Rabu, 17 Februari 2010

bahasa dan politisi

PERILAKU BERBAHASA DAN POLITISI
Oleh Yudi Juniardi


”What is clear is that political activity does not exist without the use of language”
(Paul Chilton, Analysing Political Discourse: Theory and Practice, 2004).

Kasus Bank century menyedot perhatian public di Indonesia saat ini. Hampir semua orang tahu kasus ini karena hampir semua program televisi menayangkan siaran langsung jalannya pansus angket kasus Bank Century. Ada dua hal yang menarik: pertama kasus itu sendiri yang menyedot uang hingga 6,7 trilyun dan yang kedua proses jalannya sidang angket yang dilakukan secara terbuka, yang dapat disaksikan oleh masyarakat Indonesia. Pada penayangan siding pansus ini masyarakat dapat melihat prilaku politisi baik secara verbal maupun non verbal. Bagaimana politisi bertanya dan bagaimana politisi merespon jawaban para saksi kasus Bank Century. Sayangnya yang ditampilkan oleh anggota dewan yang terhormat sangat mengecewakan, bahkan Presiden SBY pun berkomentar agar angota dewan terhormat mengedepankan Etika dalam bertanya. Yang menarik di sini apa yang salah dengan cara berbahasa anggota dewan? Apakah cara dan etika berbahasa mereka sudah benar?

Dalam Raja Ali Haji pasal yang ke-5 bait pertama tertuang, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.” Tapi Sayangnya semakin bertambahnya usia bangsa ini budi bahasa sudah tidak diperhatikan lagi bahkan di kesampingkan. Tampaknya hal sepele, tapi penting karena bahasa itu merupakan representasi seseorang, lembaga, bahkan, bangsa.

Selain itu di tambahkan pula oleh Raja Ali Haji, pribadi seseorang, karakter dapat dibaca dari bagaimana seseorang bertutur. Lalu pada Gurindam Dua belas juga pasal 7 bait ke 10 tertulis, “Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah sekalian orang gusar,” dan pada bait ke 9, “Apabila perkataan yang lemah lembut, lekaslah segala orang mengikut.” Melihat perilaku berbahasa anggota dewan pusat, mungkin bila masih hidup Raja Ali Haji akan gusar dan sedih karena ternyata ditemukan banyak orang yang mengabaikan lemah lembut bertutur

Bahasa Dan Politik
Dilihat dari fungsinya bahasa adalah alat untuk berkomunikasi. Alat untuk menyampaikan idea atau opini dapat dilakukan baik secara verbal dan non verbal. Dalam pengunaannya harus melihat situasi dan konteks berbahasa. Karena hal ini berpengruh dalam keberhasilan berkomunikasi. Bahasa yang sesuai dengan situasi dan konteks akan lebih berterima dikalangan pendengar atau pentur. Misalnya saja dalam konteks akademis bila bahasa yang digunakan adalah bahasa kelas bawah atau informal maka stigma negative pun akan muncul: tidak terpelajar, kemampuan bahasanya kurang, tidak sopan atau etis, dan stigma negative lainnya. Begitu pula bila di kelas bawah kita menggnakan bahasa formal maka yang akan terjadi adalah terkesan orang itu sombong, menghina, menyepelekan atau menjaga jarak.

Bahasa berperan penting dalam politik. Masalah politik dapat selesai bila politisi itu piawai dalam berbahasa. Menurut Budiarjo dalam bukunya Dasar- dasar Ilmu Politik “Kemampuan bertutur memungkinkan manusia membangun relasi sosial dan mewujudkan kehidupan yang baik”, Plato dan Aristoteles menyebutnya ”en dam onia”. Itulah ”binatang politik”. Politik dalam arti luas adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik, gemah ripah loh jinawi, the good life . Chilton (2004) juga mengemukakan pentingnya bahasa dalam politik menurutnya tanpa bahasa, politik tidak dapat eksis.

Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Pada proses jalannya pansus kasus angket Bank Century, ini merupakan bagian politik mikro. Bahasa yang digunakan, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa yang digunakan anggota dewan bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif. Tetapi bila kita lihat yang terjadi saat ini dalam jalannya siding Pansus Bank Century bahasa yang digunakan oleh anggota dewan, misalnya ‘Ruhut Sitompul’ (RS) bertolak belakang bahkan terkesan tidak etis kata- kata yang berkonotasi menghina seperti “bangsat” kepada pimpinan sidang saat itu seharusnya tidak dilontarkan.

Melihat hal ini masyarakat akan kecewa terhadap prilaku berbahasa yang dilontarkan oleh anggota terhormat seperti itu, dan implikasi negatifnya hal ini akan dijadikan model bagi anggota dewan lainnya di daerah. Juga yang terakhir berbau sara ‘Daeng’ yang dilontarkan pada Jusuf Kalla. Mengapa berbau Sara, karena kata tersebut akan baik apabila disampaikan oleh orang dan situasi tertentu. Jadi dalam berbahasa harus hati-hati karena kata dalam bahasa memiliki makna yang beragam tergantung situasi dan fungsinya. Mungkin maksud RS adalah agar terkesan akrab, tetapi tidak demikian bagi masyarakat Sulawesi, itu terkesan menghina. Spontan setelah mendengar dan melihat perilaku RS, masyarakat Sulawesi membakar foto politisi ini.

Pentingnya Etika, Sopan Santun Berbahasa
Sudah saatnya anggota dewan yang terhormat berbahasa dengan baik dan cermat. Hal itu bisa dilihat dari fungsi, konteks, dan situasi berbahasa. Bila berbahasa dalam forum diskusi, maka gunakanlah kaidah-kaidah aturan yang berlaku. Misalnya saja tidak memotong pembicaraan orang lain apabila tidak dipersilahkan oleh ketua sidang. Tidak mengeluarkan katakata yang menghina atau merendahkan martabat seseorang, tidak menggunakan kata yang berkonotasi, ambigu, tabu, dan sara.

Sidang Pansus angket bukanlah sidang pengadilan tetapi lebih kepada mencari informasi dan fakta, sehingga gaya berbicara pun harus berbeda sesuai dengan situasi dan konteks. Melihat Boediono. Sri Mulyani, dan jusuf kalla saat dihadirkan di Sidang Pansus Angket, tampaknya gaya bicara yang disampaikan seperti hakim bertanya pada pesakitan (terdakwa) sungguh pemandangan yang sangat memilukan di negara yang terkenal keramahan budayanya sebagai masyarkat yang menganut budaya timur.

Akan terlihat indah dan cantik apabila anggota dewan secara santun berbahasa. Anggota dewan perwakilan rakyat bukanlah orang biasa tapi orang pilihan, mereka terpilih karena memiliki kelebihan salah satunya berkomunikasi. Kesalahan berkomunukasi akan berdampak fatal bagi anggota dewan perwakilan rakyat baik secara individu maupun lembaga. Pada kasus RS, walaupun sudah berdamai dengan pimpinan sidang saat itu tapi hendaknya dewan kehormatan memberikan sanksi atau pelajaran agar hal itu tidak terulang lagi, karena tampak sekali terjadi pengulangan perilaku berbahasa yang kurang baik bahkan sudah menular kepada anggota dewan lainnya. Harus dilakukan usaha-usaha secara serius untuk mengatasi masalah ini bahkan bila dirasa kemampuan berbahasa mereka sangat kurang mengapa tidak diberikan pelatihan atau pendidikan etika berbahasa.

Saatnya para wakil rakyat piawai menggunakan segenap kecerdasan bahasanya. Tidak melulu untuk menyerang dan melumpuhkan lawan politiknya, tetapi terlebih juga untuk memahami kehendak rakyat yang diwakili dan mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai. Masih teringat kata-kata almarhum Gusdur “ DPR seperti taman Kanak-kanak” ketika beliau kecewa dengan perilaku anggota dewan perwakilan rakyat. Semoga perilaku negatif berbahasa ini tidak diidap oleh Anggota Dewan terhormat di Banten.

Tidak ada komentar: