Lebak Kota Pendidikan: Sebuah Harapan
Yudi Juniardi,S.Pd.,M.Pd. Dip.Appling. (*)
Pendahuluan
Ketika Bupati Lebak Mulyadi Jaya Baya, mendeklarasikan Lebak sebagai kota Penddikan banyak sekali respon masyarakat yang beragam ada yang pro dan ada yang kontra. Yang kontra mempertanyakan akan kesiapan Lebak sebagai kota pendidikan mengingat beberapa factor: diantaranya SDM yang kurang menunjang, fasilitas yang relative sederhana dan iklim masyarakat yang kurang menunjang. Namun demikian pernyataan itu adalah wajar dan positif dalam mewujudkan Lebak sebagai ko Pendidikan dan hendaknya dijawab dengan langkah-langkah nyata.
Di bawah kepemimpinan Mulyadi Jayabaya, Lebak memang sering membuat terobosan-terobosan yang luar biasa terkadang loncatannya sangat jauh sekali. Bila melihat beberapa gebrakan setidaknya ada beberapa hal yang membuat orang menarik nafas; Lebak meluncurkan sebagai pembangunan berkualitas, pemberian beasiswa bagi mahasiswa kedokteran asal lebak, beasiswa bagi siswa berprestasi, wajar dikdas dua belas tahun, dan terakhir adalah kota pendidikan. Hemat saya, sebagai orang praktisi pendidkan (penulis), program ini sangat baik sekali dan perlu didorong bersama-sama karena tidak mungkin pembangunan itu akan tercapai bila dilakukan oleh pemerintah daerah semata. Namun demikian tentunya untuk dapat merealisasikan kota pendidikan pemda harus memikirkan perencanaan dan tindakanyang matang sehingga kota pendidikan bukan hanya sekedar slogan tetapi memang nyata diusahakan dan dilakukan oleh Pemda seempat.
Ada beberapa pertanyaa penting berkaitan dengan masalah di atas: pertama Lagkah-langkah apa yang akan dilakukan secara terencana dan matang untuk mencapai kota pendidikan? Indicator apa yang dipakai Lebak untuk melihat kesuksesan sebagai Kota Pendidikan? Apakah sudah dilakukan penelitan awal dan lanjutan dalam mencanangkan Lebak sebagai kota Pendidikan?
Perencanaaan
Dalam mengagas kota pendidikan hendaknya perencanaan atau blueprint program dibuat secara komprehensif yang melibatkan beberapa pihak terkait baik dari pihak pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat, sehingga output dari kegiatan ini akan menghasilkan blueprint/guide line book yang akan dijadikan panduan dan akhirnya apa yang diharapkan oleh pemerintah memang sejalan dan sepikiran dengan masyarakat. Dan pada ujungnya program ini akan menjadi program bersama.
Stake Holder
Peran stake holder dalam merealisasikan kota pendidikan sangat penting sekali karena berbicara pendidikan maka yang akan terlibat di dalamnya adalah masyarakat, pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga Swadaya msyarakat yang peduli terhadap masalah pendidikan. Program ini perlu sekali masukan-masukan dari stake holder khususnya professional akademisi yang memang paham secara komprehensif permasalahan pendidikan dan bisa melihat kedepan tantangan dan peluang serta dinamika pendidikan. Dalam prakteknya pemda harus membuat taskforce yang didalamnya melibatkan akademisi perguruan tinggi yang ada di Lebak khususnya dan Banten pada umumnya. Seperti kita ketahui ada beberapa perguruan tingi yang berkiprah di Lebak seperti STKIP SETIABUDHI. STIE Latansa, Akbid Rangkasbitung, Wasilatul Falah, dan beberapa perguruan tinggi lainya. Tentunya melibatkan perguruan tinggi Negeri yang ada di Banten, Untirta yang memiliki ahli dan konsultan pendidikan. Tidak kalah pentingnya peran LSM juga sangat berarti daam kesuksesan program ini, ibarat kendaraan bisa menjadi pelumas yang akan membantu dan memacu percepatan gerak kendaraan.
Prasarana
Agar kota pendidikan tidak hanya sekedar slogan tetapi juga teraktualisasi, maka pemerintah perlu memprioritaska sarana dan prasaran yang mendukung kegiatan pendidikan. Tidak hanya mencukupi fasilitas standar untuk keberlangsungan pendidikan formal tapi juga harus ditunjang dengan prasarana lainnya, seperti taman bacaan yang bisa diakses di beberapa tempat, seperti di Yogyakarta ada tempat rekreatif edukatif seperti taman pintar, perpustakaan dan museum yang menghargai sejarah dan penemuan ilmiah, area hotspot untuk mengakses informasi, taman budaya, gedung olahraga, dan masih banyak lagi.dorongan sarana dan prasarana akan menjadi salah satu indicator keseriusan pemda dalam merealisasikan kota pendidikan dan ini akan tampak pada besarnya alokasi dana pada DIPA pemerintah daerah. Semakin besar anggaran untuk alokasi pendidikan, maka akan terlihat keseriusan pemda untuk menjadi kota pendidikan.
Investasi
Diberikannya peluang dan kemudahan dalam investasi pendidikan. Misalnya pemerintah menyediakan bangunan yang khusus menjadi pusat kegiatan pendidikan. Lembaga bimbingan belajar, toko buku, café edukasi, dsb. Sehingga akan merangsang investor untuk berinvestasi di Lebak. Adalah hal yang luar biasa apabila pemda dapat bekerjasama dengan pihak asing yang akan berinvestasi dalam bidang pendidikan. Misalnya ada pusat budaya Amerika, Prancis, dan lain-lain. Semakin banyak investor yang berkiprah di Lebak maka akan semakin membantu dalam merealisasikan Lebak sebagai kota pedidikan
Lembaga Pendidikan
Sudah saatnya pemda Lebak berpikir untuk memfasilitasi pendidikan dengan membentuk sekolah yang di bentuk oleh pemda sendiri. Seperti di Serang ada Akper Pemda, di Bandung ada Unwim (winayamukti), di Lampung ada Universitas Tulang Bawang (Pemda Tulang Bawang). Bukan tidak mungkin pemda dapat membentuk Universitas Multatuli. Pendirian lembaga ini akan menjadi pencitraan positif tersendiri bagi pemda ketika mendeklarasikan sebagai kota pendidikan. Tentunya lembaga ini dari sisi pemilihan fakultas atau harus mencerminkan kebutuhan masyarakat Lebak. Seperti saat ini di Lebak masih bermasalah dengan pendidikan, kesehatan, dan konservasi sumber daya alam. Ini bisa menjadi bagian penting yang dapat dikembangkan.
Kegiatan bernuansa Pendidikan
Sudah saatnya ketika gaung kota pendidikan di gaungkan maka kegiatan pemda tidak melupakan nuansa-nuansa pendidikan. Budaya literacy harus dikembangan dan di tingkatkan. Hal itu dapat terlihat seberapa banyak budaya menulis dan membaca yang ada pada pemerntah daerah. Seberapa banyak kegiatan workshop dan seminar yang dilakukan pemda dalam meningkatkan pembangunan daerah, seberapa banyak kegiatan lomba dan festival yang mendorong kretaivitas masyaraat dalam pendidikan. Seperti lomba karya tulis ilmiah tahunan, lomba mengarang, lomba sains. Dan sebagainya. Tentunya pemda harus berakselerasi dan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait khususnya departemen pendidikan dan insan pendidikan. Perlu diingat, banyak sekali orang lebak yang punya kepedulian terhadap masalah pendidikan dan bisa diberdayakan secara maksimal.
Sebuah Harapan
Akhirnya apa yang dicanangkan oleh Pemda Lebak harus direspon secara positif. Yakin dan percaya apabila secara serius dijalankan program ini, maka 10 tahun kedepan Lebak madani akan tercipta. Lepas dari buta huruf dan lepas dari kemiskinan serta hidupnya budaya demokratis. Satu hal yang perlu kita catat bahwa kemajuan Negara biasanya dapat dilihat dari nilai human indek yang di dalamnya menyangkut pendidikan. Semakin baik Human Index, maka Negara itu semakin maju dan sejahtera. Begitu juga kemajuan daerah akan terlihat dari tingkat pendidikan masyarakatnya.
Bila melihat program Lebak sebagai Kota Pendidikan, saya serasa hidup di jaman Penjajahan Belanda dan teringat akan Multatuli yang menulis tentang penderitaan masyarakat lebak, yang akhirnya menjadi simpati dunia dan pada ujungnya dikeluarkan politik balas budi, yang diantaranya adalah memberikan akses pendidikan untuk kaum pribumi. Berharap banyak Lebak madani akan terwujud. Semoga
Selasa, 19 Januari 2010
Penggunaan Bahasa Sunda
Penggunaan Bahasa Sunda Dikalangan Remaja
Oleh; Yudi Juniardi,M.Pd. Dip.App.Ling
Pendahuluan
Sebagian besar keluarga di Banten dan Jawa Barat, ada kecenderungan. pada umumnya tidak lagi membiasakan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam keluarga, Akibatnya, anak menjadi canggung dan tidak berminat untuk menggunakan bahasa sunda. Kaum remaja lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa gaul mengikuti trend yang berkembang.
Bila melihat sepintas, ada penurunan kualitas penggunaan bahasa Sunda atau daerah. Menurut Gossweiler (2001) hal itu disebabkan karena: (a) orang tua beranggapan bahwa pendidikan dwibahasa menghalangi proses pendidikan anak, (b) tidak adanya lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menururnnya pemakaian bahasa daerah, (c) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (d) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (e) kurangnya upaya sesepuh untuk mendorong pemakaian bahasa daerah, (f) kurangnya upaya untuk memupuk budaya multibahasa yang memberikan kebebasan dan bahkan peranan kepada bahasa daerah, serta (g) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi diantara sesama forum yang peduli akan perkembangan bahasa daerah.
Tampaknya, hal itu terjadi di Banten. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh remaja saat ini diantaranya adalah sukarnya kosa kata bahasa sunda, jarangnya penggunaan bahasa sunda baik di sekolah maupun di rumah. Selain itu, lebih mudah bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa sunda, dan frekuensi pemakaiannya lebih tinggi.
Ada beberapa kendala dalam pengajaran bahasa Sunda di sekolah. Pembelajaran bahasa sunda di sekolah cenderung hanya sebatas mengejar nilai akademis, namun tidak mempelajari esensi bahasa sunda masih jauh dari harapan. Belum adanya buku pelajaran bahasa sunda yang memadai dan masih rendahnya jam pengajaran bahasa sunda. Bahkan di daerah tangerang orang tua mengharapkan menggeser bahasa sunda dengan bahasa Inggris. Mereka akan memindahkan anaknya dari sekolah tersebut jika tidak dicantumkan bahasa Inggris pada Mulok, yang seharusnya Mulok diisi oleh bahasa daerah.
Nampaknya perlu dikaji bagaimana penggunaan bahasa Sunda di kalangan remaja Banten. Apakah mereka tidak menggunakan bahasa Sunda sama sekali atau hanya melakukan pemilihan kapan harus berbahasa sunda dan kapan harus berbahasa Indonesia atau bahasa lain. Seperti diketahui adanya pemilihan kode atau peralihan kode disebabkan oleh hal-hal keefektifan komunikasi, lawan bicara, dan tujuan komunikasi.
Dalam konteks pemertahanan bahasa Sunda pun perlu dikaji bagaimana kalangan remaja melakukan pemertahanan bahasa pertamanya. Apa-apa saja yang dilakukan mereka sehingga masih ada rasa kesetiaan untuk mempertahankan bahasa sunda. Dengan lingkungan yang heterogen dan adanya beberapa bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari maka akan mucul fenomena bilingualisme, code switching (alih kode), code, mixing (campur kode), dan language shift (pergeseran bahasa). Tampaknya fenomena seperti ini perlu dikaji secara serius agar penggunaan bahasa daerah tetap Eksis.
Bilingualisme
Bilingualisme adalah pemakaian dua bahasa oleh masyarakat ujaran. Ada beberapa jenis bilingualisme misalnya seseorang yang orang tuanya berbahasa ibu yang berbeda atau tinggal dalam satu masyarakat ujaran atau seseorang yang telah mempelajari bahasa asing melalui penjaran formal (Hartman & Stork)
Menurut Wardhough (1995) bilingual tidak perlu memiliki kemampuan yang sama dalam dua bahasa tersebut. Bilingualisme dilihat dari empat aspek: degree (derajat penggunaan bahasa), function (fungsi pemakaian kedua bahasa) alternation (peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain).
Ada dua istilah dalam bilingualisme: compound bilingualism dan coordinate bilingualism. Compound bilingualism terbentuk apabila seseorang mempelajarii dua bahasa dalam kondisi yang sama. Misalnya saja kedua orang tuanya menggunakan dua bahasa secara bergantian terus menerus. Sedangkan coordinate bilingalisme terbentuk manakala pengaaman kedua bahasa yang dialami berbeda. Satu alasannya karena bahasa pertama diperoleh d rumah sedangkan bahasa yang kedua dipelajari secara formal di sekolah.
Berdasarkan pemerian di atas dapat dijelaskan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk menguasa lebih dari satu bahasa. Dan penguasaannya itu dapat bersifat compound bilingualisme dan coordinate bilingualism. Dalam masyarakat multilingual dan multi etnik, sangat besar sekali kemungkinan seseorang untuk menguasai kedua bahasa secara bersamaan yang diperoleh dari orang tuanya. Tentunya, subordinate bilingual pun akan terbentuk karena pemerintah Indonesia mewajibkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Mau tidak mau anak akan mempelajari bahasa Indonesia secara formal.
Pemertahanan bahasa dan Pergeseran Bahasa
Menurut Fishman (1964) kajian pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa berkaitan dengan hubungan perubahan dan stabilitas kebiasaan penggunaan bahasa, di sisi lain. Dan proses budaya serta soial pada sisi lain, ketika populasi berbeda bahasa saat berkomunikasi satu sama lain.
Factor loyalitas bahasa adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari pemertahanan bahasa. Dalam komunitas imigran dan komunitas tuan rumah , factor loyalitas terhadap bahasa bertemu. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa komunitas imigran yang berbeda berperilaku tidak sama pada komunitas tuan rumah yang sama. Ini menunjukan bahwa perilaku berbahasa komunitas imigran dan tuan rumah berinteraksi dan menghasilkan pola pemertahanan dan pergeseran bahasa yang berbeda.
Pergeseran bahasa adalah pergeseran secara bertahap dari satu bahasa ke bahasa lain (Weinreich dalam Coulmas: 2005). Pergeseran bahasa atau language shift telah terjadi pada beberapa bahasa. Pada Holmes (1994) dijelaskan bahwa pergeseran bahasa dapat terjadi pada migrant minorities, Non-migrant communities, dan migrant majorities. Pada migrant minorities ada tekanan yang besar dari masyarakat yang lebih mayoritas. Immigrant sering kali dianggap sebagai ancaman bagi kelompok yang lebih besar. Misalnya saja pergeseran ke bahasa Inggris seringkali terjadi pada imigran yang berada di Negara yang mono lingual seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Di sini orang yang dapat berbahasa Inggris dengan baik dianggap sebagai orang yang mampu berasimilasi dengan baik.
Terjadinya Pergeseran bahasa bukanlah hal yang mudah dan mengapa terjadi pergeseran bahasa, masih sulit untuk diketahui, karena jawabannya bergantung pada pemilihan bahasa individu, keluarga, atau komunitas secara keseluruhan. Variable-variabel yang berpegaruh pada perubahan bahasa secara umum sama, yaitu: sex, usia, kelas, hubungan antar-komunitas imigran dengan komunitas tuan rumah atau minoritas dan mayoritas.
Pergeseran bahasa seringkali terjadi ke arah bahasa yang dimiliki oleh kelompok yang dominant atau berkuasa. Bahasa dominan diasosiasikan dengan status, prestis, dan sukses secara social. Menurut Grimes (2002) ada beberapa faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa: pertama, orang tua terlalu memaksa anak untuk belajar bahasa bergengsi dengan fikiran bahwa anak hanya mampu belajar satu bahasa dengan baik. Para ahli bahasa menyadari bahwa kepunahan suatu bahasa tidak selalu berarti semua penuturnya telah meninggal. Mungkin penuturnya telah bergeser menggunakan bahasa lain selama satu generasi atau lebih.mungkin para orang tua memutuskan untuk tidak menggunakan bahasa Ibu ketika berkomunikasi dengan anaknya karena bahasa kedua diangap lebih menguntungkan dari sudut ekonomi atau pendidikan. Mereka tidak menginginkan anaknya dirugikan karena tidak menguasai bahasa kedua dengan baik seperti pengalaman mereka sendiri. Kedua, penggunaan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar di sekolah menyebabkan pergeseran yang meluas di masyarakat. Ketiga, kebijakan bahasa nasional menyebabkan sebagian penduduk bergeser menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa utama. Senada dengan pendapat di atas, Holmes (1994) mengatakan bahwa factor-faktor yang dapat menyebabkan pergeseran bahasa adalah factor social, ekonomi, dan politik; factor demografi
Akibat Pergeseran Bahasa
Setidaknya ada dua akibat yang muncul dari pergeseran bahasa: pertama, kecemasan dan kedua tingkah laku anti social dan hilangnya rasa percaya diri. Kecemasan muncul karena ada perasaan bahasa itu akan tergeserkan bahkan hilang digantikan oleh bahasa lain. Bila melihat fenomena setakat ini, banyak orang tua yang terus mengajarkan bahasa sunda di rumah karena melihat jarangnya anak-anak mereka berkmunkasi dengan bahasa sunda. Kurangya rasa percaya diri mucul ketika bahasa seseorang tidak diterima dimasyarakat. Terkesan kampungan dan ketingalan jaman. Akhirnya, hal semacam ini akan memunculkan sinisme anti-social terhadap mereka yang menggunakan bahasa lain.
Bahasa Sunda di kalangan Mahasiswa
Pemilihan bahasa yang dilakukan oleh remaja khususnya mahasiswa, ada beberapa alasan yaitu usia lawan bicara, status lawan bicara, lingkungan tindak tutur. Ketika mereka berkomunikasi dengan teman sebaya bila dilingkungan Sunda, mereka akan berbahasa Sunda. Tetapi di lingkungan kampus mereka berbahasa Indonesia, karena tidak semua teman-teman mereka paham bahasa Sunda. Di sini tampak dominasi mayoritas dikalahkan oleh minoritas dengan mencari alternative bahasa lain yaitu bahasa Indonesia.
Kaitannya dari sisi usia, dengan lawan bicara yang lebih tua, misalnya saja: orang tua dan dosen mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Sebagian besar mereka berkomunikasi di rumah dengan orang tua menggunakan bahasa Sunda, sedangkan dengan dosen menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia kepada dosen karena bahasa Indonesia sebagai bahasa formal atau standard, agar mudah dipahami karena keragaman suku dosen tersebut; tidak semua dosen suku Sunda, ada yang berasal dari Sumatera, Jakarta, dan beberapa tempat lainnya.
Dari Penelitian sederhana telah dilakukan pada mahasiswa (Juniardi:2007) dan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan isian kuesioner mahasiswa B.Inggris FKIP Untirta dapat disimpulkan hal berikut: pertama, mahasiswa yang bersuku sunda ketika berkomunikasi mengunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa itu tentunya mempertimbangkan situasi formal-nonformal, tempat (rumah, kampus, lingkungan). Pemertahanan bahasa terhadap bahasa pertama tetap dilakukan dengan cara menggunakan bahasa Sunda dengan orang tua dan keluarga, serta dengan penutur yang bersuku sunda.
Melihat fenomena di atas perlu adanya kajian dan usaha yang nyata agar bahahasa daerah tetap eksis dan digunakan oleh kalangan remaja, diantaranya dengan adaya program atau pembelajaran bahasa daerah di Sekolah. Selain itu disediakan pula media literasi seperti majalah atau jurnal yang khusus menggunakan bahasa daerah. Semoga..
Oleh; Yudi Juniardi,M.Pd. Dip.App.Ling
Pendahuluan
Sebagian besar keluarga di Banten dan Jawa Barat, ada kecenderungan. pada umumnya tidak lagi membiasakan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam keluarga, Akibatnya, anak menjadi canggung dan tidak berminat untuk menggunakan bahasa sunda. Kaum remaja lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa gaul mengikuti trend yang berkembang.
Bila melihat sepintas, ada penurunan kualitas penggunaan bahasa Sunda atau daerah. Menurut Gossweiler (2001) hal itu disebabkan karena: (a) orang tua beranggapan bahwa pendidikan dwibahasa menghalangi proses pendidikan anak, (b) tidak adanya lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menururnnya pemakaian bahasa daerah, (c) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (d) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (e) kurangnya upaya sesepuh untuk mendorong pemakaian bahasa daerah, (f) kurangnya upaya untuk memupuk budaya multibahasa yang memberikan kebebasan dan bahkan peranan kepada bahasa daerah, serta (g) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi diantara sesama forum yang peduli akan perkembangan bahasa daerah.
Tampaknya, hal itu terjadi di Banten. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh remaja saat ini diantaranya adalah sukarnya kosa kata bahasa sunda, jarangnya penggunaan bahasa sunda baik di sekolah maupun di rumah. Selain itu, lebih mudah bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa sunda, dan frekuensi pemakaiannya lebih tinggi.
Ada beberapa kendala dalam pengajaran bahasa Sunda di sekolah. Pembelajaran bahasa sunda di sekolah cenderung hanya sebatas mengejar nilai akademis, namun tidak mempelajari esensi bahasa sunda masih jauh dari harapan. Belum adanya buku pelajaran bahasa sunda yang memadai dan masih rendahnya jam pengajaran bahasa sunda. Bahkan di daerah tangerang orang tua mengharapkan menggeser bahasa sunda dengan bahasa Inggris. Mereka akan memindahkan anaknya dari sekolah tersebut jika tidak dicantumkan bahasa Inggris pada Mulok, yang seharusnya Mulok diisi oleh bahasa daerah.
Nampaknya perlu dikaji bagaimana penggunaan bahasa Sunda di kalangan remaja Banten. Apakah mereka tidak menggunakan bahasa Sunda sama sekali atau hanya melakukan pemilihan kapan harus berbahasa sunda dan kapan harus berbahasa Indonesia atau bahasa lain. Seperti diketahui adanya pemilihan kode atau peralihan kode disebabkan oleh hal-hal keefektifan komunikasi, lawan bicara, dan tujuan komunikasi.
Dalam konteks pemertahanan bahasa Sunda pun perlu dikaji bagaimana kalangan remaja melakukan pemertahanan bahasa pertamanya. Apa-apa saja yang dilakukan mereka sehingga masih ada rasa kesetiaan untuk mempertahankan bahasa sunda. Dengan lingkungan yang heterogen dan adanya beberapa bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari maka akan mucul fenomena bilingualisme, code switching (alih kode), code, mixing (campur kode), dan language shift (pergeseran bahasa). Tampaknya fenomena seperti ini perlu dikaji secara serius agar penggunaan bahasa daerah tetap Eksis.
Bilingualisme
Bilingualisme adalah pemakaian dua bahasa oleh masyarakat ujaran. Ada beberapa jenis bilingualisme misalnya seseorang yang orang tuanya berbahasa ibu yang berbeda atau tinggal dalam satu masyarakat ujaran atau seseorang yang telah mempelajari bahasa asing melalui penjaran formal (Hartman & Stork)
Menurut Wardhough (1995) bilingual tidak perlu memiliki kemampuan yang sama dalam dua bahasa tersebut. Bilingualisme dilihat dari empat aspek: degree (derajat penggunaan bahasa), function (fungsi pemakaian kedua bahasa) alternation (peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain).
Ada dua istilah dalam bilingualisme: compound bilingualism dan coordinate bilingualism. Compound bilingualism terbentuk apabila seseorang mempelajarii dua bahasa dalam kondisi yang sama. Misalnya saja kedua orang tuanya menggunakan dua bahasa secara bergantian terus menerus. Sedangkan coordinate bilingalisme terbentuk manakala pengaaman kedua bahasa yang dialami berbeda. Satu alasannya karena bahasa pertama diperoleh d rumah sedangkan bahasa yang kedua dipelajari secara formal di sekolah.
Berdasarkan pemerian di atas dapat dijelaskan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk menguasa lebih dari satu bahasa. Dan penguasaannya itu dapat bersifat compound bilingualisme dan coordinate bilingualism. Dalam masyarakat multilingual dan multi etnik, sangat besar sekali kemungkinan seseorang untuk menguasai kedua bahasa secara bersamaan yang diperoleh dari orang tuanya. Tentunya, subordinate bilingual pun akan terbentuk karena pemerintah Indonesia mewajibkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Mau tidak mau anak akan mempelajari bahasa Indonesia secara formal.
Pemertahanan bahasa dan Pergeseran Bahasa
Menurut Fishman (1964) kajian pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa berkaitan dengan hubungan perubahan dan stabilitas kebiasaan penggunaan bahasa, di sisi lain. Dan proses budaya serta soial pada sisi lain, ketika populasi berbeda bahasa saat berkomunikasi satu sama lain.
Factor loyalitas bahasa adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari pemertahanan bahasa. Dalam komunitas imigran dan komunitas tuan rumah , factor loyalitas terhadap bahasa bertemu. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa komunitas imigran yang berbeda berperilaku tidak sama pada komunitas tuan rumah yang sama. Ini menunjukan bahwa perilaku berbahasa komunitas imigran dan tuan rumah berinteraksi dan menghasilkan pola pemertahanan dan pergeseran bahasa yang berbeda.
Pergeseran bahasa adalah pergeseran secara bertahap dari satu bahasa ke bahasa lain (Weinreich dalam Coulmas: 2005). Pergeseran bahasa atau language shift telah terjadi pada beberapa bahasa. Pada Holmes (1994) dijelaskan bahwa pergeseran bahasa dapat terjadi pada migrant minorities, Non-migrant communities, dan migrant majorities. Pada migrant minorities ada tekanan yang besar dari masyarakat yang lebih mayoritas. Immigrant sering kali dianggap sebagai ancaman bagi kelompok yang lebih besar. Misalnya saja pergeseran ke bahasa Inggris seringkali terjadi pada imigran yang berada di Negara yang mono lingual seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Di sini orang yang dapat berbahasa Inggris dengan baik dianggap sebagai orang yang mampu berasimilasi dengan baik.
Terjadinya Pergeseran bahasa bukanlah hal yang mudah dan mengapa terjadi pergeseran bahasa, masih sulit untuk diketahui, karena jawabannya bergantung pada pemilihan bahasa individu, keluarga, atau komunitas secara keseluruhan. Variable-variabel yang berpegaruh pada perubahan bahasa secara umum sama, yaitu: sex, usia, kelas, hubungan antar-komunitas imigran dengan komunitas tuan rumah atau minoritas dan mayoritas.
Pergeseran bahasa seringkali terjadi ke arah bahasa yang dimiliki oleh kelompok yang dominant atau berkuasa. Bahasa dominan diasosiasikan dengan status, prestis, dan sukses secara social. Menurut Grimes (2002) ada beberapa faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa: pertama, orang tua terlalu memaksa anak untuk belajar bahasa bergengsi dengan fikiran bahwa anak hanya mampu belajar satu bahasa dengan baik. Para ahli bahasa menyadari bahwa kepunahan suatu bahasa tidak selalu berarti semua penuturnya telah meninggal. Mungkin penuturnya telah bergeser menggunakan bahasa lain selama satu generasi atau lebih.mungkin para orang tua memutuskan untuk tidak menggunakan bahasa Ibu ketika berkomunikasi dengan anaknya karena bahasa kedua diangap lebih menguntungkan dari sudut ekonomi atau pendidikan. Mereka tidak menginginkan anaknya dirugikan karena tidak menguasai bahasa kedua dengan baik seperti pengalaman mereka sendiri. Kedua, penggunaan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar di sekolah menyebabkan pergeseran yang meluas di masyarakat. Ketiga, kebijakan bahasa nasional menyebabkan sebagian penduduk bergeser menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa utama. Senada dengan pendapat di atas, Holmes (1994) mengatakan bahwa factor-faktor yang dapat menyebabkan pergeseran bahasa adalah factor social, ekonomi, dan politik; factor demografi
Akibat Pergeseran Bahasa
Setidaknya ada dua akibat yang muncul dari pergeseran bahasa: pertama, kecemasan dan kedua tingkah laku anti social dan hilangnya rasa percaya diri. Kecemasan muncul karena ada perasaan bahasa itu akan tergeserkan bahkan hilang digantikan oleh bahasa lain. Bila melihat fenomena setakat ini, banyak orang tua yang terus mengajarkan bahasa sunda di rumah karena melihat jarangnya anak-anak mereka berkmunkasi dengan bahasa sunda. Kurangya rasa percaya diri mucul ketika bahasa seseorang tidak diterima dimasyarakat. Terkesan kampungan dan ketingalan jaman. Akhirnya, hal semacam ini akan memunculkan sinisme anti-social terhadap mereka yang menggunakan bahasa lain.
Bahasa Sunda di kalangan Mahasiswa
Pemilihan bahasa yang dilakukan oleh remaja khususnya mahasiswa, ada beberapa alasan yaitu usia lawan bicara, status lawan bicara, lingkungan tindak tutur. Ketika mereka berkomunikasi dengan teman sebaya bila dilingkungan Sunda, mereka akan berbahasa Sunda. Tetapi di lingkungan kampus mereka berbahasa Indonesia, karena tidak semua teman-teman mereka paham bahasa Sunda. Di sini tampak dominasi mayoritas dikalahkan oleh minoritas dengan mencari alternative bahasa lain yaitu bahasa Indonesia.
Kaitannya dari sisi usia, dengan lawan bicara yang lebih tua, misalnya saja: orang tua dan dosen mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Sebagian besar mereka berkomunikasi di rumah dengan orang tua menggunakan bahasa Sunda, sedangkan dengan dosen menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia kepada dosen karena bahasa Indonesia sebagai bahasa formal atau standard, agar mudah dipahami karena keragaman suku dosen tersebut; tidak semua dosen suku Sunda, ada yang berasal dari Sumatera, Jakarta, dan beberapa tempat lainnya.
Dari Penelitian sederhana telah dilakukan pada mahasiswa (Juniardi:2007) dan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan isian kuesioner mahasiswa B.Inggris FKIP Untirta dapat disimpulkan hal berikut: pertama, mahasiswa yang bersuku sunda ketika berkomunikasi mengunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa itu tentunya mempertimbangkan situasi formal-nonformal, tempat (rumah, kampus, lingkungan). Pemertahanan bahasa terhadap bahasa pertama tetap dilakukan dengan cara menggunakan bahasa Sunda dengan orang tua dan keluarga, serta dengan penutur yang bersuku sunda.
Melihat fenomena di atas perlu adanya kajian dan usaha yang nyata agar bahahasa daerah tetap eksis dan digunakan oleh kalangan remaja, diantaranya dengan adaya program atau pembelajaran bahasa daerah di Sekolah. Selain itu disediakan pula media literasi seperti majalah atau jurnal yang khusus menggunakan bahasa daerah. Semoga..
Pendidikan Profesi Guru
Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Pendidikan Profesi Guru
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd.
Saat ini Guru mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, hal ini terlihat dari disahkannya undang – undang pendidikan nasional N0 20 tahun 2003 dan Undang-undang Guru dan Dosen UU No 14 Tahun 2005. Kedua UU ini secara khusus mengatur profesionalisme guru. Guru tidak lagi dianggap pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan setiap orang, tetapi guru adalah sebuah profesi yang membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus serta tersertifikasi terlebih dahulu. fenomena ini memposisikan guru sebagai individu khusus dalam dunia pendidikan, dengan harapan bahwa profesionalisme guru dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Seiring dengan hal di atas, adanya undang-undang pendidikan nasional dan undang-undang guru, memunculkan beberapa istilah yang akrab di telinga guru. Seperti tunjangan profesi, sertifikasi guru, portofolio, dan yang terbaru adalah Pendidikan Profesi Guru. Sejak tahun 2007 sudah dimulai sertifikasi guru. Artinya seseorang, guru dalam jabatan, mendapatkan sertifikat profesi guru melalui kegiatan forto folio. Apabila fortofolionya mencapai skor yang diwajibkan dalam sertifikasi, lebih dari 850 maka dia berhak mendapatkan sertifikat profesi guru dan kepadanya diberikan tunjangan profesi. Tetapi kalau tidak lulus maka yang bersangkutan harus mengikuti PLPG (Diklat pelatihan Guru selama 90 jam pelajaran).
Namun demikian program sertifikasi ini tidak akan selamanya. Pemerintah merencanakan program ini dapat mensertifikasi semua guru dalam jabatan hingga tahun 2014. Jalur lain yang dapat ditempuh bagi guru yang tidak dalam jabatan dapat dilakukan melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Mengapa harus ada PPG? UU Pendidikan menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kualitasnya, seorang guru diharuskan memiliki beberapa kompetensi: pedagogic, social, kepribadian dan kompetensi profesional yang dapat dimiliki melalui pendidikan profesi. Selain itu dalam pasal 4 ayat 1 dari permen no 74 tahun 2008 dijelaskan keharusan guru prajabatan mengikuti pendidikan profesi selama satu tahun yang diselenggarakan oleh LPTK yang ditunjuk.
Mungkin PPG masih awam bagi sekalangan guru. Mengapa harus PPG? Bagaimana kompetensi Lulusan PPG ? bagaimana kurikulumnya? dan lebih spesifik bagaimana pelaksanaan PPG di Banten?
Mengapa harus PPG
Setelah berlakunya UU Guru dan Dosen, untuk menjadi guru saat ini tidak lah mudah. Walaupun seseorang sudah menyelesaikan sarjana Pendidikan, namun tidak secara otomatis langsung dapat menjadi guru. Ada satu tahapan lagi yang harus dilewati yaitu Pendidikan Profesi Guru. Mengapa harus PPG? karena saat ini guru berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen dianggap sebagai jabatan profesional dan untuk menyandang profesi itu maka seseorang harus mengikuti pendidikan Profesi Guru, layaknya profesi Dokter, atau notaris.
Mengacu pada UU No. 20/2003 Pasal 3, tujuan umum pendidikan profesi guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan khusus Pendidikan Profesi Guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta melakukan penelitian.
Bagaimana pelaksanaan PPG
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan yang ada maka pada dasarnya ada dua bentuk penyelenggaraan PPG, yakni: pertama, PPG pasca S-1 kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S1 kependidikan dengan struktur kurikulum subject specific paedagogy (pendidikan bidang studi) dan PPL Kependidikan. Dan yang kedua, PPG pasca S-1/D-IV non kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S-1/D-IV non kependidikan, dengan struktur kurikulum matakuliah akademik kependidikan (paedagogical content), subject specific paedagogy (pendidikan bidang
studi), dan PPL Kependidikan.
Standar Kompetensi Lulusan
Setelah lulus PPG maka lulusan akan memeliki standar kompetensi guru yang mencakup (a) kemampuan mengenal secara mendalam peserta didik yang dilayani, (b) penguasaan bidang studi secara keilmuan dan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan, (c)kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik dan (d) pengembangan profesionalitas berkelanjutan. Keempat wilayah kompetensi ini dapat ditinjau dari segi pengetahuan, keterampilan dan sikap, yang merupakan kesatuan utuh tetapi memiliki dua dimensi tak terpisahkan: dimensi akademik (kompetensi akademik) dan dimensi profesional (kompetensi profesional). Kompetensi akademik lebih banyak berkenaan dengan pengetahuan konseptual, teknis/prosedural, dan factual, dan sikap positif terhadap profesi guru, sedangkan kompetensi profesional berkenaan dengan penerapan pengetahuan dan tindakan pengembangan diri secara profesional.
Sesuai dengan sifatnya, kompetensi akademik diperoleh lewat pendidikan akademik tingkat universitas, sedangkan kompetensi profesional lewat pendidikan profesi. Kompetensi guru tersebut adalah, pertama, Kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi. Kedua, menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik. Ketiga, menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran dan penelitian bagi peningkatan pembelajaran bidang studi. Kempat, mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi. Kelima, memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial, konatif dan afektif, dan terakhir, kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara langsung maupun menggunakan media di sekolah dan luar sekolah. Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru yang lengkap dapat mengacu Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.
Struktur Kurikulum PPG
Bila melihat struktur kurikulum PPG, maka kuriklumnya dibedakan atas dua kurikulum: Pendidikan Profesi Guru pasca S1 kependidikan dan Struktur Kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1/D-IV non kependidikan. Struktur kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1 kependidikan meliputi: Pemantapan dan pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) dan PPL kependidikan.
Struktur Kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1/D-IV non kependidikan meliputi (1) Kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran (2) Kajian tentang peserta didik, (3) Pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) (4) Pembentukan kompetensi kepribadian pendidik dan (5) Matakuliah Kependidikan dan PPL kependidikan.
Bila melihat kurikulum di atas, tampak ada perbedaan. Pada pendidikan profesi guru pasca S1/DIV non kependidikan, ada tiga hal lain yang harus dikuasai yang berkaitan dengan kependidikan seperti kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran, kajian tentang peserta didik, dan pembentukan kompetensi kepribadian pendidik. Hal ini wajar, karena sebelumnya mereka tidak mendapatkan teori kependidikan terlebih dahulu. Sedangkan pada Guru pasca S1 kependidikan, mereka hanya mendapatkan pemantapan dan pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) dan PPL kependidikan.
Pelaksanaan PPG di Banten
FKIP untirta merupakan satu-satunya LPTK negeri yang ada di Banten dan dipercaya untuk melakukan PPG. Hal ini terlihat dari penunjukan Dikti terhadap FKIP Untirta untuk melakukan PPG. Dalam tahun 2009 ini FKIP Untirta sibuk dengan kegiatan PPG seperti sosialisasi PPG, workshop model pembelajaran, workshop penysusunan kurikulum, dan workshop pemnyusunan bahan ajar. Dalam program ini ke depan ada beberapa program studi yang dapat menyelenggarakan PPG diantaranya prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan PAUD, sedangkan prodi lainnya (bahasa Inggris, Matematika, dan Biologi) sedang mempersiapkan dengan melakukan pembuatan proposal PPG, persiapan bahan Ajar PPG, dan melaksanakan workshop model pembelajaran. Tentunya PPG ini di Banten dapat berjalan dengan bantuan semua pihak terutama LPTK dan pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan.
Singkatnya LPTK menyiapkan program PPG sedangkan Diknas menyiapkan pesertanya. Kita berharap agar semakin banyak prodi yang dapat melakukan program PPG di Banten khususnya FKIP Untirta, karena ini akan menunjang dalam percepatan proses profesi guru. Karena kalau tidak ada di daerah setempat, maka seseorang harus mencari ke LPTK lain yang menyelenggarakan PPG yang ditunjuk oleh Dikti misanya saja: UNJ, UPI, dan sebagainya.
Besar harapan, bila melihat rasionalisasi, program ini akan menghadirkan guru yang professional yaitu guru memiliki kompetensi yang disyaratkan, bila demikian maka akan menghasilkan kualitas pembelajaran dan siswa yang baik, dan secara umum meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Tidak hanya itu, profesi guru juga menjadi jelas baik dari sisi kewajiban maupun hak. Kedepan sosok guru bukan lagi sosok yang serba kekurangan, menderita, miskin, dan atribut negative lainnya seperti ‘Umar Bakrie’ tetapi sama seperti profesi lainnya seperti dokter, pengacara, atau notaris, sebagai sebuah profesi.
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd.
Saat ini Guru mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, hal ini terlihat dari disahkannya undang – undang pendidikan nasional N0 20 tahun 2003 dan Undang-undang Guru dan Dosen UU No 14 Tahun 2005. Kedua UU ini secara khusus mengatur profesionalisme guru. Guru tidak lagi dianggap pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan setiap orang, tetapi guru adalah sebuah profesi yang membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus serta tersertifikasi terlebih dahulu. fenomena ini memposisikan guru sebagai individu khusus dalam dunia pendidikan, dengan harapan bahwa profesionalisme guru dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Seiring dengan hal di atas, adanya undang-undang pendidikan nasional dan undang-undang guru, memunculkan beberapa istilah yang akrab di telinga guru. Seperti tunjangan profesi, sertifikasi guru, portofolio, dan yang terbaru adalah Pendidikan Profesi Guru. Sejak tahun 2007 sudah dimulai sertifikasi guru. Artinya seseorang, guru dalam jabatan, mendapatkan sertifikat profesi guru melalui kegiatan forto folio. Apabila fortofolionya mencapai skor yang diwajibkan dalam sertifikasi, lebih dari 850 maka dia berhak mendapatkan sertifikat profesi guru dan kepadanya diberikan tunjangan profesi. Tetapi kalau tidak lulus maka yang bersangkutan harus mengikuti PLPG (Diklat pelatihan Guru selama 90 jam pelajaran).
Namun demikian program sertifikasi ini tidak akan selamanya. Pemerintah merencanakan program ini dapat mensertifikasi semua guru dalam jabatan hingga tahun 2014. Jalur lain yang dapat ditempuh bagi guru yang tidak dalam jabatan dapat dilakukan melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Mengapa harus ada PPG? UU Pendidikan menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kualitasnya, seorang guru diharuskan memiliki beberapa kompetensi: pedagogic, social, kepribadian dan kompetensi profesional yang dapat dimiliki melalui pendidikan profesi. Selain itu dalam pasal 4 ayat 1 dari permen no 74 tahun 2008 dijelaskan keharusan guru prajabatan mengikuti pendidikan profesi selama satu tahun yang diselenggarakan oleh LPTK yang ditunjuk.
Mungkin PPG masih awam bagi sekalangan guru. Mengapa harus PPG? Bagaimana kompetensi Lulusan PPG ? bagaimana kurikulumnya? dan lebih spesifik bagaimana pelaksanaan PPG di Banten?
Mengapa harus PPG
Setelah berlakunya UU Guru dan Dosen, untuk menjadi guru saat ini tidak lah mudah. Walaupun seseorang sudah menyelesaikan sarjana Pendidikan, namun tidak secara otomatis langsung dapat menjadi guru. Ada satu tahapan lagi yang harus dilewati yaitu Pendidikan Profesi Guru. Mengapa harus PPG? karena saat ini guru berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen dianggap sebagai jabatan profesional dan untuk menyandang profesi itu maka seseorang harus mengikuti pendidikan Profesi Guru, layaknya profesi Dokter, atau notaris.
Mengacu pada UU No. 20/2003 Pasal 3, tujuan umum pendidikan profesi guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan khusus Pendidikan Profesi Guru adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta melakukan penelitian.
Bagaimana pelaksanaan PPG
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan yang ada maka pada dasarnya ada dua bentuk penyelenggaraan PPG, yakni: pertama, PPG pasca S-1 kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S1 kependidikan dengan struktur kurikulum subject specific paedagogy (pendidikan bidang studi) dan PPL Kependidikan. Dan yang kedua, PPG pasca S-1/D-IV non kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S-1/D-IV non kependidikan, dengan struktur kurikulum matakuliah akademik kependidikan (paedagogical content), subject specific paedagogy (pendidikan bidang
studi), dan PPL Kependidikan.
Standar Kompetensi Lulusan
Setelah lulus PPG maka lulusan akan memeliki standar kompetensi guru yang mencakup (a) kemampuan mengenal secara mendalam peserta didik yang dilayani, (b) penguasaan bidang studi secara keilmuan dan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan, (c)kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik dan (d) pengembangan profesionalitas berkelanjutan. Keempat wilayah kompetensi ini dapat ditinjau dari segi pengetahuan, keterampilan dan sikap, yang merupakan kesatuan utuh tetapi memiliki dua dimensi tak terpisahkan: dimensi akademik (kompetensi akademik) dan dimensi profesional (kompetensi profesional). Kompetensi akademik lebih banyak berkenaan dengan pengetahuan konseptual, teknis/prosedural, dan factual, dan sikap positif terhadap profesi guru, sedangkan kompetensi profesional berkenaan dengan penerapan pengetahuan dan tindakan pengembangan diri secara profesional.
Sesuai dengan sifatnya, kompetensi akademik diperoleh lewat pendidikan akademik tingkat universitas, sedangkan kompetensi profesional lewat pendidikan profesi. Kompetensi guru tersebut adalah, pertama, Kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi. Kedua, menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik. Ketiga, menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran dan penelitian bagi peningkatan pembelajaran bidang studi. Kempat, mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi. Kelima, memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial, konatif dan afektif, dan terakhir, kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara langsung maupun menggunakan media di sekolah dan luar sekolah. Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru yang lengkap dapat mengacu Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.
Struktur Kurikulum PPG
Bila melihat struktur kurikulum PPG, maka kuriklumnya dibedakan atas dua kurikulum: Pendidikan Profesi Guru pasca S1 kependidikan dan Struktur Kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1/D-IV non kependidikan. Struktur kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1 kependidikan meliputi: Pemantapan dan pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) dan PPL kependidikan.
Struktur Kurikulum Pendidikan Profesi Guru pasca S1/D-IV non kependidikan meliputi (1) Kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran (2) Kajian tentang peserta didik, (3) Pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) (4) Pembentukan kompetensi kepribadian pendidik dan (5) Matakuliah Kependidikan dan PPL kependidikan.
Bila melihat kurikulum di atas, tampak ada perbedaan. Pada pendidikan profesi guru pasca S1/DIV non kependidikan, ada tiga hal lain yang harus dikuasai yang berkaitan dengan kependidikan seperti kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran, kajian tentang peserta didik, dan pembentukan kompetensi kepribadian pendidik. Hal ini wajar, karena sebelumnya mereka tidak mendapatkan teori kependidikan terlebih dahulu. Sedangkan pada Guru pasca S1 kependidikan, mereka hanya mendapatkan pemantapan dan pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy atau pendidikan bidang studi) dan PPL kependidikan.
Pelaksanaan PPG di Banten
FKIP untirta merupakan satu-satunya LPTK negeri yang ada di Banten dan dipercaya untuk melakukan PPG. Hal ini terlihat dari penunjukan Dikti terhadap FKIP Untirta untuk melakukan PPG. Dalam tahun 2009 ini FKIP Untirta sibuk dengan kegiatan PPG seperti sosialisasi PPG, workshop model pembelajaran, workshop penysusunan kurikulum, dan workshop pemnyusunan bahan ajar. Dalam program ini ke depan ada beberapa program studi yang dapat menyelenggarakan PPG diantaranya prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan PAUD, sedangkan prodi lainnya (bahasa Inggris, Matematika, dan Biologi) sedang mempersiapkan dengan melakukan pembuatan proposal PPG, persiapan bahan Ajar PPG, dan melaksanakan workshop model pembelajaran. Tentunya PPG ini di Banten dapat berjalan dengan bantuan semua pihak terutama LPTK dan pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan.
Singkatnya LPTK menyiapkan program PPG sedangkan Diknas menyiapkan pesertanya. Kita berharap agar semakin banyak prodi yang dapat melakukan program PPG di Banten khususnya FKIP Untirta, karena ini akan menunjang dalam percepatan proses profesi guru. Karena kalau tidak ada di daerah setempat, maka seseorang harus mencari ke LPTK lain yang menyelenggarakan PPG yang ditunjuk oleh Dikti misanya saja: UNJ, UPI, dan sebagainya.
Besar harapan, bila melihat rasionalisasi, program ini akan menghadirkan guru yang professional yaitu guru memiliki kompetensi yang disyaratkan, bila demikian maka akan menghasilkan kualitas pembelajaran dan siswa yang baik, dan secara umum meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Tidak hanya itu, profesi guru juga menjadi jelas baik dari sisi kewajiban maupun hak. Kedepan sosok guru bukan lagi sosok yang serba kekurangan, menderita, miskin, dan atribut negative lainnya seperti ‘Umar Bakrie’ tetapi sama seperti profesi lainnya seperti dokter, pengacara, atau notaris, sebagai sebuah profesi.
Langganan:
Postingan (Atom)