REVISI UJIAN NASIONAL
Oleh: Yudi Juniardi
Pengumuman Ujian Nsional (UN) SMA hasilnya sudah diumumkan pada tanggal 26 April 2010 dan secara umum ada penurunan prosentase kelulusan khususnya di Banten, tidak menembus angka kelulusan di atas 90%, Begitu juga dengan SMP mengalami penurunan. Namun demikian kita perlu arif dalam melihat penurunan ini, karena indicator baik buruknya ujian nasional adalah validitas dan reliabilitas instrument tes tersebut: apakah tesnya sudah mengukur yang seharusnya dan kejegannya terjaga, dan bisa membedakan yang pintar dan yang kurang. Dan tentunya angka kelulusannya. Idealnya adalah instrument Ujian Nasional valid dan reliable dan siswa lulus UN. Jadi apapun hasilnya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah dan sekolah adalah mengidentifikasi kelemahan –kelemahan yang ada baik siswa, kurikulum, sekolah, dan factor lainnya yang berkaitan dengan Proses Belajar, tentunya tes itu sendiri; apakah sudah sesuai belum dengan yang diharapkan. Membaca tulisan Muhibidin di Radar Banten (30/4) siswa pintar gagal UN adalah salah satu kelemahan alat tes UN itu sendiri; memiliki daya pembeda yang rendah. Belum lagi secara nasional ada 267 sekolah yang 100% gagal UN dan mirisnya terjadi tidak hanya pada sekolah swasta saja tapi juga pada sekolah negeri.
Melihat kegagalan sekolah dalam UN (kelulusan 0%) Perlu juga diketahui dan dikaji secara mendalam apa status akreditasi dari sekolah yang gagal itu dan bagaimana kondisi pengajarnya, serta input siswanya itu sendiri. Dengan demikian dapat diketahui factor-faktor yang berkorelasi dan berpengaruh terhadap kegagalan UN di sekolah. Karena seperti kita ketahui pemerintah sudah mengeluarkan biaya yang besar untuk kegiatan akreditasi sekolah dan sertifikasi guru. Artinya, akreditasi sekolah yang bagus dan guru yang tersertifikasi harus berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan. Begitu juga guru yang sudah tersertifikasi sebagai guru proesional harus menunjukkan eksistensinya.
Revisi Ujian Nasional
Banyak kalangan yang ingin menghapuskan UN (ujian Nasional), tetapi itu adalah hal yang keliru, karena dimanapun yang namanya proses pembelajaran setelah menyelesaikan sebuah program harus dilakukan evaluasi atau ujian. Bila tidak, maka tidak dapat diketahui keberhasilan pembelajaran itu. Namun demikian, mungkin ke depan UN teknisnya harus direvisi. Pertama, UN harus selaras dengan karakter kurikulum yang berlaku di Sekolah. Apabila pendekatan yang digunakan adalah KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) maka ujian nasional pun harus senapas dan selaras dengan kurikulum itu. Bisa dikatakan UN yang sekarang hanya mengukur domain kognitif saja, pada hal dalam KTSP pendekatannya sudah pada domain kompetensi.
Kedua, soal UN harus beragam dan disesuaikan dengan tingkat sekolah itu sendiri. Seperti kita ketahui dengan adanya akreditasi sekolah, sekolah memiliki akreditasi yang berbeda dan tingkat kelulusan pun harus disesuaikan. Misalnya passing grade kelulusan sekolah yang berakreditasi A harus berbeda dengan sekolah yang berakreditasi B dan C, sehingga ada asas keadilan.
Ketiga, penentuan kelulusan harus juga menyertakan penilaian yang dilakukan pihak sekolah. Misalnya nilai praktek juga harus diperhitungkan. Percuma saja sekolah melakukan ujian praktek jika hasilnya tidak berkontribusi apa-apa, terhadap kelulusan. Jika memungkinkan sekolahlah yang memutuskan apakah siswanya lulus atau tidak. Karena idealnya penilaian siswa harus komprehensif dilihat dari input dan proses yang telah dilaluinya.
Keempat, Idealnya proses pendidikan berjalan secara humanis, akademis, dan didaktis. Bukan unsur politis dan hukum. Dalam pelaksanaannya Jangan samakan Ujian Nasional dengan pemilihan umum. Dalam pengawasan UN yang terlibat hendaknya orang yang terlibat dalam ranah pendidikan sehingga bila terjadi problematika dalam penyelenggaraan ujian dapat diselesaikan dengan pendekatan akademis dan didaktis.
Hadirnya polisi dalam ujian nasional (tanpa menyampingkan peran polri) adalah baik tapi ini akan memberi dampak psikologis bagi siswa seperti kecemasan dan seperti orang pesakitan (dicurigai). Bila ini terjadi maka siswa akan tidak konsentrasi dan ketakutan dalam melakukan ujian sehingga berdampak tidak maksimalnya mengerjakan ujian. Sepertinya hanya ada di Indonesia ujian sekolah diawasi oleh polisi. Stigma negative pun akan muncul, seperti pendidikan kita cenderung manipulative dan tidak jujur, sehingga orang luar akan meragukan kualitas pendidikan Indonesia.
Di atas adalah pernak-pernik ujian nasional yang terjadi dalam Ujian Nasional 2010, khususnya di Banten. Semoga ke depan UN tahun 2011 terus diperbaiki teknis penyelenggaraannya sehingga UN yang jujur dan credible dapat terlaksana dengan diiring kualitas lulusan yang baik. Semoga.
___________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar