UJIAN NASIONAL PERLU DI REVISI
Oleh: Yudi Juniardi
Usai sudah penyelenggaran Ujian Nasional di SMA dan SMP tahun 2010. Secara umum berjalan relative lancar sesuai dengan yang diharapkan tidak ada kasus yang menghebohkan, walaupun ada hal-hal kecil kejadian yang mewarnai ujian nasional, baik di SMA maupun di SMP.
Walaupun hasil UN belum diumumkan nampaknya sudah dapat direkomendasikan beberapa hal untuk penyelenggaraan UN ke depan agar lebih baik: jujur dan credible. Dua variable ini diangkat karena UN 2010 yang diselenggarakan di Banten (seperti diberitakan di harian local Banten) diwarnai adanya kejadian-kejadian yang tidak diharapkan seperti ‘diduga’ ditemukannya kunci jawaban bahasa Inggris dan bahasa Indonesia pada UN SMA yang melibatkan siswa SMA favorit di Serang. Kemudian ‘diduga’ ditemukannya kunci jawaban bahasa Inggris siswa di tempat sampah sekolah setelah ujian berlangsung pada UN SMP. Melihat problematika ini Kemudian salah satu anggota dewan yang melakukan kunjungan kesekolah nampaknya geram dan berharap kinerja TPI (Tim Pemantau Independen) untuk di evaluasi. Beberapa masalah ini hendaknya dicermati dan direnungkan agar UN kedepan menjadi lebih baik.
Berkaitan dengan ‘diduga’ adanya kunci jawaban UN pada level SMA , ini menjadi sorotan public dan membuat masyarakat resah sehingga polisi pun melakukan penyelidikan dan dengan cepat menangkap orang-orang yang terlibat (siswa), sebuah prestasi kerja yang luar biasa. Dan hingga saat ini kasusnya masih berjalan. Tapi yang paling penting dari semua ini adalah bagaimana mengungkap secara tuntas semuanya dari hulu sampai hilir, ibarat gambar , potongan-potongan itu menjadi gambar yang sempurna dan dapat dipahami sehingga tidak salah tafsir.
Untuk kasus UN SMA, dilihat dari waktu peristiwa tertangkapnya siswa yang membocorkan dan menyebarkan ‘kunci jawaban’, semua terjadi di luar sekolah dan pada waktu sore hari ini berarti bahwa kerawanan ‘pembocoran soal’ terjadi di luar lingkungan sekolah. Ini adalah hal yang masuk akal karena kalau disekolah penjagaan super ketat ada TPI dan Polisi. Nampaknya oknum yang membocorkan soal itu paham sekali liku-liku pengawasan UN jadi tidak berani melakukan hal itu di dalam lingkungan sekolah karena beresiko besar.
Pertanyaan mendasar semua ini adalah mengapa bisa demikian?, siapa yang melakukan hal demikian? Karena dengan adanya peristiwa ini yang menjadi korban adalah siswa . Mereka dijadikan alat untuk cuci tangan bagi orang yang ingin mencari ‘keuntungan’. Di sini lagi-lagi yang menjadi korban adalah siswa, seharusnya mereka focus mempersiapkan UN tapi malah berada di kantor polisi untuk diperiksa.
Bila melihat kasus di atas terjadinya kebocoran soal itu terjadi diluar tahapan atau alur penyelenggaraan UN, terpisah dari aktivitas pemantauan TPI. Jadi kalau ada pertanyaan mengapa TPI tidak tahu atau mencegah hal itu terjad, karena hal itu berada di luar kewenangan TPI, TPI tidak berkewajiban menginvestigasi atau menyelidiki tetapi hanya pengawasan sesuai dengan POS (pedoman Operasional Standar) UN yang berlaku.
UN dihapuskan atau direvisi ?
Banyak kalangan yang ingin menghapuskan UN (ujian Nasional), tetapi itu adalah hal yang keliru, karena dimanapun yang namanya proses pembelajaran setelah menyelesaikan sebuah program harus dilakukan evaluasi atau ujian. Bila tidak, maka tidak dapat diketahui keberhasilan pembelajaran itu. Namun demikian, mungkin ke depan UN teknisnya harus direvisi. UN harus selaras dengan karakter kurikulum yang berlaku di Sekolah. Apabila pendekatan yang digunakan adalah KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) maka ujian nasional pun harus senapas dan selaras dengan kurikulum itu. Bisa dikatakan UN yang sekarang hanya mengukur domain kognitif saja, pada hal dalam KTSP pendekatannya sudah pada domain kompetensi.
Pendekatan Sampel dalam UN
Bila pemerintah hanya ingin mengetahui standar pendidikan nasional, mengapa tidak pelaksanaan ujian nasional dilakukan dengan menggunakan sampel. Artinya tidak semua sekolah diuji tapi hanya beberapa sekolah saja yang merepresentasikan sekolah di daerah itu, karena Bila kita aplikasikan ilmu statistic apa yang terjadi pada sampel akan merepresentasikan populasinya. Agar sampel itu terjaga maka pengawasan pada satu sekolah diperketat; jumlah TPI sesuai dengan jumlah kelas. Hal ini pun dapat menghemat pengeluaran biaya dan efektif penyelenggaraannya.
Sebenarnya Pola seperti ini sudah dilakukan dalam kegiatan pemilu pilpres, dimana berdasarkan hasil quick qount yang menggunakan strategi sampling hasilnya sama dengan perhitungan KPU yang dilakukan secara manual berdasarkan jumlah yang ada diseluruh Indonesia.
Bagaimana yang bukan sampling? Sekolah yang bukan sampel tetap dilakukan ujian nasional tetapi pelaksanaannya tidak seperti pada sekolah sampel. Pengawasan hanya dilakukan oleh guru yang disilang dari sekolah yang berbeda. Selain itu, kelulusan melibatkan juga peran sekolah. Hasil akhir UN adalah gabungan nilai-nilai UN dan Ujian Sekolah (domain afektif serta psikomotornya disertakan). Dengan cara ini, peran sekolah sangat diapresiasi dalam proses pembelajaran, karena dalam evaluasi sebaiknya yang memberikan penilaian atau menentukan kelulusan adalah mereka yang betul-betul terlibat dalam proses pembelajaran.
Pengawasan
Idealnya proses pendidikan berjalan secara humanis, akademis, dan didaktis. Bukan unsur politis dan hukum. Dalam pelaksanaannya Jangan samakan Ujian Nasional dengan pemilihan umum. Dalam pengawasan UN yang terlibat hendaknya orang yang terlibat dalam ranah pendidikan sehingga bila terjadi problematika dalam penyelenggaraan ujian dapat diselesaikan dengan pendekatan akademis dan didaktis. Hadirnya polisi dalam ujian nasional (tanpa menyampingkan peran polri) adalah baik tapi ini akan memberi dampak psikologis bagi siswa seperti kecemasan dan seperti orang pesakitan (dicurigai). Bila ini terjadi maka siswa akan tidak konsentrasi dan ketakutan dalam melakukan ujian sehingga berdampak tidak maksimalnya mengerjakan ujian. Sepertinya hanya ada di Indonesia ujian sekolah diawasi oleh polisi. Stigma negative pun akan muncul, seperti pendidikan kita cenderung manipulative dan tidak jujur, sehingga orang luar akan meragukan kualitas pendidikan Indonesia.
Di atas adalah pernak-pernik ujian nasional yang terjadi dalam Ujian Nasional 2010, khususnya di Banten. Semoga ke depan UN tahun 2011 terus diperbaiki teknis penyelenggaraannya sehingga UN yang jujur dan credible dapat terlaksana. Semoga.
Rabu, 21 April 2010
pilkada dan money politic
Pilkada Tanpa Money Politic
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd
Dalam waktu dekat ini setidaknya ada tiga daerah yang akan menghelat pesta demokrasi pada tahun 2010, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon, dan Kabupaten Serang. Tentunya aktivitas politik akan sangat tinggi terutama yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses. Adalah hal yang wajar jika tim sukses (timses) ingin calonnya menjadi pemenang dalam pilkada. Tentunya mereka akan berjuang habis-habisan mulai dari tahap pencalonan, tahap kampanye, dan tahap pemilihan. Segala kesempatan yang ada dimanfaatkan untuk pencitraan calonnya. Namun demikian, kita tidak berharap mereka melakukan hal yang negative: seperti money politic dan black campaign seperti yang terjadi pada tahun 2009 di beberapa daerah. Ibarat marketing produk, mereka akan ‘jor-joran’ memberikan ‘bonus’ pada calon pembelinya agar tertarik dan membelinya.
Ramlan Surbakti wakil KPU, dalam suatu kesempatan, mengidentifikasi empat hal yang dapat menjadi potensi praktik politik uang (money politic) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan UU. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat mempengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa. Terakhir, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon.
Dari empat hal diatas nampanya secara kontekstual memiliki kesamaan dengan kondisi kabupaten dan kota yang ada di Banten, bila melihat jumlah pemilih dan calon yang bersaing. Dua variable yang sangat berperan disini adalah uang dan kekuasaan. Dengan uang yang besar seseorang dapat dengan bebas memilih perahu sesuka hatinya, bagi pemilik perahu yang penting bayarannya. Kemudian dengan uang yang besar, dimungkinkan dapat ‘membeli’ suara pemilih. Dengan kekuasaan yang besar seorang calon dapat dengan mudah menggunaan fasilitas yang ada yang berkaitan dengan jabatannya. Selain itu dia bisa menghimpun pengusaha ‘berduit’ untuk mendukungnya, tentunya dengan deal dan kontrak plitik yang jelas harus menguntungkan, karena tidak ada satupun pengusaha yang mau merugi. Bila ini terjadi, jelaslah yang menderita masyarakat itu sendiri.
Bagaimana mencegah politik uang
Bukanlah hal yang mudah mencegah poltik uang, tapi juga tidak sulit bila kita mempunyai keinginan memberantas politik uang. Setidaknya ada empat hal yang dapat dilakukan yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri, dan pendidikan poltik bagi masyarakat.
Pertama mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye harus transparan dan komprehensif. Memang benar calon boleh mendapatkan dana dari pihak ketiga dan itu pun ada aturannya, tetapi,ada calon mengeluarkan atau mendapatkan sumbangan dari pihak ketiga sebelum pencalonan dan tidak dicatatkan dalam rekeningnya pada saat mendaftarkan diri menjadi calon. Jadi yang tampak pada rekening hanya saldo diluar pengeluaran-pengeluaran sebelumnya. Disini KPUD harus cermat da kritis melihat aliran dana yang ada atau digunakan oleh calon, dengan demikian akan tampak kewajaran atau ketidak wajaran. Bahkan apabila menggunakan uang Negara atau fasilitas Negara, itu harus dikembalikan. Dan bagi calon yang memiliki kekayaan yang besar harus jelas asal-muasal uang itu, apakah perolehannya itu wajar atau tidak. Kita berharap tidak ada uang yang tidak jelas seperti rekening yang dimiliki Gayus Tambunan.
Penegakan hukum harus ketat dan tegas. Dalam kasus politik uang, banyak terungkap kasusnya tetapi tidak sampai rampung. Mungkin belum pernah ada salah seorang calon yang terkena hukuman karena politik uang yang dilakukan timsesnya dan yang ditangkap hanya oknum dilapangan saja padahal jelas komandonya ada pada calon itu. Bagi masyarakat juga sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pilkada akan banyak bantuan baik berupa barang maupun uang ketika saat kampanye, dan ‘amplop kadeudeuh’ pada saat pemilihan atau sering disebut dengan serangan fajar. Mirisnya, Masyarakat pun jadi bingung ketika menerima amplop dari semua tim ses calon melalui korwilnya masingmasing. Bila sudah terjadi seperti ini, apakah mungkin semua calon digagalkan? Ini adalah hal serius yang harus dipikirkan jalan keluarnya oleh penegak hukum dan tentunya KPUD. Sebetulnya kasus politik uang sama seperti kasus kolusi/suap, jadi yang diberi uang atau menerima uang harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Salah satu kelemahan memberantas poltik uang adalah aturan yang masih mengambang tidak jelas, dan celah ini dimanfaatkan oleh cukong politik. Oleh karena itu KPU/KPUD harus mengeluarkan aturan yang dapat mengatasi masalah ini.
Selanjutnya yang harus dilakukan adalah pengorganisasian pemilih (organize voters). Sudah saatnya, untuk meminimalisir politik uang dengan melakukan pengorganisasian pemilih. Dengan demikian, pemilih disini adalah pemilih yang sadar dan rasional. Mereka memilih berdasarkan keseuaian calon dengan kebutuhan pemilih. Jadi dengan organized voter ini dapat diorganisir kelompok memilih untuk mendata kebutuhan daerah mereka kemudian melakukan kontrak politik dengan partai. Jadi kontribusi kebijakan dari organized voter ini sangat jelas terhadap kemajuan daerah mereka . siapapun calonnya yang penting mendukung program Organized voter. Menurut Ramlan, organized voter bisa diharapkan untuk meng-counter praktik politik uang. Menurutnya, organized voter ini terbukti cukup ampuh di sejumlah negara maju dalam mengurangi praktik politik uang. Bila organized voter itu tertata dengan rapi, maka akan sangat positif untuk meredam politik uang. Bahkan suatu ketika kalau organized voter bertumbuh baik akan berhadapan dengan organized crime atau cukong politik dalam pilkada.
Terakhir upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, baik oleh parpol maupun ormas. Masyarakat perlu dibekali pendidikan politik tentang esensi pilkada apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam pilkada sehingga tidak terjadi lagi masyarakat awam menjadi korban politik oleh sekelompok orang yang ingin memperjuangkan kepentingan dengan cara yang tidak benar.
Harapan untuk terjadinya pilkada tanpa politik uang bukanlah hal yang tidak mungkin. Ini akan menjadi kenyataan ketika semua pihak; baik itu KPU, LSM, ormas, Calon dan timnya, serta masyarakat secara serius menghentikan praktek ini. Semua pihak diharapkan mengawasi jalannya proses tahapan pilkada, dengan demikian akan membatasi ruang gerak oknum yang akan melakukan kecurangan. Kita memang miskin tapi jangan biarkan uang membeli harga diri kita. Ingat pilihan kita menentukan masa depan kita lima tahun kedepan.
Oleh: Yudi Juniardi,M.Pd
Dalam waktu dekat ini setidaknya ada tiga daerah yang akan menghelat pesta demokrasi pada tahun 2010, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon, dan Kabupaten Serang. Tentunya aktivitas politik akan sangat tinggi terutama yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses. Adalah hal yang wajar jika tim sukses (timses) ingin calonnya menjadi pemenang dalam pilkada. Tentunya mereka akan berjuang habis-habisan mulai dari tahap pencalonan, tahap kampanye, dan tahap pemilihan. Segala kesempatan yang ada dimanfaatkan untuk pencitraan calonnya. Namun demikian, kita tidak berharap mereka melakukan hal yang negative: seperti money politic dan black campaign seperti yang terjadi pada tahun 2009 di beberapa daerah. Ibarat marketing produk, mereka akan ‘jor-joran’ memberikan ‘bonus’ pada calon pembelinya agar tertarik dan membelinya.
Ramlan Surbakti wakil KPU, dalam suatu kesempatan, mengidentifikasi empat hal yang dapat menjadi potensi praktik politik uang (money politic) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan UU. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat mempengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa. Terakhir, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon.
Dari empat hal diatas nampanya secara kontekstual memiliki kesamaan dengan kondisi kabupaten dan kota yang ada di Banten, bila melihat jumlah pemilih dan calon yang bersaing. Dua variable yang sangat berperan disini adalah uang dan kekuasaan. Dengan uang yang besar seseorang dapat dengan bebas memilih perahu sesuka hatinya, bagi pemilik perahu yang penting bayarannya. Kemudian dengan uang yang besar, dimungkinkan dapat ‘membeli’ suara pemilih. Dengan kekuasaan yang besar seorang calon dapat dengan mudah menggunaan fasilitas yang ada yang berkaitan dengan jabatannya. Selain itu dia bisa menghimpun pengusaha ‘berduit’ untuk mendukungnya, tentunya dengan deal dan kontrak plitik yang jelas harus menguntungkan, karena tidak ada satupun pengusaha yang mau merugi. Bila ini terjadi, jelaslah yang menderita masyarakat itu sendiri.
Bagaimana mencegah politik uang
Bukanlah hal yang mudah mencegah poltik uang, tapi juga tidak sulit bila kita mempunyai keinginan memberantas politik uang. Setidaknya ada empat hal yang dapat dilakukan yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri, dan pendidikan poltik bagi masyarakat.
Pertama mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye harus transparan dan komprehensif. Memang benar calon boleh mendapatkan dana dari pihak ketiga dan itu pun ada aturannya, tetapi,ada calon mengeluarkan atau mendapatkan sumbangan dari pihak ketiga sebelum pencalonan dan tidak dicatatkan dalam rekeningnya pada saat mendaftarkan diri menjadi calon. Jadi yang tampak pada rekening hanya saldo diluar pengeluaran-pengeluaran sebelumnya. Disini KPUD harus cermat da kritis melihat aliran dana yang ada atau digunakan oleh calon, dengan demikian akan tampak kewajaran atau ketidak wajaran. Bahkan apabila menggunakan uang Negara atau fasilitas Negara, itu harus dikembalikan. Dan bagi calon yang memiliki kekayaan yang besar harus jelas asal-muasal uang itu, apakah perolehannya itu wajar atau tidak. Kita berharap tidak ada uang yang tidak jelas seperti rekening yang dimiliki Gayus Tambunan.
Penegakan hukum harus ketat dan tegas. Dalam kasus politik uang, banyak terungkap kasusnya tetapi tidak sampai rampung. Mungkin belum pernah ada salah seorang calon yang terkena hukuman karena politik uang yang dilakukan timsesnya dan yang ditangkap hanya oknum dilapangan saja padahal jelas komandonya ada pada calon itu. Bagi masyarakat juga sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pilkada akan banyak bantuan baik berupa barang maupun uang ketika saat kampanye, dan ‘amplop kadeudeuh’ pada saat pemilihan atau sering disebut dengan serangan fajar. Mirisnya, Masyarakat pun jadi bingung ketika menerima amplop dari semua tim ses calon melalui korwilnya masingmasing. Bila sudah terjadi seperti ini, apakah mungkin semua calon digagalkan? Ini adalah hal serius yang harus dipikirkan jalan keluarnya oleh penegak hukum dan tentunya KPUD. Sebetulnya kasus politik uang sama seperti kasus kolusi/suap, jadi yang diberi uang atau menerima uang harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Salah satu kelemahan memberantas poltik uang adalah aturan yang masih mengambang tidak jelas, dan celah ini dimanfaatkan oleh cukong politik. Oleh karena itu KPU/KPUD harus mengeluarkan aturan yang dapat mengatasi masalah ini.
Selanjutnya yang harus dilakukan adalah pengorganisasian pemilih (organize voters). Sudah saatnya, untuk meminimalisir politik uang dengan melakukan pengorganisasian pemilih. Dengan demikian, pemilih disini adalah pemilih yang sadar dan rasional. Mereka memilih berdasarkan keseuaian calon dengan kebutuhan pemilih. Jadi dengan organized voter ini dapat diorganisir kelompok memilih untuk mendata kebutuhan daerah mereka kemudian melakukan kontrak politik dengan partai. Jadi kontribusi kebijakan dari organized voter ini sangat jelas terhadap kemajuan daerah mereka . siapapun calonnya yang penting mendukung program Organized voter. Menurut Ramlan, organized voter bisa diharapkan untuk meng-counter praktik politik uang. Menurutnya, organized voter ini terbukti cukup ampuh di sejumlah negara maju dalam mengurangi praktik politik uang. Bila organized voter itu tertata dengan rapi, maka akan sangat positif untuk meredam politik uang. Bahkan suatu ketika kalau organized voter bertumbuh baik akan berhadapan dengan organized crime atau cukong politik dalam pilkada.
Terakhir upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, baik oleh parpol maupun ormas. Masyarakat perlu dibekali pendidikan politik tentang esensi pilkada apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam pilkada sehingga tidak terjadi lagi masyarakat awam menjadi korban politik oleh sekelompok orang yang ingin memperjuangkan kepentingan dengan cara yang tidak benar.
Harapan untuk terjadinya pilkada tanpa politik uang bukanlah hal yang tidak mungkin. Ini akan menjadi kenyataan ketika semua pihak; baik itu KPU, LSM, ormas, Calon dan timnya, serta masyarakat secara serius menghentikan praktek ini. Semua pihak diharapkan mengawasi jalannya proses tahapan pilkada, dengan demikian akan membatasi ruang gerak oknum yang akan melakukan kecurangan. Kita memang miskin tapi jangan biarkan uang membeli harga diri kita. Ingat pilihan kita menentukan masa depan kita lima tahun kedepan.
Langganan:
Postingan (Atom)