Selasa, 23 Juni 2015

UN 2015 DAN KEWENANGAN SEKOLAH



Setiap tahun dalan pelaksanaan Ujian nasional (UN) selalu menyisakan kejadian fenomenal. UN tahun 2014 yang lalu ramai dengan masasalah pencetakan dan pendistribusian soal UN yang tidak sesuai dengan harapan. Belum lagi isu-isu kebocoran UN yang ditemukan di beberapa daerah. Tentunya hal ini menjadi masalah serius bagi pihak terkait dan implikasinya banyak pihak yang mengkritisi UN, ada yang menyuarakan agar UN dihilangkan dan ada juga yang  menyarankan sekolah diberikan kewenangan dalam menentukan kelulusan. Walhasil dibawah menteri pendidikan dan kebudayaan Anies Baswedan yang membawahi pendidikan dasar dan menengah, pada UN 2015 sekolah diberi porsi untuk menentukan kelulusan peserta didik dan UN tidak menjadi syarat satu-satunya dalam kelulusan.
Ada yang berbeda dalam pelaksanaan UN di tahun 2015  bila dibandingkan dengan UN tahun sebelumnya. salah satunya adalah dalam Implementasi Ujian Nasional. Jadi walaupun UN tetap dilaksanakan namun aturan mainnya berbeda. Hal itu dapat dilihat dari aturan permendikbud no 144 tahun 2014. Pada aturan yang baru ini ada nuansa keberpihakan pada sekolah; sekolah memiliki kewenangan untuk menentukan kelulusan siswa. Kelulusan Peserta Didik  (PD)  tidak lagi dilihat hanya dari mata pelajaran tertentu yang diujikan tapi lebih bersifat holistic dan komprehensif memperhitungkan nilai PD lainnya selama menempuh pendidikan. Seperti dikatakan Ramli Zakaria (anggota BSNP) UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan, UN berfungsi untuk  pemetaan yang objektif terkait kemampuan siswa, sekolah, pemda,hingga pemerintah pusat
Implementasi UN
Dalam implementasi UN 2015 sekolah mendapatkan porsi  lebih baik dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kelulusan mempertimbangkan Nilai sekolah dan nilai UN, masing – masing dengan bobot yang sama 50%. Dalam pasal2 dinyatakan  bahwa peserta didik  (PD) dinyatakan lulus apabila:  menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir  untuk seluruh mata pelajaran, lulus ujian sekolah, dan lulus UN.
Menyelesaikan seluruh program pembelajaran artinya peserta didik telah mengikuti semua jenjang dalam Satuan Pendidikan (SP). Kemudian nilai minimal baik kriteranya ditentukan SP. Nilai ujian ada 2 yaitu Nilai sekolah dan  Nilai ujian nasional. Nilai sekolah perhitungannya dari gabungan rata-rata raport (70%) dan Ujian Sekolah (30%). Sedangkan nilai UN dinyatakan lulus apabila nilai mata pelajaran yang diuji nasionalkan minimal 4,0 dan rata-rata NA (nilai akhir) untuk semua mata pelajaran paling rendah 5,5.
Di akhir PD akan mendapatkan nilai akhir yang merupakan gabungan NS dan nilai UN dengan masing-masing berbobot 50%. Yang menarik, satuan pendidikan yang menetapkan kelulusan, pada pasal 7 dikatakan bahwa kelulusan peserta didik ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan melalui rapat dewan guru. Dan diumumkan paling lambat satu bulan setelah pelaksanaan UN melalui SP. Bila siswa tidak lulus, tidak seperti UN sebelumnya, mereka harus mengulang tahun depan
Kewenangan Sekolah
Dengan adanya kewenangan yang besar ini, sekolah hendaknya menjaga sebaik-baiknya dengan menegakkan nilai-nilai kejujuran. Sehingga sekolah memiliki martabat yang tinggi di mata masyarakat. Artinya, walaupun  sekolah penentu kelulusan, bukan berarti kewenangan itu digunakan sesuka hati sekolah. Sekolah harus jujur dan berani dalam mengambil keputusan yang objektif agar tidak ada pihak yang dirugikan. Sekolah harus berani untuk tidak meluluskan bagi siswa yang tidak memenuhi criteria kelulusan.
Kalau dulu kelulusan hanya dilihat dari nilai UN dan US, tapi sekarang secara holistic , nilai raport selama PD belajar di sekolah dijadikan bahan pertimbangan, dan yang paling signifikan adalah sekolah yang menentukan kelulusan PD. Jadi di sinilah sekolah harus menunjukkan kualitasnya dalam mengembangkan kemampuan peserta didik sejak mereka masuk hingga akhir.
‘Bola’ UN ada di tangan sekolah, jika bola itu dimanfaatkan dengan baik maka akan berdampak baik, sekolah akan semakin bermartabat  karena diberi peran penentu kelulusan, Sekolah semakin berkualitas, karena skor nilai minimal baik yang menentukan sekolah dan tentunya  skor ini akan beragam antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Terakhir sekolah  semakin dihargai karena menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
Ketika penentu kelulusan diberikan ke sekolah, hal ini akan berdampak positif dan negative. Positifnya, peran sekolah sangat besar  dalam menentukan kelulusan, dan penilaian bersifat komprehensif. komponen  kelulusan  mempertimbangkan aspek penilaian peserta didik secara menyeluruh sejak awal hingga akhir. Negatifnya porsi penilaian dibebankan lebih besar  ke sekolah oleh karenanya sekolah perlu memiliki guru-guru yang jujur dan handal dalam kemampuan evaluasi. Selain itu, dimungkinkan, sekolah mudah sekali untuk berbuat curang atau  tidak jujur seperti merubah atau mengkatrol  nilai raport, membocorkan soal, atau memanipulasi data dan bila ini terjadi banyak pihak yang dirugikan khususnya PD.  
Besar harapan UN 2015 ini memberi banyak perubahan untuk pencerahan pendidikan masa depan. Diharapkan Tidak akan adalagi kejadian yang mencoreng dunia pendidikan seperti  kasus soal bocor, Jual beli kunci soal, dan adanya oknum sekolah yang menjadi ‘timses’ (mengerjakan atau memberi tahu kunci jawaban soal). Oleh karena itu, peran kepala sekolah sebagai pimpinan di satuan pendidikan amat menentukan dalam penegakkan nilai-nilai kejujuran dan aturan yang berlaku. Selain itu, Pemerintah  daerah  melalui ujung tombaknya dinas pendidikan dan para pengawas harus lebih aktif mengawasi proses pendidikan di sekolah, tidak hanya pada saat UN saja. Pemda melalui dinas pendidikan  harus mampu mendeteksi titik kerawanan kecurangan dan memberikan punishment jika ada sekolah atau  oknum yang berbuat curang dan memberi reward pada sekolah yang jujur dan berhasil meningkatkan kualitas anak. Semoga UN 2015 ini mengembalikan peran sekolah sebagai lembaga yang menegakkan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran sehingga  sekolah dapat menjadi tempat pendidikan yang membentuk  generasi bangsa  yang berkarakter jujur, adil dan bermartabat.

Hati – hati berkomunikasi di dunia maya



Maraknya  kasus  penghinaan di dunia maya yang berujung ke sel tahanan. Membuat mata kita terbuka, ternyata tidak mudah untuk berkomunikasi di dunia maya. Salah-salah bisa digugat dan dipenjarakan. Artinya, pengguna internet dan media jejaring social lainnya perlu pengetahuan dan pemahaman tentang UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) no 11 tahun 2008. Saya yakin masih banyak masyarakat yang belum membaca ITE apalagi memahaminya. Beberapa orang yang terjerat pasal ITE disebabkan karena ketidak pahamannya tentang undang – undang itu.
Pada kasus penghinaan presiden Jokowi, sepertinya, pelaku  tidak pernah membaca ITE apa lagi paham. Yang dia lakukan hanya iseng . dia hanya memforward saja gambar – gambar yang menurutnya menarik. Atau pada kasus Florence, sebenarnya dia hanya meluapkan kekesalan hatinya melalui app path pribadinya dan naasnya ada yang menyebarkan luapan isi hatinya. Sebenarnya kekecewaan adalah hal yang wajar dan manusiawi bila seseorang merasakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perasaaan dan keinginannnya. Tapi karena luapannya di dunia maya, kemudian ada yang menyoal maka jadilah dia pesakitan. Apakah salah bila seseorang mengungkapkan rasa kecewa di akun pribadinya?
Terakhir. Ada seorang ibu tersandung UU ITE karena dia melampiaskan kekesalannya akibat diberhentikan suaminya dari pekerjaan, akibat seorang wanita. Dan itu dia ekpresikan di dunia maya. Wanita (yang dimaksud) tersebut tidak terima dan mengadukannya, akhirnya tanpa ampun diapun ditahan. Jika sudah begini,  kasihan sekali, dia harus meninggalkan anak-anaknya yang masih butuh bimbingannya.

Pemahaman masyarakat
Melihat kasus dan problema ini, banyak pertanyaan terlintas. Apakah semudah itu seseorang bisa langsung dijebloskan ke penjara? Apakah sudah terpikirkan bahwa pengguna internet di Indonesia sudah paham aturan ITE? Apakah konten ITE itu sudah komprehensif dan tidak multitafsir? Padahal banyak sekali pengguna internet adalah anak di bawah umur, dengan memanipulasi usianya dia membuka akun jejaring social.

Sosialisasi dan implementasi
Sebenarnya, sebelum diimplementasikan UU ITE harus sudah disosialisasikan secara menyeluruh sampai ke pelosok desa dan harus dievaluasi pemahaman masyarakat tentang ITE ini. Sosialisasinya tidak hanya sekedar mengirim UU tersebut ke lembaga formal. Tapi harus ada sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga masyarakat terkecil RT atau RW. Setidaknya jika ini dilakukan pengetahuan masyarakat lebih baik dan mereka akan cermat dalam berinternet.
Implementasi UU di masyarakat harus dievaluasi kebermanfaatannya jangan sampai UU itu hanya berlaku untuk motif tertentu sehingga tidak terkesan dipolitisir ataupun tebang pilih. Kalau kita mau jujur banyak sekali pengguna internet atau jejaring social yang bisa terkena UU ITE ini. Sebagian besar pengguna jejaring social belum tahu dan paham aturan ini. Menghina  orang atau mengolok-olok orang sering kali kita lihat di jejaring social. Apalagi pada saat pemilihan pileg dan pilpres. Mengapa mereka tidak dikenai UU ini? Apakah lembaga terkait siap untuk memperkarakan semuanya yang jumlahnya cukup banyak?

Harapan
UU ITE diterapkan untuk melindungi masyarakat dalam berinteraksi di dunia maya dan bukan sebaliknya. Undang – undang ini sejatinya membuat pengguna aman dan tidak traumatic. Dalam benak saya, mereka yang pernah terkena kasus ini pasti akan traumatis. Mereka menjadi takut berlebihan untuk menggunakan internet akhirnya enggan.
Sebaiknya ketika polisi mendapat laporan atau pengaduan  sebaiknya tidak langsung menangkap yang diadukan tapi harus secara cermat memahami apakah itu penghinaan atau bukan.  Terlebih masyarakat Indonesia memiliki budaya yang heterogen dan pemahaman yang berbeda tentang ‘makna’; bisa jadi menurut suku A pernyataan itu biasa, tapi bagi suku B itu adalah sebaliknya, penghinaan. Malah bila perlu polisi harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan ahli bahasa. Agar tidak ada pihak yang dirugikan dan keadilan hukum bagi masyarakat.
Kecermatan dan kehati-hatian aparat hukum sangat dibutuhkan pada kasus ITE. Sehingga UU ini tidak kontraproduktif dengan tujuan UU itu sendiri, yaitu diantaranya:   membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dankemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin danbertanggung jawab; dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Semoga



Ada Kesenjangan kualitas pendidikan di Banten



Sanuji Pentamarta  Anggota DPRD Banten Komisi Banten mengatakan bahwa terjadi kesenjangan antara pendidikan di Banten Utara dan Selatan. “Wajar dikdas belum  selesai karena kalau di lihat usia lama sekolah untuk daerah banten selatan tidak lebih dari  7 tahun. Berarti mereka tidak tamat SMP. Untuk mereka yang menganyam pendidikan tinggi hanya sekitar 9%. Hal itu beliau sampaikan dalam acara Seminar Pendidikan bertema “Mengukur dan menimbang kualitas Pendidikan Banten yang diselenggarakan FKIP Untirta (18/5) di Auditorium Untirta.
Selain Itu Ketua BAP Iwan K Hamdan mengatakan yang paling penting saat ini adalah meningkatkan kualitas guru. Karena masih banyak tendik yang kualitasnya tidak standar dan berimbas pada standar lainnya.
Rektor Untirta Sholeh Hidayat mengatakan bahwa terjadi peningkatan secara kuantitas jumlah pendidikan tinggi di Banten namun bila dilihat dari akreditasi saat ini baru ada 3 prodi di Banten yang berkareditasi A, dan kebanyakan terakreditasi C. perlu pemikiran semua pihak dan peran serta pemerintah daerah. Di tegaskannya “bila dilihat tenaga Pendidik Untirta saat ini memiliki lebih dari 90 Doktor ini adalah salah satu peningkatan Untirta dalam 4 tahun terakhir” imbuhnya.
Diakhir, Sanuji menambahkan bahwa untuk mengantisipasi pemerataan guru didaerah terpencil perlu dipikirkan adanya tunjangan berdasarkan jauh dekatnya letak sekolah. Sehingga mereka yang terpencilpun merasa tercukupi  dan dihargai. Kegiatan ini diikuti sangat antusias  oleh 200 peserta dari kalangan dosen ketua jurusan dan mahasiswa FKIP Untirta

marhaban ya ramadhan

di bulan suci ini saya dan keuarga mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin, dan selamat menunaikan ibadah puasa