PERILAKU BERBAHASA DAN POLITISI
Oleh Yudi Juniardi
”What is clear is that political activity does not exist without the use of language”
(Paul Chilton, Analysing Political Discourse: Theory and Practice, 2004).
Kasus Bank century menyedot perhatian public di Indonesia saat ini. Hampir semua orang tahu kasus ini karena hampir semua program televisi menayangkan siaran langsung jalannya pansus angket kasus Bank Century. Ada dua hal yang menarik: pertama kasus itu sendiri yang menyedot uang hingga 6,7 trilyun dan yang kedua proses jalannya sidang angket yang dilakukan secara terbuka, yang dapat disaksikan oleh masyarakat Indonesia. Pada penayangan siding pansus ini masyarakat dapat melihat prilaku politisi baik secara verbal maupun non verbal. Bagaimana politisi bertanya dan bagaimana politisi merespon jawaban para saksi kasus Bank Century. Sayangnya yang ditampilkan oleh anggota dewan yang terhormat sangat mengecewakan, bahkan Presiden SBY pun berkomentar agar angota dewan terhormat mengedepankan Etika dalam bertanya. Yang menarik di sini apa yang salah dengan cara berbahasa anggota dewan? Apakah cara dan etika berbahasa mereka sudah benar?
Dalam Raja Ali Haji pasal yang ke-5 bait pertama tertuang, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.” Tapi Sayangnya semakin bertambahnya usia bangsa ini budi bahasa sudah tidak diperhatikan lagi bahkan di kesampingkan. Tampaknya hal sepele, tapi penting karena bahasa itu merupakan representasi seseorang, lembaga, bahkan, bangsa.
Selain itu di tambahkan pula oleh Raja Ali Haji, pribadi seseorang, karakter dapat dibaca dari bagaimana seseorang bertutur. Lalu pada Gurindam Dua belas juga pasal 7 bait ke 10 tertulis, “Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah sekalian orang gusar,” dan pada bait ke 9, “Apabila perkataan yang lemah lembut, lekaslah segala orang mengikut.” Melihat perilaku berbahasa anggota dewan pusat, mungkin bila masih hidup Raja Ali Haji akan gusar dan sedih karena ternyata ditemukan banyak orang yang mengabaikan lemah lembut bertutur
Bahasa Dan Politik
Dilihat dari fungsinya bahasa adalah alat untuk berkomunikasi. Alat untuk menyampaikan idea atau opini dapat dilakukan baik secara verbal dan non verbal. Dalam pengunaannya harus melihat situasi dan konteks berbahasa. Karena hal ini berpengruh dalam keberhasilan berkomunikasi. Bahasa yang sesuai dengan situasi dan konteks akan lebih berterima dikalangan pendengar atau pentur. Misalnya saja dalam konteks akademis bila bahasa yang digunakan adalah bahasa kelas bawah atau informal maka stigma negative pun akan muncul: tidak terpelajar, kemampuan bahasanya kurang, tidak sopan atau etis, dan stigma negative lainnya. Begitu pula bila di kelas bawah kita menggnakan bahasa formal maka yang akan terjadi adalah terkesan orang itu sombong, menghina, menyepelekan atau menjaga jarak.
Bahasa berperan penting dalam politik. Masalah politik dapat selesai bila politisi itu piawai dalam berbahasa. Menurut Budiarjo dalam bukunya Dasar- dasar Ilmu Politik “Kemampuan bertutur memungkinkan manusia membangun relasi sosial dan mewujudkan kehidupan yang baik”, Plato dan Aristoteles menyebutnya ”en dam onia”. Itulah ”binatang politik”. Politik dalam arti luas adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik, gemah ripah loh jinawi, the good life . Chilton (2004) juga mengemukakan pentingnya bahasa dalam politik menurutnya tanpa bahasa, politik tidak dapat eksis.
Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Pada proses jalannya pansus kasus angket Bank Century, ini merupakan bagian politik mikro. Bahasa yang digunakan, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa yang digunakan anggota dewan bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif. Tetapi bila kita lihat yang terjadi saat ini dalam jalannya siding Pansus Bank Century bahasa yang digunakan oleh anggota dewan, misalnya ‘Ruhut Sitompul’ (RS) bertolak belakang bahkan terkesan tidak etis kata- kata yang berkonotasi menghina seperti “bangsat” kepada pimpinan sidang saat itu seharusnya tidak dilontarkan.
Melihat hal ini masyarakat akan kecewa terhadap prilaku berbahasa yang dilontarkan oleh anggota terhormat seperti itu, dan implikasi negatifnya hal ini akan dijadikan model bagi anggota dewan lainnya di daerah. Juga yang terakhir berbau sara ‘Daeng’ yang dilontarkan pada Jusuf Kalla. Mengapa berbau Sara, karena kata tersebut akan baik apabila disampaikan oleh orang dan situasi tertentu. Jadi dalam berbahasa harus hati-hati karena kata dalam bahasa memiliki makna yang beragam tergantung situasi dan fungsinya. Mungkin maksud RS adalah agar terkesan akrab, tetapi tidak demikian bagi masyarakat Sulawesi, itu terkesan menghina. Spontan setelah mendengar dan melihat perilaku RS, masyarakat Sulawesi membakar foto politisi ini.
Pentingnya Etika, Sopan Santun Berbahasa
Sudah saatnya anggota dewan yang terhormat berbahasa dengan baik dan cermat. Hal itu bisa dilihat dari fungsi, konteks, dan situasi berbahasa. Bila berbahasa dalam forum diskusi, maka gunakanlah kaidah-kaidah aturan yang berlaku. Misalnya saja tidak memotong pembicaraan orang lain apabila tidak dipersilahkan oleh ketua sidang. Tidak mengeluarkan katakata yang menghina atau merendahkan martabat seseorang, tidak menggunakan kata yang berkonotasi, ambigu, tabu, dan sara.
Sidang Pansus angket bukanlah sidang pengadilan tetapi lebih kepada mencari informasi dan fakta, sehingga gaya berbicara pun harus berbeda sesuai dengan situasi dan konteks. Melihat Boediono. Sri Mulyani, dan jusuf kalla saat dihadirkan di Sidang Pansus Angket, tampaknya gaya bicara yang disampaikan seperti hakim bertanya pada pesakitan (terdakwa) sungguh pemandangan yang sangat memilukan di negara yang terkenal keramahan budayanya sebagai masyarkat yang menganut budaya timur.
Akan terlihat indah dan cantik apabila anggota dewan secara santun berbahasa. Anggota dewan perwakilan rakyat bukanlah orang biasa tapi orang pilihan, mereka terpilih karena memiliki kelebihan salah satunya berkomunikasi. Kesalahan berkomunukasi akan berdampak fatal bagi anggota dewan perwakilan rakyat baik secara individu maupun lembaga. Pada kasus RS, walaupun sudah berdamai dengan pimpinan sidang saat itu tapi hendaknya dewan kehormatan memberikan sanksi atau pelajaran agar hal itu tidak terulang lagi, karena tampak sekali terjadi pengulangan perilaku berbahasa yang kurang baik bahkan sudah menular kepada anggota dewan lainnya. Harus dilakukan usaha-usaha secara serius untuk mengatasi masalah ini bahkan bila dirasa kemampuan berbahasa mereka sangat kurang mengapa tidak diberikan pelatihan atau pendidikan etika berbahasa.
Saatnya para wakil rakyat piawai menggunakan segenap kecerdasan bahasanya. Tidak melulu untuk menyerang dan melumpuhkan lawan politiknya, tetapi terlebih juga untuk memahami kehendak rakyat yang diwakili dan mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan partai. Masih teringat kata-kata almarhum Gusdur “ DPR seperti taman Kanak-kanak” ketika beliau kecewa dengan perilaku anggota dewan perwakilan rakyat. Semoga perilaku negatif berbahasa ini tidak diidap oleh Anggota Dewan terhormat di Banten.
Rabu, 17 Februari 2010
berpikir kritis
Pentingnya Masyarakat Berpikir Kritis
Oleh: Yudi Juniardi
“…the quality of our thinking will depend directly, and solely, on the quality of our thinking.”
De Bono (2000)
Akhir-akhir ini dibeberapa media masa tampak headline dihiasi dengan unjuk rasa mahasiswa, dan kasusnya beragam: kasus bank Century, kasus Korupsi, kasus pilkada, ijazah palsu, pemekaran wilayah, sengketa lahan, dan kasus lainnya yang pada intinya mengkritisi kebijakan yang dianggap ‘tidak benar’
Terlepas benar dan salah demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan: apakah mereka turun ke jalan atau memperjuangkan sesuatu sudah berdasarkan pemikiran yang matang atau hanya solidaritas semata, trend atau bahkan emosional? Sudahkah mereka berpikir kritis? Sekali lagi, Terlepas benar atau tidaknya motif demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat ada satu hal yang harus ditegaskan bahwa mereka perlu memiliki kemampuan berpikir kritis. Artinya Apa yang diperjuangkan berdasarkan proses berpikir yang matang, berdasarkan data dan fakta yang otentik sehingga keputusan yang diambil atau diperjungkan memang benar.
Masyarakat dan Informasi di Era Globalisasi
Di era globalisasi ini akses informasi semakin cepat. Perkembangan teknologi pun berpengaruh terhadap kecepatan dan kuantitas data atau informasi. Masyarakat yang memiliki kemampuan teknologi informasi yang akan mendominasi informasi. Biasanya Negara maju dengan kemampuan IT yang canggih lebih mendominasi akses informasi dan dengan informasi tersebut mereka dapat melakukan hal yang positif seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan hal yang negatif seperti membut stigma negative, propaganda yang menyesatkan, atau menyebarkan informasi yang keliru.
Mirisnya, masyarakat di Negara berkembang biasanya sebagai objek dari informasi bahkan terkesan dijajah oleh informasi. Hal ini terlihat dari perubahan gaya hidup dan berpikir yang kebarat-baratan, atau adanya pergeseran budaya di masyarakat berkembang.
Dengan adanya kesepakatan AFTA yang mulai diberlakukan pada tahun 2003 dan ditambah dengan adanya kesepakatan APEC untuk berbaur dalam perdagangan bebas dunia pada 2020. menurut Ekawahyu Kasih (1999), Kesepakatan-kesepakatan itu tentnya berimplikasi pada tiga dimensi , yaitu: 1) meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global; 2) persaingan sumber daya manusia yang ketat; dan 3) semakin besarnya kemungkinan terjadinya ekploitasi negara yang lebih maju dan lebih siap bersaing terhadap negara-negara yang tidak mampu atau belum siap bersaing.
Melihat tiga poin di atas jelaslah ini sebuah tantangan sekaligus ancaman bagi bangsa Indonesia apabila tidak di tindaklanjuti secara positif dengan melakukan perbaikan-perbaikan khususnya dalam meningatkan SDM yang handal dan berkualitas. Apabila SDM kita tida mampu bersaing dan tidak berkualitas maka kita akan menjadi ‘buruh di rumah sendiri’. Luapan informasi dari luar akan berimplikasi negatif bagi masyarakat atau cenderung provokatif dan agitasi apabila kita tidak memahami dan memiliki informasi yang kuat dan benar. Dampak negatifnya adalah makin masifnya kerusuhan-kerusuhan diberbagai daerah yang hanya disebabkan oleh kesalah pahaman atau ketidak mampuan mengambil keputusan yang benar berdasarkan data, fakta, dan kenyataan yang ada. Bila demikian, maka salah satunya cara untuk mengantisipasi luapan informasi hanyalah penguasaan keterampilan berpikir kritis. Karena dengan penguasaan keterampilan tersebutlah kita mampu menyeleksi mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah serta bisa menentukan sikap apakah yang sesuai untuk menyikapi luapan informasi itu, sehingga keputusan yang diambil lebih objektif dan logis.
Di Negara yang mengagungkan demokrasi ini, masyarakat perlu sekali yang mengedepankan berpikir kritis, bila tidak demikian, maka akan terjadi perselisihan dan kekacauan tanpa ada habisnya bahkan mengarah ke anarkis. Selain itu dibutuhkan juga Masyarakat yang mampu dengan sehat dan cerdas bersikap kritis terhadap lingkungannya tidak akan mudah terpengaruh oleh gelombang ketidakpastian ataupun provokasi dari pihak-pihak yang saling berebut kepentingan. Realitas negara kita hari ini mengindikasikan kecenderungan mudahnya timbul konflik antar individu, kelompok atau golongan, suku, ras, atau bahkan agama yang tersulut hanya karena masalah-masalah sepele. Juga ditambah dengan beberapa kasus besar, salah satunya adalah kasus Bank Century yang tidak kelar-kelar bahkan cenderung bias dan menjalar kemana-mana; ranah hukum, ranah ekonomi, politik, social dan budaya.
Saat ini, dalam kerangka reformasi nasional dalam berbagai segi dan menjaga keutuhan NKRI, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat substansial jika kita mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi akar permasalahan yang tengah kita hadapi dan mencari serta mengembangkan alternatif pemecahan bagi permasalahan tersebut.
Keterampilan berpikir kritis tidak ada dengan sendirinya. keterampilan berpikir kritis harus ditransformasikan secara sadar melalui proses pendidikan. Dengan keterampilan seperti ini, masyarakat akan terbina untuk bersikap selektif dalam menerima dan memahami setiap persoalan serta bersikap lebih berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku.
Berpikir kritis
Berpikir kritis adalah proses bagaimana kita menggunakan pengetahuan dan intelegensi kita untuk berpikir secara efektif, beralasan dan benar, sehingga dapat mengatasi hambatan-hambatan dalam berpikir secara rasional.
Berpikir kritis tidak hanya berpikir secara analitik dan logis tetapi juga berpikir secara rasional dan objektif. Logis dan analisis merupakan konsep matematik dan filosofis, sedangkan berpikir secara rasional dan objektif merupakan konsep yang lebih luas yang juga mewakili bidang psikologi dan sosiologi. Artinya, berpikir tidak hanya didasarkan pada kemampuan akal tetapi juga dilihat ke objektifannya. Memutuskan sesuatu tidak hanya proses analisis tapi juga didukung oleh kondisi, data, dan fakta yang ada.
Untuk dapat berpikir kritis seseorang harus mengembangkan perilakunya, yang menyangkut: keterbukaan pandangan dan pikiran, skeptisme yang sehat, terbuka secara intelektual, berpikir bebas, dan motivasi yang tinggi. Dengan demikian berpikir kritis adalah berpikir secara jernih, akurat, didasari pengetahuan. Ketika melakukan kegiatan selalu berlandaskan alasan-alasan yang logis. Tiga hal yang selalu dipertimbangkan secara filosofis dalam berpikir kritis: logis, epistemology, dan etis.
Ditambahkan pula oleh Alwasilah (1992) berpikir kritis artinya mampu melihat bias, mengenal dan menganalisa propaganda, mengindentifikasi kekeliruan logika, memahami agenda terselubung, membuat perbandingan, menyimpulkan asumsi dasar, dan memecahkan masalah.
Pembudayaan keterampilan berpikir kritis dapat menggali cara-cara pemahaman pikiran dan pengasahan intelektualitas sehingga kesalahan dan distorsi berpikir dapat diminimalisasi. Keterampilan berpikir kritis pun dapat melejitkan kemampuan kita dalam memecahkan permasalahan yang sangat penting dengan membantu menjauhkan kita dari ketimpangan berpikir dan menuntun kita berpikir sangat logis dan rasional.
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis bukan hal yang mudah perlu proses, waktu, dan pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pendidikan baik di lembaga formal seperti sekolah atau universitas dan informal seperti organisasi intra-university atau extra-university. Indah sekali rasanya bila kemampuan berpikir kritis ini dimiliki oleh masyarakat khususnya mahasiswa sebagai kelompok elit dan pra elit politik pembuat kebijakan. Terlebih menjelang pilkada: pesta demokrasi rakyat, yang rentan terjadi gesekan karena adanya perbedaan kepentingan. Bila memiliki kemampuan berpikir kritis, tentunya ketika msyarakat atau mahasiswa berunjuk rasa memang sudah melalui proses berpikir kritis sehingga keputusan yang diambil atau diusulkan memang objektif berdasarkan data dan fakta yang ada. Sehingga tidak ada istilah ‘demonstrasi bayaran’ tetapi demostrasi untuk kebenaran. Kebijakan yang diambil pejabat pun bukan kebijakan sesaat dan mementingkan kelompoknya tetapi benar-benar apa yang menjadi keharusan dan kebutuhan masyarakat. Semoga.
Oleh: Yudi Juniardi
“…the quality of our thinking will depend directly, and solely, on the quality of our thinking.”
De Bono (2000)
Akhir-akhir ini dibeberapa media masa tampak headline dihiasi dengan unjuk rasa mahasiswa, dan kasusnya beragam: kasus bank Century, kasus Korupsi, kasus pilkada, ijazah palsu, pemekaran wilayah, sengketa lahan, dan kasus lainnya yang pada intinya mengkritisi kebijakan yang dianggap ‘tidak benar’
Terlepas benar dan salah demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan: apakah mereka turun ke jalan atau memperjuangkan sesuatu sudah berdasarkan pemikiran yang matang atau hanya solidaritas semata, trend atau bahkan emosional? Sudahkah mereka berpikir kritis? Sekali lagi, Terlepas benar atau tidaknya motif demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat ada satu hal yang harus ditegaskan bahwa mereka perlu memiliki kemampuan berpikir kritis. Artinya Apa yang diperjuangkan berdasarkan proses berpikir yang matang, berdasarkan data dan fakta yang otentik sehingga keputusan yang diambil atau diperjungkan memang benar.
Masyarakat dan Informasi di Era Globalisasi
Di era globalisasi ini akses informasi semakin cepat. Perkembangan teknologi pun berpengaruh terhadap kecepatan dan kuantitas data atau informasi. Masyarakat yang memiliki kemampuan teknologi informasi yang akan mendominasi informasi. Biasanya Negara maju dengan kemampuan IT yang canggih lebih mendominasi akses informasi dan dengan informasi tersebut mereka dapat melakukan hal yang positif seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan hal yang negatif seperti membut stigma negative, propaganda yang menyesatkan, atau menyebarkan informasi yang keliru.
Mirisnya, masyarakat di Negara berkembang biasanya sebagai objek dari informasi bahkan terkesan dijajah oleh informasi. Hal ini terlihat dari perubahan gaya hidup dan berpikir yang kebarat-baratan, atau adanya pergeseran budaya di masyarakat berkembang.
Dengan adanya kesepakatan AFTA yang mulai diberlakukan pada tahun 2003 dan ditambah dengan adanya kesepakatan APEC untuk berbaur dalam perdagangan bebas dunia pada 2020. menurut Ekawahyu Kasih (1999), Kesepakatan-kesepakatan itu tentnya berimplikasi pada tiga dimensi , yaitu: 1) meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global; 2) persaingan sumber daya manusia yang ketat; dan 3) semakin besarnya kemungkinan terjadinya ekploitasi negara yang lebih maju dan lebih siap bersaing terhadap negara-negara yang tidak mampu atau belum siap bersaing.
Melihat tiga poin di atas jelaslah ini sebuah tantangan sekaligus ancaman bagi bangsa Indonesia apabila tidak di tindaklanjuti secara positif dengan melakukan perbaikan-perbaikan khususnya dalam meningatkan SDM yang handal dan berkualitas. Apabila SDM kita tida mampu bersaing dan tidak berkualitas maka kita akan menjadi ‘buruh di rumah sendiri’. Luapan informasi dari luar akan berimplikasi negatif bagi masyarakat atau cenderung provokatif dan agitasi apabila kita tidak memahami dan memiliki informasi yang kuat dan benar. Dampak negatifnya adalah makin masifnya kerusuhan-kerusuhan diberbagai daerah yang hanya disebabkan oleh kesalah pahaman atau ketidak mampuan mengambil keputusan yang benar berdasarkan data, fakta, dan kenyataan yang ada. Bila demikian, maka salah satunya cara untuk mengantisipasi luapan informasi hanyalah penguasaan keterampilan berpikir kritis. Karena dengan penguasaan keterampilan tersebutlah kita mampu menyeleksi mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah serta bisa menentukan sikap apakah yang sesuai untuk menyikapi luapan informasi itu, sehingga keputusan yang diambil lebih objektif dan logis.
Di Negara yang mengagungkan demokrasi ini, masyarakat perlu sekali yang mengedepankan berpikir kritis, bila tidak demikian, maka akan terjadi perselisihan dan kekacauan tanpa ada habisnya bahkan mengarah ke anarkis. Selain itu dibutuhkan juga Masyarakat yang mampu dengan sehat dan cerdas bersikap kritis terhadap lingkungannya tidak akan mudah terpengaruh oleh gelombang ketidakpastian ataupun provokasi dari pihak-pihak yang saling berebut kepentingan. Realitas negara kita hari ini mengindikasikan kecenderungan mudahnya timbul konflik antar individu, kelompok atau golongan, suku, ras, atau bahkan agama yang tersulut hanya karena masalah-masalah sepele. Juga ditambah dengan beberapa kasus besar, salah satunya adalah kasus Bank Century yang tidak kelar-kelar bahkan cenderung bias dan menjalar kemana-mana; ranah hukum, ranah ekonomi, politik, social dan budaya.
Saat ini, dalam kerangka reformasi nasional dalam berbagai segi dan menjaga keutuhan NKRI, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat substansial jika kita mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi akar permasalahan yang tengah kita hadapi dan mencari serta mengembangkan alternatif pemecahan bagi permasalahan tersebut.
Keterampilan berpikir kritis tidak ada dengan sendirinya. keterampilan berpikir kritis harus ditransformasikan secara sadar melalui proses pendidikan. Dengan keterampilan seperti ini, masyarakat akan terbina untuk bersikap selektif dalam menerima dan memahami setiap persoalan serta bersikap lebih berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku.
Berpikir kritis
Berpikir kritis adalah proses bagaimana kita menggunakan pengetahuan dan intelegensi kita untuk berpikir secara efektif, beralasan dan benar, sehingga dapat mengatasi hambatan-hambatan dalam berpikir secara rasional.
Berpikir kritis tidak hanya berpikir secara analitik dan logis tetapi juga berpikir secara rasional dan objektif. Logis dan analisis merupakan konsep matematik dan filosofis, sedangkan berpikir secara rasional dan objektif merupakan konsep yang lebih luas yang juga mewakili bidang psikologi dan sosiologi. Artinya, berpikir tidak hanya didasarkan pada kemampuan akal tetapi juga dilihat ke objektifannya. Memutuskan sesuatu tidak hanya proses analisis tapi juga didukung oleh kondisi, data, dan fakta yang ada.
Untuk dapat berpikir kritis seseorang harus mengembangkan perilakunya, yang menyangkut: keterbukaan pandangan dan pikiran, skeptisme yang sehat, terbuka secara intelektual, berpikir bebas, dan motivasi yang tinggi. Dengan demikian berpikir kritis adalah berpikir secara jernih, akurat, didasari pengetahuan. Ketika melakukan kegiatan selalu berlandaskan alasan-alasan yang logis. Tiga hal yang selalu dipertimbangkan secara filosofis dalam berpikir kritis: logis, epistemology, dan etis.
Ditambahkan pula oleh Alwasilah (1992) berpikir kritis artinya mampu melihat bias, mengenal dan menganalisa propaganda, mengindentifikasi kekeliruan logika, memahami agenda terselubung, membuat perbandingan, menyimpulkan asumsi dasar, dan memecahkan masalah.
Pembudayaan keterampilan berpikir kritis dapat menggali cara-cara pemahaman pikiran dan pengasahan intelektualitas sehingga kesalahan dan distorsi berpikir dapat diminimalisasi. Keterampilan berpikir kritis pun dapat melejitkan kemampuan kita dalam memecahkan permasalahan yang sangat penting dengan membantu menjauhkan kita dari ketimpangan berpikir dan menuntun kita berpikir sangat logis dan rasional.
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis bukan hal yang mudah perlu proses, waktu, dan pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pendidikan baik di lembaga formal seperti sekolah atau universitas dan informal seperti organisasi intra-university atau extra-university. Indah sekali rasanya bila kemampuan berpikir kritis ini dimiliki oleh masyarakat khususnya mahasiswa sebagai kelompok elit dan pra elit politik pembuat kebijakan. Terlebih menjelang pilkada: pesta demokrasi rakyat, yang rentan terjadi gesekan karena adanya perbedaan kepentingan. Bila memiliki kemampuan berpikir kritis, tentunya ketika msyarakat atau mahasiswa berunjuk rasa memang sudah melalui proses berpikir kritis sehingga keputusan yang diambil atau diusulkan memang objektif berdasarkan data dan fakta yang ada. Sehingga tidak ada istilah ‘demonstrasi bayaran’ tetapi demostrasi untuk kebenaran. Kebijakan yang diambil pejabat pun bukan kebijakan sesaat dan mementingkan kelompoknya tetapi benar-benar apa yang menjadi keharusan dan kebutuhan masyarakat. Semoga.
Langganan:
Postingan (Atom)