadi dalam berbahasa harus hati-hati karena kata dalam bahasa memiliki makna yang beragam tergantung situasi dan fungsinya. Mungkin maksud RS adalah agar terkesan akrab, tetapi tidak demikian bagi masyarakat Sulawesi, itu terkesan menghina. Spontan setelah mendengar dan melihat perilaku RS, masyarakat Sulawesi membakar foto politisi ini.
Pentingnya Etika, Sopan Santun Berbahasa
Sudah saatnya anggota dewan yang terhormat berbahasa dengan baik dan cermat. Hal itu bisa dilihat dari fungsi, konteks, dan situasi berbahasa. Bila berbahasa dalam forum diskusi, maka gunakanlah kaidah-kaidah aturan yang berlaku. Misalnya saja tidak memotong pembicaraan orang lain apabila tidak dipersilahkan oleh ketua sidang. Tidak mengeluarkan katakata yang menghina atau merendahkan martabat seseorang, tidak menggunakan kata yang berkonotasi, ambigu, tabu, dan sara.
Sidang Pansus angket bukanlah sidang pengadilan tetapi lebih kepada mencari informasi dan fakta, sehingga gaya berbicara pun harus berbeda sesuai dengan situasi dan konteks. Melihat Boediono. Sri Mulyani, dan jusuf kalla saat dihadirkan di Sidang Pansus Angket, tampaknya gaya bicara yang disampaikan seperti hakim bertanya pada pesakitan (terdakwa) sungguh pemandangan yang sangat memilukan di negara yang terkenal keramahan budayanya sebagai masyarkat yang menganut budaya timur.
Akan terlihat indah dan cantik apabila anggota dewan secara santun berbahasa. Anggota dewan perwakilan rakyat bukanlah orang biasa tapi orang pilihan, mereka terpilih karena memiliki kelebihan salah satunya berkomunikasi. Kesalahan berkomunukasi akan berdampak fatal bagi anggota dewan perwakilan rakyat baik secara individu maupun lembaga. Pada kasus RS, walaupun sudah berdamai dengan pimpinan sidang saat itu tapi hendaknya dewan kehormatan memberikan sanksi atau pelajaran agar hal itu tidak terulang lagi, karena tampak sekali terjadi pengulangan perilaku berbahasa yang kurang baik bahkan sudah menular kepada anggota dewan lainnya. Harus dilakukan usaha-usaha secara serius untuk mengatasi masalah ini bahkan bila dirasa kemampuan berbahasa mereka sangat kurang mengapa tidak diberikan pelatihan atau pendidikan etika berbahasa.
Saatnya para wakil rakyat piawai menggunakan segenap kecerdasan bahasanya. Tidak melulu untuk menyerang dan melumpuhkan lawan politiknya, tetapi terlebih juga untuk memahami kehendak rakyat yang diwakili dan mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai. Masih teringat kata-kata almarhum Gusdur “ DPR seperti taman Kanak-kanak” ketika beliau kecewa dengan perilaku anggota dewan perwakilan rakyat. Semoga perilaku negatif berbahasa ini tidak diidap oleh Anggota Dewan terhormat di Banten.
berpikir kritis
Pentingnya Masyarakat Berpikir Kritis
Oleh: Yudi Juniardi
“…the quality of our thinking will depend directly, and solely, on the quality of our thinking.”
De Bono (2000)
Akhir-akhir ini dibeberapa media masa tampak headline dihiasi dengan unjuk rasa mahasiswa, dan kasusnya beragam: kasus bank Century, kasus Korupsi, kasus pilkada, ijazah palsu, pemekaran wilayah, sengketa lahan, dan kasus lainnya yang pada intinya mengkritisi kebijakan yang dianggap ‘tidak benar’
Terlepas benar dan salah demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan: apakah mereka turun ke jalan atau memperjuangkan sesuatu sudah berdasarkan pemikiran yang matang atau hanya solidaritas semata, trend atau bahkan emosional? Sudahkah mereka berpikir kritis? Sekali lagi, Terlepas benar atau tidaknya motif demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat ada satu hal yang harus ditegaskan bahwa mereka perlu memiliki kemampuan berpikir kritis. Artinya Apa yang diperjuangkan berdasarkan proses berpikir yang matang, berdasarkan data dan fakta yang otentik sehingga keputusan yang diambil atau diperjungkan memang benar.
Masyarakat dan Informasi di Era Globalisasi
Di era globalisasi ini akses informasi semakin cepat. Perkembangan teknologi pun berpengaruh terhadap kecepatan dan kuantitas data atau informasi. Masyarakat yang memiliki kemampuan teknologi informasi yang akan mendominasi informasi. Biasanya Negara maju dengan kemampuan IT yang canggih lebih mendominasi akses informasi dan dengan informasi tersebut mereka dapat melakukan hal yang positif seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan hal yang negatif seperti membut stigma negative, propaganda yang menyesatkan, atau menyebarkan informasi yang keliru.
Mirisnya, masyarakat di Negara berkembang biasanya sebagai objek dari informasi bahkan terkesan dijajah oleh informasi. Hal ini terlihat dari perubahan gaya hidup dan berpikir yang kebarat-baratan, atau adanya pergeseran budaya di masyarakat berkembang.
Dengan adanya kesepakatan AFTA yang mulai diberlakukan pada tahun 2003 dan ditambah dengan adanya kesepakatan APEC untuk berbaur dalam perdagangan bebas dunia pada 2020. menurut Ekawahyu Kasih (1999), Kesepakatan-kesepakatan itu tentnya berimplikasi pada tiga dimensi , yaitu: 1) meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global; 2) persaingan sumber daya manusia yang ketat; dan 3) semakin besarnya kemungkinan terjadinya ekploitasi negara yang lebih maju dan lebih siap bersaing terhadap negara-negara yang tidak mampu atau belum siap bersaing.
Melihat tiga poin di atas jelaslah ini sebuah tantangan sekaligus ancaman bagi bangsa Indonesia apabila tidak di tindaklanjuti secara positif dengan melakukan perbaikan-perbaikan khususnya dalam meningatkan SDM yang handal dan berkualitas. Apabila SDM kita tida mampu bersaing dan tidak berkualitas maka kita akan menjadi ‘buruh di rumah sendiri’. Luapan informasi dari luar akan berimplikasi negatif bagi masyarakat atau cenderung provokatif dan agitasi apabila kita tidak memahami dan memiliki informasi yang kuat dan benar. Dampak negatifnya adalah makin masifnya kerusuhan-kerusuhan diberbagai daerah yang hanya disebabkan oleh kesalah pahaman atau ketidak mampuan mengambil keputusan yang benar berdasarkan data, fakta, dan kenyataan yang ada. Bila demikian, maka salah satunya cara untuk mengantisipasi luapan informasi hanyalah penguasaan keterampilan berpikir kritis. Karena dengan penguasaan keterampilan tersebutlah kita mampu menyeleksi mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah serta bisa menentukan sikap apakah yang sesuai untuk menyikapi luapan informasi itu, sehingga keputusan yang diambil lebih objektif dan logis.
Di Negara yang mengagungkan demokrasi ini, masyarakat perlu sekali yang mengedepankan berpikir kritis, bila tidak demikian, maka akan terjadi perselisihan dan kekacauan tanpa ada habisnya bahkan mengarah ke anarkis. Selain itu dibutuhkan juga Masyarakat yang mampu dengan sehat dan cerdas bersikap kritis terhadap lingkungannya tidak akan mudah terpengaruh oleh gelombang ketidakpastian ataupun provokasi dari pihak-pihak yang saling berebut kepentingan. Realitas negara kita hari ini mengindikasikan kecenderungan mudahnya timbul konflik antar individu, kelompok atau golongan, suku, ras, atau bahkan agama yang tersulut hanya karena masalah-masalah sepele. Juga ditambah dengan beberapa kasus besar, salah satunya adalah kasus Bank Century yang tidak kelar-kelar bahkan cenderung bias dan menjalar kemana-mana; ranah hukum, ranah ekonomi, politik, social dan budaya.
Saat ini, dalam kerangka reformasi nasional dalam berbagai segi dan menjaga keutuhan NKRI, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat substansial jika kita mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi akar permasalahan yang tengah kita hadapi dan mencari serta mengembangkan alternatif pemecahan bagi permasalahan tersebut.
Keterampilan berpikir kritis tidak ada dengan sendirinya. keterampilan berpikir kritis harus ditransformasikan secara sadar melalui proses pendidikan. Dengan keterampilan seperti ini, masyarakat akan terbina untuk bersikap selektif dalam menerima dan memahami setiap persoalan serta bersikap lebih berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku.
Berpikir kritis
Berpikir kritis adalah proses bagaimana kita menggunakan pengetahuan dan intelegensi kita untuk berpikir secara efektif, beralasan dan benar, sehingga dapat mengatasi hambatan-hambatan dalam berpikir secara rasional.
Berpikir kritis tidak hanya berpikir secara analitik dan logis tetapi juga berpikir secara rasional dan objektif. Logis dan analisis merupakan konsep matematik dan filosofis, sedangkan berpikir secara rasional dan objektif merupakan konsep yang lebih luas yang juga mewakili bidang psikologi dan sosiologi. Artinya, berpikir tidak hanya didasarkan pada kemampuan akal tetapi juga dilihat ke objektifannya. Memutuskan sesuatu tidak hanya proses analisis tapi juga didukung oleh kondisi, data, dan fakta yang ada.
Untuk dapat berpikir kritis seseorang harus mengembangkan perilakunya, yang menyangkut: keterbukaan pandangan dan pikiran, skeptisme yang sehat, terbuka secara intelektual, berpikir bebas, dan motivasi yang tinggi. Dengan demikian berpikir kritis adalah berpikir secara jernih, akurat, didasari pengetahuan. Ketika melakukan kegiatan selalu berlandaskan alasan-alasan yang logis. Tiga hal yang selalu dipertimbangkan secara filosofis dalam berpikir kritis: logis, epistemology, dan etis.
Ditambahkan pula oleh Alwasilah (1992) berpikir kritis artinya mampu melihat bias, mengenal dan menganalisa propaganda, mengindentifikasi kekeliruan logika, memahami agenda terselubung, membuat perbandingan, menyimpulkan asumsi dasar, dan memecahkan masalah.
Pembudayaan keterampilan berpikir kritis dapat menggali cara-cara pemahaman pikiran dan pengasahan intelektualitas sehingga kesalahan dan distorsi berpikir dapat diminimalisasi. Keterampilan berpikir kritis pun dapat melejitkan kemampuan kita dalam memecahkan permasalahan yang sangat penting dengan membantu menjauhkan kita dari ketimpangan berpikir dan menuntun kita berpikir sangat logis dan rasional.
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis bukan hal yang mudah perlu proses, waktu, dan pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pendidikan baik di lembaga formal seperti sekolah atau universitas dan informal seperti organisasi intra-university atau extra-university. Indah sekali rasanya bila kemampuan berpikir kritis ini dimiliki oleh masyarakat khususnya mahasiswa sebagai kelompok elit dan pra elit politik pembuat kebijakan. Terlebih menjelang pilkada: pesta demokrasi rakyat, yang rentan terjadi gesekan karena adanya perbedaan kepentingan. Bila memiliki kemampuan berpikir kritis, tentunya ketika msyarakat atau mahasiswa berunjuk rasa memang sudah melalui proses berpikir kritis sehingga keputusan yang diambil atau diusulkan memang objektif berdasarkan data dan fakta yang ada. Sehingga tidak ada istilah ‘demonstrasi bayaran’ tetapi demostrasi untuk kebenaran. Kebijakan yang diambil pejabat pun bukan kebijakan sesaat dan mementingkan kelompoknya tetapi benar-benar apa yang menjadi keharusan dan kebutuhan masyarakat. Semoga.
Oleh: Yudi Juniardi
“…the quality of our thinking will depend directly, and solely, on the quality of our thinking.”
De Bono (2000)
Akhir-akhir ini dibeberapa media masa tampak headline dihiasi dengan unjuk rasa mahasiswa, dan kasusnya beragam: kasus bank Century, kasus Korupsi, kasus pilkada, ijazah palsu, pemekaran wilayah, sengketa lahan, dan kasus lainnya yang pada intinya mengkritisi kebijakan yang dianggap ‘tidak benar’
Terlepas benar dan salah demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan: apakah mereka turun ke jalan atau memperjuangkan sesuatu sudah berdasarkan pemikiran yang matang atau hanya solidaritas semata, trend atau bahkan emosional? Sudahkah mereka berpikir kritis? Sekali lagi, Terlepas benar atau tidaknya motif demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat ada satu hal yang harus ditegaskan bahwa mereka perlu memiliki kemampuan berpikir kritis. Artinya Apa yang diperjuangkan berdasarkan proses berpikir yang matang, berdasarkan data dan fakta yang otentik sehingga keputusan yang diambil atau diperjungkan memang benar.
Masyarakat dan Informasi di Era Globalisasi
Di era globalisasi ini akses informasi semakin cepat. Perkembangan teknologi pun berpengaruh terhadap kecepatan dan kuantitas data atau informasi. Masyarakat yang memiliki kemampuan teknologi informasi yang akan mendominasi informasi. Biasanya Negara maju dengan kemampuan IT yang canggih lebih mendominasi akses informasi dan dengan informasi tersebut mereka dapat melakukan hal yang positif seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan hal yang negatif seperti membut stigma negative, propaganda yang menyesatkan, atau menyebarkan informasi yang keliru.
Mirisnya, masyarakat di Negara berkembang biasanya sebagai objek dari informasi bahkan terkesan dijajah oleh informasi. Hal ini terlihat dari perubahan gaya hidup dan berpikir yang kebarat-baratan, atau adanya pergeseran budaya di masyarakat berkembang.
Dengan adanya kesepakatan AFTA yang mulai diberlakukan pada tahun 2003 dan ditambah dengan adanya kesepakatan APEC untuk berbaur dalam perdagangan bebas dunia pada 2020. menurut Ekawahyu Kasih (1999), Kesepakatan-kesepakatan itu tentnya berimplikasi pada tiga dimensi , yaitu: 1) meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global; 2) persaingan sumber daya manusia yang ketat; dan 3) semakin besarnya kemungkinan terjadinya ekploitasi negara yang lebih maju dan lebih siap bersaing terhadap negara-negara yang tidak mampu atau belum siap bersaing.
Melihat tiga poin di atas jelaslah ini sebuah tantangan sekaligus ancaman bagi bangsa Indonesia apabila tidak di tindaklanjuti secara positif dengan melakukan perbaikan-perbaikan khususnya dalam meningatkan SDM yang handal dan berkualitas. Apabila SDM kita tida mampu bersaing dan tidak berkualitas maka kita akan menjadi ‘buruh di rumah sendiri’. Luapan informasi dari luar akan berimplikasi negatif bagi masyarakat atau cenderung provokatif dan agitasi apabila kita tidak memahami dan memiliki informasi yang kuat dan benar. Dampak negatifnya adalah makin masifnya kerusuhan-kerusuhan diberbagai daerah yang hanya disebabkan oleh kesalah pahaman atau ketidak mampuan mengambil keputusan yang benar berdasarkan data, fakta, dan kenyataan yang ada. Bila demikian, maka salah satunya cara untuk mengantisipasi luapan informasi hanyalah penguasaan keterampilan berpikir kritis. Karena dengan penguasaan keterampilan tersebutlah kita mampu menyeleksi mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah serta bisa menentukan sikap apakah yang sesuai untuk menyikapi luapan informasi itu, sehingga keputusan yang diambil lebih objektif dan logis.
Di Negara yang mengagungkan demokrasi ini, masyarakat perlu sekali yang mengedepankan berpikir kritis, bila tidak demikian, maka akan terjadi perselisihan dan kekacauan tanpa ada habisnya bahkan mengarah ke anarkis. Selain itu dibutuhkan juga Masyarakat yang mampu dengan sehat dan cerdas bersikap kritis terhadap lingkungannya tidak akan mudah terpengaruh oleh gelombang ketidakpastian ataupun provokasi dari pihak-pihak yang saling berebut kepentingan. Realitas negara kita hari ini mengindikasikan kecenderungan mudahnya timbul konflik antar individu, kelompok atau golongan, suku, ras, atau bahkan agama yang tersulut hanya karena masalah-masalah sepele. Juga ditambah dengan beberapa kasus besar, salah satunya adalah kasus Bank Century yang tidak kelar-kelar bahkan cenderung bias dan menjalar kemana-mana; ranah hukum, ranah ekonomi, politik, social dan budaya.
Saat ini, dalam kerangka reformasi nasional dalam berbagai segi dan menjaga keutuhan NKRI, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat substansial jika kita mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi akar permasalahan yang tengah kita hadapi dan mencari serta mengembangkan alternatif pemecahan bagi permasalahan tersebut.
Keterampilan berpikir kritis tidak ada dengan sendirinya. keterampilan berpikir kritis harus ditransformasikan secara sadar melalui proses pendidikan. Dengan keterampilan seperti ini, masyarakat akan terbina untuk bersikap selektif dalam menerima dan memahami setiap persoalan serta bersikap lebih berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku.
Berpikir kritis
Berpikir kritis adalah proses bagaimana kita menggunakan pengetahuan dan intelegensi kita untuk berpikir secara efektif, beralasan dan benar, sehingga dapat mengatasi hambatan-hambatan dalam berpikir secara rasional.
Berpikir kritis tidak hanya berpikir secara analitik dan logis tetapi juga berpikir secara rasional dan objektif. Logis dan analisis merupakan konsep matematik dan filosofis, sedangkan berpikir secara rasional dan objektif merupakan konsep yang lebih luas yang juga mewakili bidang psikologi dan sosiologi. Artinya, berpikir tidak hanya didasarkan pada kemampuan akal tetapi juga dilihat ke objektifannya. Memutuskan sesuatu tidak hanya proses analisis tapi juga didukung oleh kondisi, data, dan fakta yang ada.
Untuk dapat berpikir kritis seseorang harus mengembangkan perilakunya, yang menyangkut: keterbukaan pandangan dan pikiran, skeptisme yang sehat, terbuka secara intelektual, berpikir bebas, dan motivasi yang tinggi. Dengan demikian berpikir kritis adalah berpikir secara jernih, akurat, didasari pengetahuan. Ketika melakukan kegiatan selalu berlandaskan alasan-alasan yang logis. Tiga hal yang selalu dipertimbangkan secara filosofis dalam berpikir kritis: logis, epistemology, dan etis.
Ditambahkan pula oleh Alwasilah (1992) berpikir kritis artinya mampu melihat bias, mengenal dan menganalisa propaganda, mengindentifikasi kekeliruan logika, memahami agenda terselubung, membuat perbandingan, menyimpulkan asumsi dasar, dan memecahkan masalah.
Pembudayaan keterampilan berpikir kritis dapat menggali cara-cara pemahaman pikiran dan pengasahan intelektualitas sehingga kesalahan dan distorsi berpikir dapat diminimalisasi. Keterampilan berpikir kritis pun dapat melejitkan kemampuan kita dalam memecahkan permasalahan yang sangat penting dengan membantu menjauhkan kita dari ketimpangan berpikir dan menuntun kita berpikir sangat logis dan rasional.
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis bukan hal yang mudah perlu proses, waktu, dan pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pendidikan baik di lembaga formal seperti sekolah atau universitas dan informal seperti organisasi intra-university atau extra-university. Indah sekali rasanya bila kemampuan berpikir kritis ini dimiliki oleh masyarakat khususnya mahasiswa sebagai kelompok elit dan pra elit politik pembuat kebijakan. Terlebih menjelang pilkada: pesta demokrasi rakyat, yang rentan terjadi gesekan karena adanya perbedaan kepentingan. Bila memiliki kemampuan berpikir kritis, tentunya ketika msyarakat atau mahasiswa berunjuk rasa memang sudah melalui proses berpikir kritis sehingga keputusan yang diambil atau diusulkan memang objektif berdasarkan data dan fakta yang ada. Sehingga tidak ada istilah ‘demonstrasi bayaran’ tetapi demostrasi untuk kebenaran. Kebijakan yang diambil pejabat pun bukan kebijakan sesaat dan mementingkan kelompoknya tetapi benar-benar apa yang menjadi keharusan dan kebutuhan masyarakat. Semoga.
Selasa, 19 Januari 2010
harapan kota pendidikan
Lebak Kota Pendidikan: Sebuah Harapan
Yudi Juniardi,S.Pd.,M.Pd. Dip.Appling. (*)
Pendahuluan
Ketika Bupati Lebak Mulyadi Jaya Baya, mendeklarasikan Lebak sebagai kota Penddikan banyak sekali respon masyarakat yang beragam ada yang pro dan ada yang kontra. Yang kontra mempertanyakan akan kesiapan Lebak sebagai kota pendidikan mengingat beberapa factor: diantaranya SDM yang kurang menunjang, fasilitas yang relative sederhana dan iklim masyarakat yang kurang menunjang. Namun demikian pernyataan itu adalah wajar dan positif dalam mewujudkan Lebak sebagai ko Pendidikan dan hendaknya dijawab dengan langkah-langkah nyata.
Di bawah kepemimpinan Mulyadi Jayabaya, Lebak memang sering membuat terobosan-terobosan yang luar biasa terkadang loncatannya sangat jauh sekali. Bila melihat beberapa gebrakan setidaknya ada beberapa hal yang membuat orang menarik nafas; Lebak meluncurkan sebagai pembangunan berkualitas, pemberian beasiswa bagi mahasiswa kedokteran asal lebak, beasiswa bagi siswa berprestasi, wajar dikdas dua belas tahun, dan terakhir adalah kota pendidikan. Hemat saya, sebagai orang praktisi pendidkan (penulis), program ini sangat baik sekali dan perlu didorong bersama-sama karena tidak mungkin pembangunan itu akan tercapai bila dilakukan oleh pemerintah daerah semata. Namun demikian tentunya untuk dapat merealisasikan kota pendidikan pemda harus memikirkan perencanaan dan tindakanyang matang sehingga kota pendidikan bukan hanya sekedar slogan tetapi memang nyata diusahakan dan dilakukan oleh Pemda seempat.
Ada beberapa pertanyaa penting berkaitan dengan masalah di atas: pertama Lagkah-langkah apa yang akan dilakukan secara terencana dan matang untuk mencapai kota pendidikan? Indicator apa yang dipakai Lebak untuk melihat kesuksesan sebagai Kota Pendidikan? Apakah sudah dilakukan penelitan awal dan lanjutan dalam mencanangkan Lebak sebagai kota Pendidikan?
Perencanaaan
Dalam mengagas kota pendidikan hendaknya perencanaan atau blueprint program dibuat secara komprehensif yang melibatkan beberapa pihak terkait baik dari pihak pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat, sehingga output dari kegiatan ini akan menghasilkan blueprint/guide line book yang akan dijadikan panduan dan akhirnya apa yang diharapkan oleh pemerintah memang sejalan dan sepikiran dengan masyarakat. Dan pada ujungnya program ini akan menjadi program bersama.
Stake Holder
Peran stake holder dalam merealisasikan kota pendidikan sangat penting sekali karena berbicara pendidikan maka yang akan terlibat di dalamnya adalah masyarakat, pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga Swadaya msyarakat yang peduli terhadap masalah pendidikan. Program ini perlu sekali masukan-masukan dari stake holder khususnya professional akademisi yang memang paham secara komprehensif permasalahan pendidikan dan bisa melihat kedepan tantangan dan peluang serta dinamika pendidikan. Dalam prakteknya pemda harus membuat taskforce yang didalamnya melibatkan akademisi perguruan tinggi yang ada di Lebak khususnya dan Banten pada umumnya. Seperti kita ketahui ada beberapa perguruan tingi yang berkiprah di Lebak seperti STKIP SETIABUDHI. STIE Latansa, Akbid Rangkasbitung, Wasilatul Falah, dan beberapa perguruan tinggi lainya. Tentunya melibatkan perguruan tinggi Negeri yang ada di Banten, Untirta yang memiliki ahli dan konsultan pendidikan. Tidak kalah pentingnya peran LSM juga sangat berarti daam kesuksesan program ini, ibarat kendaraan bisa menjadi pelumas yang akan membantu dan memacu percepatan gerak kendaraan.
Prasarana
Agar kota pendidikan tidak hanya sekedar slogan tetapi juga teraktualisasi, maka pemerintah perlu memprioritaska sarana dan prasaran yang mendukung kegiatan pendidikan. Tidak hanya mencukupi fasilitas standar untuk keberlangsungan pendidikan formal tapi juga harus ditunjang dengan prasarana lainnya, seperti taman bacaan yang bisa diakses di beberapa tempat, seperti di Yogyakarta ada tempat rekreatif edukatif seperti taman pintar, perpustakaan dan museum yang menghargai sejarah dan penemuan ilmiah, area hotspot untuk mengakses informasi, taman budaya, gedung olahraga, dan masih banyak lagi.dorongan sarana dan prasarana akan menjadi salah satu indicator keseriusan pemda dalam merealisasikan kota pendidikan dan ini akan tampak pada besarnya alokasi dana pada DIPA pemerintah daerah. Semakin besar anggaran untuk alokasi pendidikan, maka akan terlihat keseriusan pemda untuk menjadi kota pendidikan.
Investasi
Diberikannya peluang dan kemudahan dalam investasi pendidikan. Misalnya pemerintah menyediakan bangunan yang khusus menjadi pusat kegiatan pendidikan. Lembaga bimbingan belajar, toko buku, café edukasi, dsb. Sehingga akan merangsang investor untuk berinvestasi di Lebak. Adalah hal yang luar biasa apabila pemda dapat bekerjasama dengan pihak asing yang akan berinvestasi dalam bidang pendidikan. Misalnya ada pusat budaya Amerika, Prancis, dan lain-lain. Semakin banyak investor yang berkiprah di Lebak maka akan semakin membantu dalam merealisasikan Lebak sebagai kota pedidikan
Lembaga Pendidikan
Sudah saatnya pemda Lebak berpikir untuk memfasilitasi pendidikan dengan membentuk sekolah yang di bentuk oleh pemda sendiri. Seperti di Serang ada Akper Pemda, di Bandung ada Unwim (winayamukti), di Lampung ada Universitas Tulang Bawang (Pemda Tulang Bawang). Bukan tidak mungkin pemda dapat membentuk Universitas Multatuli. Pendirian lembaga ini akan menjadi pencitraan positif tersendiri bagi pemda ketika mendeklarasikan sebagai kota pendidikan. Tentunya lembaga ini dari sisi pemilihan fakultas atau harus mencerminkan kebutuhan masyarakat Lebak. Seperti saat ini di Lebak masih bermasalah dengan pendidikan, kesehatan, dan konservasi sumber daya alam. Ini bisa menjadi bagian penting yang dapat dikembangkan.
Kegiatan bernuansa Pendidikan
Sudah saatnya ketika gaung kota pendidikan di gaungkan maka kegiatan pemda tidak melupakan nuansa-nuansa pendidikan. Budaya literacy harus dikembangan dan di tingkatkan. Hal itu dapat terlihat seberapa banyak budaya menulis dan membaca yang ada pada pemerntah daerah. Seberapa banyak kegiatan workshop dan seminar yang dilakukan pemda dalam meningkatkan pembangunan daerah, seberapa banyak kegiatan lomba dan festival yang mendorong kretaivitas masyaraat dalam pendidikan. Seperti lomba karya tulis ilmiah tahunan, lomba mengarang, lomba sains. Dan sebagainya. Tentunya pemda harus berakselerasi dan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait khususnya departemen pendidikan dan insan pendidikan. Perlu diingat, banyak sekali orang lebak yang punya kepedulian terhadap masalah pendidikan dan bisa diberdayakan secara maksimal.
Sebuah Harapan
Akhirnya apa yang dicanangkan oleh Pemda Lebak harus direspon secara positif. Yakin dan percaya apabila secara serius dijalankan program ini, maka 10 tahun kedepan Lebak madani akan tercipta. Lepas dari buta huruf dan lepas dari kemiskinan serta hidupnya budaya demokratis. Satu hal yang perlu kita catat bahwa kemajuan Negara biasanya dapat dilihat dari nilai human indek yang di dalamnya menyangkut pendidikan. Semakin baik Human Index, maka Negara itu semakin maju dan sejahtera. Begitu juga kemajuan daerah akan terlihat dari tingkat pendidikan masyarakatnya.
Bila melihat program Lebak sebagai Kota Pendidikan, saya serasa hidup di jaman Penjajahan Belanda dan teringat akan Multatuli yang menulis tentang penderitaan masyarakat lebak, yang akhirnya menjadi simpati dunia dan pada ujungnya dikeluarkan politik balas budi, yang diantaranya adalah memberikan akses pendidikan untuk kaum pribumi. Berharap banyak Lebak madani akan terwujud. Semoga
Yudi Juniardi,S.Pd.,M.Pd. Dip.Appling. (*)
Pendahuluan
Ketika Bupati Lebak Mulyadi Jaya Baya, mendeklarasikan Lebak sebagai kota Penddikan banyak sekali respon masyarakat yang beragam ada yang pro dan ada yang kontra. Yang kontra mempertanyakan akan kesiapan Lebak sebagai kota pendidikan mengingat beberapa factor: diantaranya SDM yang kurang menunjang, fasilitas yang relative sederhana dan iklim masyarakat yang kurang menunjang. Namun demikian pernyataan itu adalah wajar dan positif dalam mewujudkan Lebak sebagai ko Pendidikan dan hendaknya dijawab dengan langkah-langkah nyata.
Di bawah kepemimpinan Mulyadi Jayabaya, Lebak memang sering membuat terobosan-terobosan yang luar biasa terkadang loncatannya sangat jauh sekali. Bila melihat beberapa gebrakan setidaknya ada beberapa hal yang membuat orang menarik nafas; Lebak meluncurkan sebagai pembangunan berkualitas, pemberian beasiswa bagi mahasiswa kedokteran asal lebak, beasiswa bagi siswa berprestasi, wajar dikdas dua belas tahun, dan terakhir adalah kota pendidikan. Hemat saya, sebagai orang praktisi pendidkan (penulis), program ini sangat baik sekali dan perlu didorong bersama-sama karena tidak mungkin pembangunan itu akan tercapai bila dilakukan oleh pemerintah daerah semata. Namun demikian tentunya untuk dapat merealisasikan kota pendidikan pemda harus memikirkan perencanaan dan tindakanyang matang sehingga kota pendidikan bukan hanya sekedar slogan tetapi memang nyata diusahakan dan dilakukan oleh Pemda seempat.
Ada beberapa pertanyaa penting berkaitan dengan masalah di atas: pertama Lagkah-langkah apa yang akan dilakukan secara terencana dan matang untuk mencapai kota pendidikan? Indicator apa yang dipakai Lebak untuk melihat kesuksesan sebagai Kota Pendidikan? Apakah sudah dilakukan penelitan awal dan lanjutan dalam mencanangkan Lebak sebagai kota Pendidikan?
Perencanaaan
Dalam mengagas kota pendidikan hendaknya perencanaan atau blueprint program dibuat secara komprehensif yang melibatkan beberapa pihak terkait baik dari pihak pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat, sehingga output dari kegiatan ini akan menghasilkan blueprint/guide line book yang akan dijadikan panduan dan akhirnya apa yang diharapkan oleh pemerintah memang sejalan dan sepikiran dengan masyarakat. Dan pada ujungnya program ini akan menjadi program bersama.
Stake Holder
Peran stake holder dalam merealisasikan kota pendidikan sangat penting sekali karena berbicara pendidikan maka yang akan terlibat di dalamnya adalah masyarakat, pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga Swadaya msyarakat yang peduli terhadap masalah pendidikan. Program ini perlu sekali masukan-masukan dari stake holder khususnya professional akademisi yang memang paham secara komprehensif permasalahan pendidikan dan bisa melihat kedepan tantangan dan peluang serta dinamika pendidikan. Dalam prakteknya pemda harus membuat taskforce yang didalamnya melibatkan akademisi perguruan tinggi yang ada di Lebak khususnya dan Banten pada umumnya. Seperti kita ketahui ada beberapa perguruan tingi yang berkiprah di Lebak seperti STKIP SETIABUDHI. STIE Latansa, Akbid Rangkasbitung, Wasilatul Falah, dan beberapa perguruan tinggi lainya. Tentunya melibatkan perguruan tinggi Negeri yang ada di Banten, Untirta yang memiliki ahli dan konsultan pendidikan. Tidak kalah pentingnya peran LSM juga sangat berarti daam kesuksesan program ini, ibarat kendaraan bisa menjadi pelumas yang akan membantu dan memacu percepatan gerak kendaraan.
Prasarana
Agar kota pendidikan tidak hanya sekedar slogan tetapi juga teraktualisasi, maka pemerintah perlu memprioritaska sarana dan prasaran yang mendukung kegiatan pendidikan. Tidak hanya mencukupi fasilitas standar untuk keberlangsungan pendidikan formal tapi juga harus ditunjang dengan prasarana lainnya, seperti taman bacaan yang bisa diakses di beberapa tempat, seperti di Yogyakarta ada tempat rekreatif edukatif seperti taman pintar, perpustakaan dan museum yang menghargai sejarah dan penemuan ilmiah, area hotspot untuk mengakses informasi, taman budaya, gedung olahraga, dan masih banyak lagi.dorongan sarana dan prasarana akan menjadi salah satu indicator keseriusan pemda dalam merealisasikan kota pendidikan dan ini akan tampak pada besarnya alokasi dana pada DIPA pemerintah daerah. Semakin besar anggaran untuk alokasi pendidikan, maka akan terlihat keseriusan pemda untuk menjadi kota pendidikan.
Investasi
Diberikannya peluang dan kemudahan dalam investasi pendidikan. Misalnya pemerintah menyediakan bangunan yang khusus menjadi pusat kegiatan pendidikan. Lembaga bimbingan belajar, toko buku, café edukasi, dsb. Sehingga akan merangsang investor untuk berinvestasi di Lebak. Adalah hal yang luar biasa apabila pemda dapat bekerjasama dengan pihak asing yang akan berinvestasi dalam bidang pendidikan. Misalnya ada pusat budaya Amerika, Prancis, dan lain-lain. Semakin banyak investor yang berkiprah di Lebak maka akan semakin membantu dalam merealisasikan Lebak sebagai kota pedidikan
Lembaga Pendidikan
Sudah saatnya pemda Lebak berpikir untuk memfasilitasi pendidikan dengan membentuk sekolah yang di bentuk oleh pemda sendiri. Seperti di Serang ada Akper Pemda, di Bandung ada Unwim (winayamukti), di Lampung ada Universitas Tulang Bawang (Pemda Tulang Bawang). Bukan tidak mungkin pemda dapat membentuk Universitas Multatuli. Pendirian lembaga ini akan menjadi pencitraan positif tersendiri bagi pemda ketika mendeklarasikan sebagai kota pendidikan. Tentunya lembaga ini dari sisi pemilihan fakultas atau harus mencerminkan kebutuhan masyarakat Lebak. Seperti saat ini di Lebak masih bermasalah dengan pendidikan, kesehatan, dan konservasi sumber daya alam. Ini bisa menjadi bagian penting yang dapat dikembangkan.
Kegiatan bernuansa Pendidikan
Sudah saatnya ketika gaung kota pendidikan di gaungkan maka kegiatan pemda tidak melupakan nuansa-nuansa pendidikan. Budaya literacy harus dikembangan dan di tingkatkan. Hal itu dapat terlihat seberapa banyak budaya menulis dan membaca yang ada pada pemerntah daerah. Seberapa banyak kegiatan workshop dan seminar yang dilakukan pemda dalam meningkatkan pembangunan daerah, seberapa banyak kegiatan lomba dan festival yang mendorong kretaivitas masyaraat dalam pendidikan. Seperti lomba karya tulis ilmiah tahunan, lomba mengarang, lomba sains. Dan sebagainya. Tentunya pemda harus berakselerasi dan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait khususnya departemen pendidikan dan insan pendidikan. Perlu diingat, banyak sekali orang lebak yang punya kepedulian terhadap masalah pendidikan dan bisa diberdayakan secara maksimal.
Sebuah Harapan
Akhirnya apa yang dicanangkan oleh Pemda Lebak harus direspon secara positif. Yakin dan percaya apabila secara serius dijalankan program ini, maka 10 tahun kedepan Lebak madani akan tercipta. Lepas dari buta huruf dan lepas dari kemiskinan serta hidupnya budaya demokratis. Satu hal yang perlu kita catat bahwa kemajuan Negara biasanya dapat dilihat dari nilai human indek yang di dalamnya menyangkut pendidikan. Semakin baik Human Index, maka Negara itu semakin maju dan sejahtera. Begitu juga kemajuan daerah akan terlihat dari tingkat pendidikan masyarakatnya.
Bila melihat program Lebak sebagai Kota Pendidikan, saya serasa hidup di jaman Penjajahan Belanda dan teringat akan Multatuli yang menulis tentang penderitaan masyarakat lebak, yang akhirnya menjadi simpati dunia dan pada ujungnya dikeluarkan politik balas budi, yang diantaranya adalah memberikan akses pendidikan untuk kaum pribumi. Berharap banyak Lebak madani akan terwujud. Semoga
Penggunaan Bahasa Sunda
Penggunaan Bahasa Sunda Dikalangan Remaja
Oleh; Yudi Juniardi,M.Pd. Dip.App.Ling
Pendahuluan
Sebagian besar keluarga di Banten dan Jawa Barat, ada kecenderungan. pada umumnya tidak lagi membiasakan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam keluarga, Akibatnya, anak menjadi canggung dan tidak berminat untuk menggunakan bahasa sunda. Kaum remaja lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa gaul mengikuti trend yang berkembang.
Bila melihat sepintas, ada penurunan kualitas penggunaan bahasa Sunda atau daerah. Menurut Gossweiler (2001) hal itu disebabkan karena: (a) orang tua beranggapan bahwa pendidikan dwibahasa menghalangi proses pendidikan anak, (b) tidak adanya lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menururnnya pemakaian bahasa daerah, (c) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (d) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (e) kurangnya upaya sesepuh untuk mendorong pemakaian bahasa daerah, (f) kurangnya upaya untuk memupuk budaya multibahasa yang memberikan kebebasan dan bahkan peranan kepada bahasa daerah, serta (g) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi diantara sesama forum yang peduli akan perkembangan bahasa daerah.
Tampaknya, hal itu terjadi di Banten. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh remaja saat ini diantaranya adalah sukarnya kosa kata bahasa sunda, jarangnya penggunaan bahasa sunda baik di sekolah maupun di rumah. Selain itu, lebih mudah bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa sunda, dan frekuensi pemakaiannya lebih tinggi.
Ada beberapa kendala dalam pengajaran bahasa Sunda di sekolah. Pembelajaran bahasa sunda di sekolah cenderung hanya sebatas mengejar nilai akademis, namun tidak mempelajari esensi bahasa sunda masih jauh dari harapan. Belum adanya buku pelajaran bahasa sunda yang memadai dan masih rendahnya jam pengajaran bahasa sunda. Bahkan di daerah tangerang orang tua mengharapkan menggeser bahasa sunda dengan bahasa Inggris. Mereka akan memindahkan anaknya dari sekolah tersebut jika tidak dicantumkan bahasa Inggris pada Mulok, yang seharusnya Mulok diisi oleh bahasa daerah.
Nampaknya perlu dikaji bagaimana penggunaan bahasa Sunda di kalangan remaja Banten. Apakah mereka tidak menggunakan bahasa Sunda sama sekali atau hanya melakukan pemilihan kapan harus berbahasa sunda dan kapan harus berbahasa Indonesia atau bahasa lain. Seperti diketahui adanya pemilihan kode atau peralihan kode disebabkan oleh hal-hal keefektifan komunikasi, lawan bicara, dan tujuan komunikasi.
Dalam konteks pemertahanan bahasa Sunda pun perlu dikaji bagaimana kalangan remaja melakukan pemertahanan bahasa pertamanya. Apa-apa saja yang dilakukan mereka sehingga masih ada rasa kesetiaan untuk mempertahankan bahasa sunda. Dengan lingkungan yang heterogen dan adanya beberapa bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari maka akan mucul fenomena bilingualisme, code switching (alih kode), code, mixing (campur kode), dan language shift (pergeseran bahasa). Tampaknya fenomena seperti ini perlu dikaji secara serius agar penggunaan bahasa daerah tetap Eksis.
Bilingualisme
Bilingualisme adalah pemakaian dua bahasa oleh masyarakat ujaran. Ada beberapa jenis bilingualisme misalnya seseorang yang orang tuanya berbahasa ibu yang berbeda atau tinggal dalam satu masyarakat ujaran atau seseorang yang telah mempelajari bahasa asing melalui penjaran formal (Hartman & Stork)
Menurut Wardhough (1995) bilingual tidak perlu memiliki kemampuan yang sama dalam dua bahasa tersebut. Bilingualisme dilihat dari empat aspek: degree (derajat penggunaan bahasa), function (fungsi pemakaian kedua bahasa) alternation (peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain).
Ada dua istilah dalam bilingualisme: compound bilingualism dan coordinate bilingualism. Compound bilingualism terbentuk apabila seseorang mempelajarii dua bahasa dalam kondisi yang sama. Misalnya saja kedua orang tuanya menggunakan dua bahasa secara bergantian terus menerus. Sedangkan coordinate bilingalisme terbentuk manakala pengaaman kedua bahasa yang dialami berbeda. Satu alasannya karena bahasa pertama diperoleh d rumah sedangkan bahasa yang kedua dipelajari secara formal di sekolah.
Berdasarkan pemerian di atas dapat dijelaskan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk menguasa lebih dari satu bahasa. Dan penguasaannya itu dapat bersifat compound bilingualisme dan coordinate bilingualism. Dalam masyarakat multilingual dan multi etnik, sangat besar sekali kemungkinan seseorang untuk menguasai kedua bahasa secara bersamaan yang diperoleh dari orang tuanya. Tentunya, subordinate bilingual pun akan terbentuk karena pemerintah Indonesia mewajibkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Mau tidak mau anak akan mempelajari bahasa Indonesia secara formal.
Pemertahanan bahasa dan Pergeseran Bahasa
Menurut Fishman (1964) kajian pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa berkaitan dengan hubungan perubahan dan stabilitas kebiasaan penggunaan bahasa, di sisi lain. Dan proses budaya serta soial pada sisi lain, ketika populasi berbeda bahasa saat berkomunikasi satu sama lain.
Factor loyalitas bahasa adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari pemertahanan bahasa. Dalam komunitas imigran dan komunitas tuan rumah , factor loyalitas terhadap bahasa bertemu. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa komunitas imigran yang berbeda berperilaku tidak sama pada komunitas tuan rumah yang sama. Ini menunjukan bahwa perilaku berbahasa komunitas imigran dan tuan rumah berinteraksi dan menghasilkan pola pemertahanan dan pergeseran bahasa yang berbeda.
Pergeseran bahasa adalah pergeseran secara bertahap dari satu bahasa ke bahasa lain (Weinreich dalam Coulmas: 2005). Pergeseran bahasa atau language shift telah terjadi pada beberapa bahasa. Pada Holmes (1994) dijelaskan bahwa pergeseran bahasa dapat terjadi pada migrant minorities, Non-migrant communities, dan migrant majorities. Pada migrant minorities ada tekanan yang besar dari masyarakat yang lebih mayoritas. Immigrant sering kali dianggap sebagai ancaman bagi kelompok yang lebih besar. Misalnya saja pergeseran ke bahasa Inggris seringkali terjadi pada imigran yang berada di Negara yang mono lingual seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Di sini orang yang dapat berbahasa Inggris dengan baik dianggap sebagai orang yang mampu berasimilasi dengan baik.
Terjadinya Pergeseran bahasa bukanlah hal yang mudah dan mengapa terjadi pergeseran bahasa, masih sulit untuk diketahui, karena jawabannya bergantung pada pemilihan bahasa individu, keluarga, atau komunitas secara keseluruhan. Variable-variabel yang berpegaruh pada perubahan bahasa secara umum sama, yaitu: sex, usia, kelas, hubungan antar-komunitas imigran dengan komunitas tuan rumah atau minoritas dan mayoritas.
Pergeseran bahasa seringkali terjadi ke arah bahasa yang dimiliki oleh kelompok yang dominant atau berkuasa. Bahasa dominan diasosiasikan dengan status, prestis, dan sukses secara social. Menurut Grimes (2002) ada beberapa faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa: pertama, orang tua terlalu memaksa anak untuk belajar bahasa bergengsi dengan fikiran bahwa anak hanya mampu belajar satu bahasa dengan baik. Para ahli bahasa menyadari bahwa kepunahan suatu bahasa tidak selalu berarti semua penuturnya telah meninggal. Mungkin penuturnya telah bergeser menggunakan bahasa lain selama satu generasi atau lebih.mungkin para orang tua memutuskan untuk tidak menggunakan bahasa Ibu ketika berkomunikasi dengan anaknya karena bahasa kedua diangap lebih menguntungkan dari sudut ekonomi atau pendidikan. Mereka tidak menginginkan anaknya dirugikan karena tidak menguasai bahasa kedua dengan baik seperti pengalaman mereka sendiri. Kedua, penggunaan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar di sekolah menyebabkan pergeseran yang meluas di masyarakat. Ketiga, kebijakan bahasa nasional menyebabkan sebagian penduduk bergeser menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa utama. Senada dengan pendapat di atas, Holmes (1994) mengatakan bahwa factor-faktor yang dapat menyebabkan pergeseran bahasa adalah factor social, ekonomi, dan politik; factor demografi
Akibat Pergeseran Bahasa
Setidaknya ada dua akibat yang muncul dari pergeseran bahasa: pertama, kecemasan dan kedua tingkah laku anti social dan hilangnya rasa percaya diri. Kecemasan muncul karena ada perasaan bahasa itu akan tergeserkan bahkan hilang digantikan oleh bahasa lain. Bila melihat fenomena setakat ini, banyak orang tua yang terus mengajarkan bahasa sunda di rumah karena melihat jarangnya anak-anak mereka berkmunkasi dengan bahasa sunda. Kurangya rasa percaya diri mucul ketika bahasa seseorang tidak diterima dimasyarakat. Terkesan kampungan dan ketingalan jaman. Akhirnya, hal semacam ini akan memunculkan sinisme anti-social terhadap mereka yang menggunakan bahasa lain.
Bahasa Sunda di kalangan Mahasiswa
Pemilihan bahasa yang dilakukan oleh remaja khususnya mahasiswa, ada beberapa alasan yaitu usia lawan bicara, status lawan bicara, lingkungan tindak tutur. Ketika mereka berkomunikasi dengan teman sebaya bila dilingkungan Sunda, mereka akan berbahasa Sunda. Tetapi di lingkungan kampus mereka berbahasa Indonesia, karena tidak semua teman-teman mereka paham bahasa Sunda. Di sini tampak dominasi mayoritas dikalahkan oleh minoritas dengan mencari alternative bahasa lain yaitu bahasa Indonesia.
Kaitannya dari sisi usia, dengan lawan bicara yang lebih tua, misalnya saja: orang tua dan dosen mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Sebagian besar mereka berkomunikasi di rumah dengan orang tua menggunakan bahasa Sunda, sedangkan dengan dosen menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia kepada dosen karena bahasa Indonesia sebagai bahasa formal atau standard, agar mudah dipahami karena keragaman suku dosen tersebut; tidak semua dosen suku Sunda, ada yang berasal dari Sumatera, Jakarta, dan beberapa tempat lainnya.
Dari Penelitian sederhana telah dilakukan pada mahasiswa (Juniardi:2007) dan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan isian kuesioner mahasiswa B.Inggris FKIP Untirta dapat disimpulkan hal berikut: pertama, mahasiswa yang bersuku sunda ketika berkomunikasi mengunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa itu tentunya mempertimbangkan situasi formal-nonformal, tempat (rumah, kampus, lingkungan). Pemertahanan bahasa terhadap bahasa pertama tetap dilakukan dengan cara menggunakan bahasa Sunda dengan orang tua dan keluarga, serta dengan penutur yang bersuku sunda.
Melihat fenomena di atas perlu adanya kajian dan usaha yang nyata agar bahahasa daerah tetap eksis dan digunakan oleh kalangan remaja, diantaranya dengan adaya program atau pembelajaran bahasa daerah di Sekolah. Selain itu disediakan pula media literasi seperti majalah atau jurnal yang khusus menggunakan bahasa daerah. Semoga..
Oleh; Yudi Juniardi,M.Pd. Dip.App.Ling
Pendahuluan
Sebagian besar keluarga di Banten dan Jawa Barat, ada kecenderungan. pada umumnya tidak lagi membiasakan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam keluarga, Akibatnya, anak menjadi canggung dan tidak berminat untuk menggunakan bahasa sunda. Kaum remaja lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa gaul mengikuti trend yang berkembang.
Bila melihat sepintas, ada penurunan kualitas penggunaan bahasa Sunda atau daerah. Menurut Gossweiler (2001) hal itu disebabkan karena: (a) orang tua beranggapan bahwa pendidikan dwibahasa menghalangi proses pendidikan anak, (b) tidak adanya lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menururnnya pemakaian bahasa daerah, (c) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (d) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (e) kurangnya upaya sesepuh untuk mendorong pemakaian bahasa daerah, (f) kurangnya upaya untuk memupuk budaya multibahasa yang memberikan kebebasan dan bahkan peranan kepada bahasa daerah, serta (g) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi diantara sesama forum yang peduli akan perkembangan bahasa daerah.
Tampaknya, hal itu terjadi di Banten. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh remaja saat ini diantaranya adalah sukarnya kosa kata bahasa sunda, jarangnya penggunaan bahasa sunda baik di sekolah maupun di rumah. Selain itu, lebih mudah bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa sunda, dan frekuensi pemakaiannya lebih tinggi.
Ada beberapa kendala dalam pengajaran bahasa Sunda di sekolah. Pembelajaran bahasa sunda di sekolah cenderung hanya sebatas mengejar nilai akademis, namun tidak mempelajari esensi bahasa sunda masih jauh dari harapan. Belum adanya buku pelajaran bahasa sunda yang memadai dan masih rendahnya jam pengajaran bahasa sunda. Bahkan di daerah tangerang orang tua mengharapkan menggeser bahasa sunda dengan bahasa Inggris. Mereka akan memindahkan anaknya dari sekolah tersebut jika tidak dicantumkan bahasa Inggris pada Mulok, yang seharusnya Mulok diisi oleh bahasa daerah.
Nampaknya perlu dikaji bagaimana penggunaan bahasa Sunda di kalangan remaja Banten. Apakah mereka tidak menggunakan bahasa Sunda sama sekali atau hanya melakukan pemilihan kapan harus berbahasa sunda dan kapan harus berbahasa Indonesia atau bahasa lain. Seperti diketahui adanya pemilihan kode atau peralihan kode disebabkan oleh hal-hal keefektifan komunikasi, lawan bicara, dan tujuan komunikasi.
Dalam konteks pemertahanan bahasa Sunda pun perlu dikaji bagaimana kalangan remaja melakukan pemertahanan bahasa pertamanya. Apa-apa saja yang dilakukan mereka sehingga masih ada rasa kesetiaan untuk mempertahankan bahasa sunda. Dengan lingkungan yang heterogen dan adanya beberapa bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari maka akan mucul fenomena bilingualisme, code switching (alih kode), code, mixing (campur kode), dan language shift (pergeseran bahasa). Tampaknya fenomena seperti ini perlu dikaji secara serius agar penggunaan bahasa daerah tetap Eksis.
Bilingualisme
Bilingualisme adalah pemakaian dua bahasa oleh masyarakat ujaran. Ada beberapa jenis bilingualisme misalnya seseorang yang orang tuanya berbahasa ibu yang berbeda atau tinggal dalam satu masyarakat ujaran atau seseorang yang telah mempelajari bahasa asing melalui penjaran formal (Hartman & Stork)
Menurut Wardhough (1995) bilingual tidak perlu memiliki kemampuan yang sama dalam dua bahasa tersebut. Bilingualisme dilihat dari empat aspek: degree (derajat penggunaan bahasa), function (fungsi pemakaian kedua bahasa) alternation (peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain).
Ada dua istilah dalam bilingualisme: compound bilingualism dan coordinate bilingualism. Compound bilingualism terbentuk apabila seseorang mempelajarii dua bahasa dalam kondisi yang sama. Misalnya saja kedua orang tuanya menggunakan dua bahasa secara bergantian terus menerus. Sedangkan coordinate bilingalisme terbentuk manakala pengaaman kedua bahasa yang dialami berbeda. Satu alasannya karena bahasa pertama diperoleh d rumah sedangkan bahasa yang kedua dipelajari secara formal di sekolah.
Berdasarkan pemerian di atas dapat dijelaskan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk menguasa lebih dari satu bahasa. Dan penguasaannya itu dapat bersifat compound bilingualisme dan coordinate bilingualism. Dalam masyarakat multilingual dan multi etnik, sangat besar sekali kemungkinan seseorang untuk menguasai kedua bahasa secara bersamaan yang diperoleh dari orang tuanya. Tentunya, subordinate bilingual pun akan terbentuk karena pemerintah Indonesia mewajibkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Mau tidak mau anak akan mempelajari bahasa Indonesia secara formal.
Pemertahanan bahasa dan Pergeseran Bahasa
Menurut Fishman (1964) kajian pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa berkaitan dengan hubungan perubahan dan stabilitas kebiasaan penggunaan bahasa, di sisi lain. Dan proses budaya serta soial pada sisi lain, ketika populasi berbeda bahasa saat berkomunikasi satu sama lain.
Factor loyalitas bahasa adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari pemertahanan bahasa. Dalam komunitas imigran dan komunitas tuan rumah , factor loyalitas terhadap bahasa bertemu. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa komunitas imigran yang berbeda berperilaku tidak sama pada komunitas tuan rumah yang sama. Ini menunjukan bahwa perilaku berbahasa komunitas imigran dan tuan rumah berinteraksi dan menghasilkan pola pemertahanan dan pergeseran bahasa yang berbeda.
Pergeseran bahasa adalah pergeseran secara bertahap dari satu bahasa ke bahasa lain (Weinreich dalam Coulmas: 2005). Pergeseran bahasa atau language shift telah terjadi pada beberapa bahasa. Pada Holmes (1994) dijelaskan bahwa pergeseran bahasa dapat terjadi pada migrant minorities, Non-migrant communities, dan migrant majorities. Pada migrant minorities ada tekanan yang besar dari masyarakat yang lebih mayoritas. Immigrant sering kali dianggap sebagai ancaman bagi kelompok yang lebih besar. Misalnya saja pergeseran ke bahasa Inggris seringkali terjadi pada imigran yang berada di Negara yang mono lingual seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Di sini orang yang dapat berbahasa Inggris dengan baik dianggap sebagai orang yang mampu berasimilasi dengan baik.
Terjadinya Pergeseran bahasa bukanlah hal yang mudah dan mengapa terjadi pergeseran bahasa, masih sulit untuk diketahui, karena jawabannya bergantung pada pemilihan bahasa individu, keluarga, atau komunitas secara keseluruhan. Variable-variabel yang berpegaruh pada perubahan bahasa secara umum sama, yaitu: sex, usia, kelas, hubungan antar-komunitas imigran dengan komunitas tuan rumah atau minoritas dan mayoritas.
Pergeseran bahasa seringkali terjadi ke arah bahasa yang dimiliki oleh kelompok yang dominant atau berkuasa. Bahasa dominan diasosiasikan dengan status, prestis, dan sukses secara social. Menurut Grimes (2002) ada beberapa faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa: pertama, orang tua terlalu memaksa anak untuk belajar bahasa bergengsi dengan fikiran bahwa anak hanya mampu belajar satu bahasa dengan baik. Para ahli bahasa menyadari bahwa kepunahan suatu bahasa tidak selalu berarti semua penuturnya telah meninggal. Mungkin penuturnya telah bergeser menggunakan bahasa lain selama satu generasi atau lebih.mungkin para orang tua memutuskan untuk tidak menggunakan bahasa Ibu ketika berkomunikasi dengan anaknya karena bahasa kedua diangap lebih menguntungkan dari sudut ekonomi atau pendidikan. Mereka tidak menginginkan anaknya dirugikan karena tidak menguasai bahasa kedua dengan baik seperti pengalaman mereka sendiri. Kedua, penggunaan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar di sekolah menyebabkan pergeseran yang meluas di masyarakat. Ketiga, kebijakan bahasa nasional menyebabkan sebagian penduduk bergeser menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa utama. Senada dengan pendapat di atas, Holmes (1994) mengatakan bahwa factor-faktor yang dapat menyebabkan pergeseran bahasa adalah factor social, ekonomi, dan politik; factor demografi
Akibat Pergeseran Bahasa
Setidaknya ada dua akibat yang muncul dari pergeseran bahasa: pertama, kecemasan dan kedua tingkah laku anti social dan hilangnya rasa percaya diri. Kecemasan muncul karena ada perasaan bahasa itu akan tergeserkan bahkan hilang digantikan oleh bahasa lain. Bila melihat fenomena setakat ini, banyak orang tua yang terus mengajarkan bahasa sunda di rumah karena melihat jarangnya anak-anak mereka berkmunkasi dengan bahasa sunda. Kurangya rasa percaya diri mucul ketika bahasa seseorang tidak diterima dimasyarakat. Terkesan kampungan dan ketingalan jaman. Akhirnya, hal semacam ini akan memunculkan sinisme anti-social terhadap mereka yang menggunakan bahasa lain.
Bahasa Sunda di kalangan Mahasiswa
Pemilihan bahasa yang dilakukan oleh remaja khususnya mahasiswa, ada beberapa alasan yaitu usia lawan bicara, status lawan bicara, lingkungan tindak tutur. Ketika mereka berkomunikasi dengan teman sebaya bila dilingkungan Sunda, mereka akan berbahasa Sunda. Tetapi di lingkungan kampus mereka berbahasa Indonesia, karena tidak semua teman-teman mereka paham bahasa Sunda. Di sini tampak dominasi mayoritas dikalahkan oleh minoritas dengan mencari alternative bahasa lain yaitu bahasa Indonesia.
Kaitannya dari sisi usia, dengan lawan bicara yang lebih tua, misalnya saja: orang tua dan dosen mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Sebagian besar mereka berkomunikasi di rumah dengan orang tua menggunakan bahasa Sunda, sedangkan dengan dosen menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia kepada dosen karena bahasa Indonesia sebagai bahasa formal atau standard, agar mudah dipahami karena keragaman suku dosen tersebut; tidak semua dosen suku Sunda, ada yang berasal dari Sumatera, Jakarta, dan beberapa tempat lainnya.
Dari Penelitian sederhana telah dilakukan pada mahasiswa (Juniardi:2007) dan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan isian kuesioner mahasiswa B.Inggris FKIP Untirta dapat disimpulkan hal berikut: pertama, mahasiswa yang bersuku sunda ketika berkomunikasi mengunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa itu tentunya mempertimbangkan situasi formal-nonformal, tempat (rumah, kampus, lingkungan). Pemertahanan bahasa terhadap bahasa pertama tetap dilakukan dengan cara menggunakan bahasa Sunda dengan orang tua dan keluarga, serta dengan penutur yang bersuku sunda.
Melihat fenomena di atas perlu adanya kajian dan usaha yang nyata agar bahahasa daerah tetap eksis dan digunakan oleh kalangan remaja, diantaranya dengan adaya program atau pembelajaran bahasa daerah di Sekolah. Selain itu disediakan pula media literasi seperti majalah atau jurnal yang khusus menggunakan bahasa daerah. Semoga..
Pendidikan Profesi Guru
Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Pendidikan Profesi Guru
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd.
Saat ini Guru mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, hal ini terlihat dari disahkannya undang – undang pendidikan nasional N0 20 tahun 2003 dan Undang-undang Guru dan Dosen UU No 14 Tahun 2005. Kedua UU ini secara khusus mengatur profesionalisme guru. Guru tidak lagi dianggap pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan setiap orang, tetapi guru adalah sebuah profesi yang membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus serta tersertifikasi terlebih dahulu. fenomena ini memposisikan guru sebagai individu khusus dalam dunia pendidikan, dengan harapan bahwa profesionalisme guru dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Seiring dengan hal di atas, adanya undang-undang pendidikan nasional dan undang-undang guru, memunculkan beberapa istilah yang akrab di telinga guru. Seperti tunjangan profesi, sertifikasi guru, portofolio, dan yang terbaru adalah Pendidikan Profesi Guru. Sejak tahun 2007 sudah dimulai sertifikasi guru. Artinya seseorang, guru dalam jabatan, mendapatkan sertifikat profesi guru melalui kegiatan forto folio. Apabila fortofolionya mencapai skor yang diwajibkan dalam sertifikasi, lebih dari 850 maka dia berhak mendapatkan sertifikat profesi guru dan kepadanya diberikan tunjangan profesi. Tetapi kalau tidak lulus maka yang bersangkutan harus mengikuti PLPG (Diklat pelatihan Guru selama 90 jam pelajaran).
Namun demikian program sertifikasi ini tidak akan selamanya. Pemerintah merencanakan program ini dapat mensertifikasi semua guru dalam jabatan hingga tahun 2014. Jalur lain yang dapat ditempuh bagi guru yang tidak dalam jabatan dapat dilakukan melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Mengapa harus ada PPG? UU Pendidikan menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kualitasnya, seorang guru diharuskan memiliki beberapa kompetensi: pedagogic, social, kepribadian dan kompetensi profesional yang dapat dimiliki melalui pendidikan profesi. Selain itu dalam pasal 4 ayat 1 dari permen no 74 tahun 2008 dijelaskan keharusan guru prajabatan mengikuti pendidikan profesi selama satu tahun yang diselenggarakan oleh LPTK yang ditunjuk.
Mungkin PPG masih awam bagi sekalangan guru. Mengapa harus PPG? Bagaimana kompetensi Lulusan PPG ? bagaimana kurikulumnya? dan lebih spesifik bagaimana pelaksanaan PPG di Banten?
Mengapa harus PPG
Setelah berlakunya UU Guru dan Dosen, untuk menjadi guru saat ini tidak lah mudah. Walaupun seseorang sudah menyelesaikan sarjana Pendidikan, namun tidak secara otomatis langsung dapat menjadi guru. Ada satu tahapan lagi yang harus dilewati yaitu Pendidikan Profesi Guru. Mengapa harus PPG? karena saat ini guru berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen dianggap sebagai jabatan profesional dan untuk menyandang profesi itu maka seseorang harus mengikuti pendidikan Profesi Guru, layaknya profesi Dokter, atau notaris.
Mengacu pada UU No. 20/2003 Pasal 3, tujuan umum pendidikan profesi guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan khusus Pendidikan Profesi Guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta melakukan penelitian.
Bagaimana pelaksanaan PPG
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan yang ada maka pada dasarnya ada dua bentuk penyelenggaraan PPG, yakni: pertama, PPG pasca S-1 kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S1 kependidikan dengan struktur kurikulum subject specific paedagogy (pendidikan bidang studi) dan PPL Kependidikan. Dan yang kedua, PPG pasca S-1/D-IV non kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S-1/D-IV non kependidikan, dengan struktur kurikulum matakuliah akademik kependidikan (paedagogical content), subject specific paedagogy (pendidikan bidang
studi), dan PPL Kependidikan.
Standar Kompetensi Lulusan
Setelah lulus PPG maka lulusan akan memeliki standar kompetensi guru yang mencakup (a) kemampuan mengenal secara mendalam peserta didik yang dilayani, (b) penguasaan bidang studi secara keilmuan dan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan, (c)kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik dan (d) pengembangan profesionalitas berkelanjutan. Keempat wilayah kompetensi ini dapat ditinjau dari segi pengetahuan, keterampilan dan sikap, yang merupakan kesatuan utuh tetapi memiliki dua dimensi tak terpisahkan: dimensi akademik (kompetensi akademik) dan dimensi profesional (kompetensi profesional). Kompetensi akademik lebih banyak berkenaan dengan pengetahuan konseptual, teknis/prosedural, dan factual, dan sikap positif terhadap profesi guru, sedangkan kompetensi profesional berkenaan dengan penerapan pengetahuan dan tindakan pengembangan diri secara profesional.
Sesuai dengan sifatnya, kompetensi akademik diperoleh lewat pendidikan akademik tingkat universitas, sedangkan kompetensi profesional lewat pendidikan profesi. Kompetensi guru tersebut adalah, pertama, Kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi. Kedua, menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik. Ketiga, menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran dan penelitian bagi peningkatan pembelajaran bidang studi. Kempat, mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi. Kelima, memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial, konatif dan afektif, dan terakhir, kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara langsung maupun menggunakan media di sekolah dan luar sekolah. Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru yang lengkap dapat mengacu Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.
Struktur Kurikulum PPG
Bila melihat struktur kurikulum PPG, maka kuriklumnya dibedakan atas dua kurikulum: Pendidikan Profesi Guru pasca S1 kependidikan dan Struktur Kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1/D-IV non kependidikan. Struktur kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1 kependidikan meliputi: Pemantapan dan pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) dan PPL kependidikan.
Struktur Kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1/D-IV non kependidikan meliputi (1) Kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran (2) Kajian tentang peserta didik, (3) Pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) (4) Pembentukan kompetensi kepribadian pendidik dan (5) Matakuliah Kependidikan dan PPL kependidikan.
Bila melihat kurikulum di atas, tampak ada perbedaan. Pada pendidikan profesi guru pasca S1/DIV non kependidikan, ada tiga hal lain yang harus dikuasai yang berkaitan dengan kependidikan seperti kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran, kajian tentang peserta didik, dan pembentukan kompetensi kepribadian pendidik. Hal ini wajar, karena sebelumnya mereka tidak mendapatkan teori kependidikan terlebih dahulu. Sedangkan pada Guru pasca S1 kependidikan, mereka hanya mendapatkan pemantapan dan pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) dan PPL kependidikan.
Pelaksanaan PPG di Banten
FKIP untirta merupakan satu-satunya LPTK negeri yang ada di Banten dan dipercaya untuk melakukan PPG. Hal ini terlihat dari penunjukan Dikti terhadap FKIP Untirta untuk melakukan PPG. Dalam tahun 2009 ini FKIP Untirta sibuk dengan kegiatan PPG seperti sosialisasi PPG, workshop model pembelajaran, workshop penysusunan kurikulum, dan workshop pemnyusunan bahan ajar. Dalam program ini ke depan ada beberapa program studi yang dapat menyelenggarakan PPG diantaranya prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan PAUD, sedangkan prodi lainnya (bahasa Inggris, Matematika, dan Biologi) sedang mempersiapkan dengan melakukan pembuatan proposal PPG, persiapan bahan Ajar PPG, dan melaksanakan workshop model pembelajaran. Tentunya PPG ini di Banten dapat berjalan dengan bantuan semua pihak terutama LPTK dan pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan.
Singkatnya LPTK menyiapkan program PPG sedangkan Diknas menyiapkan pesertanya. Kita berharap agar semakin banyak prodi yang dapat melakukan program PPG di Banten khususnya FKIP Untirta, karena ini akan menunjang dalam percepatan proses profesi guru. Karena kalau tidak ada di daerah setempat, maka seseorang harus mencari ke LPTK lain yang menyelenggarakan PPG yang ditunjuk oleh Dikti misanya saja: UNJ, UPI, dan sebagainya.
Besar harapan, bila melihat rasionalisasi, program ini akan menghadirkan guru yang professional yaitu guru memiliki kompetensi yang disyaratkan, bila demikian maka akan menghasilkan kualitas pembelajaran dan siswa yang baik, dan secara umum meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Tidak hanya itu, profesi guru juga menjadi jelas baik dari sisi kewajiban maupun hak. Kedepan sosok guru bukan lagi sosok yang serba kekurangan, menderita, miskin, dan atribut negative lainnya seperti ‘Umar Bakrie’ tetapi sama seperti profesi lainnya seperti dokter, pengacara, atau notaris, sebagai sebuah profesi.
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd.
Saat ini Guru mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, hal ini terlihat dari disahkannya undang – undang pendidikan nasional N0 20 tahun 2003 dan Undang-undang Guru dan Dosen UU No 14 Tahun 2005. Kedua UU ini secara khusus mengatur profesionalisme guru. Guru tidak lagi dianggap pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan setiap orang, tetapi guru adalah sebuah profesi yang membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus serta tersertifikasi terlebih dahulu. fenomena ini memposisikan guru sebagai individu khusus dalam dunia pendidikan, dengan harapan bahwa profesionalisme guru dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Seiring dengan hal di atas, adanya undang-undang pendidikan nasional dan undang-undang guru, memunculkan beberapa istilah yang akrab di telinga guru. Seperti tunjangan profesi, sertifikasi guru, portofolio, dan yang terbaru adalah Pendidikan Profesi Guru. Sejak tahun 2007 sudah dimulai sertifikasi guru. Artinya seseorang, guru dalam jabatan, mendapatkan sertifikat profesi guru melalui kegiatan forto folio. Apabila fortofolionya mencapai skor yang diwajibkan dalam sertifikasi, lebih dari 850 maka dia berhak mendapatkan sertifikat profesi guru dan kepadanya diberikan tunjangan profesi. Tetapi kalau tidak lulus maka yang bersangkutan harus mengikuti PLPG (Diklat pelatihan Guru selama 90 jam pelajaran).
Namun demikian program sertifikasi ini tidak akan selamanya. Pemerintah merencanakan program ini dapat mensertifikasi semua guru dalam jabatan hingga tahun 2014. Jalur lain yang dapat ditempuh bagi guru yang tidak dalam jabatan dapat dilakukan melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Mengapa harus ada PPG? UU Pendidikan menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kualitasnya, seorang guru diharuskan memiliki beberapa kompetensi: pedagogic, social, kepribadian dan kompetensi profesional yang dapat dimiliki melalui pendidikan profesi. Selain itu dalam pasal 4 ayat 1 dari permen no 74 tahun 2008 dijelaskan keharusan guru prajabatan mengikuti pendidikan profesi selama satu tahun yang diselenggarakan oleh LPTK yang ditunjuk.
Mungkin PPG masih awam bagi sekalangan guru. Mengapa harus PPG? Bagaimana kompetensi Lulusan PPG ? bagaimana kurikulumnya? dan lebih spesifik bagaimana pelaksanaan PPG di Banten?
Mengapa harus PPG
Setelah berlakunya UU Guru dan Dosen, untuk menjadi guru saat ini tidak lah mudah. Walaupun seseorang sudah menyelesaikan sarjana Pendidikan, namun tidak secara otomatis langsung dapat menjadi guru. Ada satu tahapan lagi yang harus dilewati yaitu Pendidikan Profesi Guru. Mengapa harus PPG? karena saat ini guru berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen dianggap sebagai jabatan profesional dan untuk menyandang profesi itu maka seseorang harus mengikuti pendidikan Profesi Guru, layaknya profesi Dokter, atau notaris.
Mengacu pada UU No. 20/2003 Pasal 3, tujuan umum pendidikan profesi guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan khusus Pendidikan Profesi Guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta melakukan penelitian.
Bagaimana pelaksanaan PPG
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan yang ada maka pada dasarnya ada dua bentuk penyelenggaraan PPG, yakni: pertama, PPG pasca S-1 kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S1 kependidikan dengan struktur kurikulum subject specific paedagogy (pendidikan bidang studi) dan PPL Kependidikan. Dan yang kedua, PPG pasca S-1/D-IV non kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S-1/D-IV non kependidikan, dengan struktur kurikulum matakuliah akademik kependidikan (paedagogical content), subject specific paedagogy (pendidikan bidang
studi), dan PPL Kependidikan.
Standar Kompetensi Lulusan
Setelah lulus PPG maka lulusan akan memeliki standar kompetensi guru yang mencakup (a) kemampuan mengenal secara mendalam peserta didik yang dilayani, (b) penguasaan bidang studi secara keilmuan dan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan, (c)kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik dan (d) pengembangan profesionalitas berkelanjutan. Keempat wilayah kompetensi ini dapat ditinjau dari segi pengetahuan, keterampilan dan sikap, yang merupakan kesatuan utuh tetapi memiliki dua dimensi tak terpisahkan: dimensi akademik (kompetensi akademik) dan dimensi profesional (kompetensi profesional). Kompetensi akademik lebih banyak berkenaan dengan pengetahuan konseptual, teknis/prosedural, dan factual, dan sikap positif terhadap profesi guru, sedangkan kompetensi profesional berkenaan dengan penerapan pengetahuan dan tindakan pengembangan diri secara profesional.
Sesuai dengan sifatnya, kompetensi akademik diperoleh lewat pendidikan akademik tingkat universitas, sedangkan kompetensi profesional lewat pendidikan profesi. Kompetensi guru tersebut adalah, pertama, Kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi. Kedua, menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik. Ketiga, menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran dan penelitian bagi peningkatan pembelajaran bidang studi. Kempat, mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi. Kelima, memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial, konatif dan afektif, dan terakhir, kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara langsung maupun menggunakan media di sekolah dan luar sekolah. Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru yang lengkap dapat mengacu Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.
Struktur Kurikulum PPG
Bila melihat struktur kurikulum PPG, maka kuriklumnya dibedakan atas dua kurikulum: Pendidikan Profesi Guru pasca S1 kependidikan dan Struktur Kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1/D-IV non kependidikan. Struktur kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1 kependidikan meliputi: Pemantapan dan pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) dan PPL kependidikan.
Struktur Kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1/D-IV non kependidikan meliputi (1) Kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran (2) Kajian tentang peserta didik, (3) Pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) (4) Pembentukan kompetensi kepribadian pendidik dan (5) Matakuliah Kependidikan dan PPL kependidikan.
Bila melihat kurikulum di atas, tampak ada perbedaan. Pada pendidikan profesi guru pasca S1/DIV non kependidikan, ada tiga hal lain yang harus dikuasai yang berkaitan dengan kependidikan seperti kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran, kajian tentang peserta didik, dan pembentukan kompetensi kepribadian pendidik. Hal ini wajar, karena sebelumnya mereka tidak mendapatkan teori kependidikan terlebih dahulu. Sedangkan pada Guru pasca S1 kependidikan, mereka hanya mendapatkan pemantapan dan pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) dan PPL kependidikan.
Pelaksanaan PPG di Banten
FKIP untirta merupakan satu-satunya LPTK negeri yang ada di Banten dan dipercaya untuk melakukan PPG. Hal ini terlihat dari penunjukan Dikti terhadap FKIP Untirta untuk melakukan PPG. Dalam tahun 2009 ini FKIP Untirta sibuk dengan kegiatan PPG seperti sosialisasi PPG, workshop model pembelajaran, workshop penysusunan kurikulum, dan workshop pemnyusunan bahan ajar. Dalam program ini ke depan ada beberapa program studi yang dapat menyelenggarakan PPG diantaranya prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan PAUD, sedangkan prodi lainnya (bahasa Inggris, Matematika, dan Biologi) sedang mempersiapkan dengan melakukan pembuatan proposal PPG, persiapan bahan Ajar PPG, dan melaksanakan workshop model pembelajaran. Tentunya PPG ini di Banten dapat berjalan dengan bantuan semua pihak terutama LPTK dan pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan.
Singkatnya LPTK menyiapkan program PPG sedangkan Diknas menyiapkan pesertanya. Kita berharap agar semakin banyak prodi yang dapat melakukan program PPG di Banten khususnya FKIP Untirta, karena ini akan menunjang dalam percepatan proses profesi guru. Karena kalau tidak ada di daerah setempat, maka seseorang harus mencari ke LPTK lain yang menyelenggarakan PPG yang ditunjuk oleh Dikti misanya saja: UNJ, UPI, dan sebagainya.
Besar harapan, bila melihat rasionalisasi, program ini akan menghadirkan guru yang professional yaitu guru memiliki kompetensi yang disyaratkan, bila demikian maka akan menghasilkan kualitas pembelajaran dan siswa yang baik, dan secara umum meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Tidak hanya itu, profesi guru juga menjadi jelas baik dari sisi kewajiban maupun hak. Kedepan sosok guru bukan lagi sosok yang serba kekurangan, menderita, miskin, dan atribut negative lainnya seperti ‘Umar Bakrie’ tetapi sama seperti profesi lainnya seperti dokter, pengacara, atau notaris, sebagai sebuah profesi.
Langganan:
Postingan (Atom)