Saat ini Untirta sedang mengalami krisis kepemimpinan, walaupun sudah dilakukan pemilihan rektor (pilrek) tetapi rektor saat ini dijabat oleh rektor lama. Bila melihat sejenak ke belakang, beberapa waktu lalu telah dilakukan pemilihan rektor, dan anggota senat universitas bersama menteri Kemendiknas (yang diwakili dirjen dikti) dengan suara telak menetapkan Prof Dr Sholeh Hidayat (SH) sebagai rektor terpilih.
Bagi keluarga besar Untirta ini ‘mungkin’ kemenangan Untirta dan bersama. Prof Sholeh membuat sejarah baru, orang Untirta pertama yang menjadi rektor Untirta, karena periode sebelumnya rektor berasal dari luar Untirta. Cerita singkatnya, pada putaran pertama dan kedua kalah oleh calon rektor Prof. Azzumardy Azzra, Ph.D namun di putaran pemilhan/penetuan berhasil menang telak 30 suara dan calon lainnya, Azzumardy Azra 13 dan Dr. Sihabudin 3.
Hanya yang menjadi kegelisahan dan pertanyaan di kalangan civitas akademika mengapa sampai saat ini menteri belum melantik malah memberikan perpanjangan jabatan kepada rektor lama untuk menjabat sampai terpilih rektor definitif. Bukankah hasil pilrek sudah jelas siapa rektor terpilih dan definitifnya. Alih-alih melantik, Kemendiknas menyerahkan kepada rektor untuk menuntaskan masalah yang harus diselesaikan berkaitan dengan calon terpilih yaitu masalah plagiasi.
Mengapa ini terjadi? Pepatah lama mengatakan “tidak ada asap kalau tidak ada api” indikasinya adalah beberapa waktu setelah Prof Sholeh terpilih menjadi rektor Untirta ada beberapa pihak baik di dalam senat universitas maupun di luar senat universitas mengangkat kembali masalah plagiasi. Ini ditandai dengan munculnya dua tulisan di koran nasional yang isinya menyayangkan terpilihnya plagiator sebagai rektor dan adanya surat kepada Kemendiknas yang keberatan dan menyoal rektor terpilih.
Cari Solusi bukan polemik
Melihat problematik di atas sebaiknya semua pihak yang berkepentingan civitas akademika Untirta duduk bersama-sama menggunakan mekanisme yang ada seperti forum senat untuk membahas masalah ini. Bukan sebaliknya digembar-gembor di luar. Karena masalah yang bersifat akademis harus diselesaikan melalui forum akademis.
Namun menjadi agak ruwet, hemat penulis, ketika yang diangkat bukan lagi masalah plagiasi yang erat kaitannya dengan hal akademis, tetapi lebih kepada kekuasaan politik praktis upaya menggagalkan rektor terpilih untuk dilantik dan selanjutnya bukan tidak dimungkinkan akan digagalkan dan diadakan kembali pemilihan ulang.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak yang mengangkat kembali masalah plagiasi, murni politik praktis yang ujungnya akan menjatuhkan martabat seseorang dan kedudukan seseorang. Mengapa plagiasi diangkat lagi bukankah sudah selesai? Karena sebetulnya secara prosedural berdasar aturan yang berlaku dalam statuta Untirta, apabila ada masalah etika, itu disidangkan dalam komisi etika senat universitas, dan itu sudah dilakukan. Bahkan di harian ini, Syadeli Hanafi (Ketua Komisi Etika sekaligus sekretaris Senat Universitas) menyatakan dari hasil kajian komisi etika Prof Sholeh Hidayat tidak melakukan plagiasi hanya kekeliruan dalam teknis pengutipan (Radar Banten 23/3/11). Jadi sebetulnya urusan plagiasi sudah selesai. Kalaupun dianggap masih bermasalah berarti yang harus bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan adalah pihak komisi etika senat universitas.
Saya sebetulnya menanti-nanti pihak Senat Universitas atau Sholeh Hidayat melakukan hak jawab atas beberapa opini yang berkembang di media nasional karena mau tidak mau ini sudah menjadi pertaruhan nama baik lembaga. Jika komisi etika universitas ‘benar-benar’ sudah memutuskan Prof Sholeh Hidayat tidak melakukan plagiasi berdasarkan kajiannya, seharusnya menjawab dan mengajukan keberatan terhadap pihak yang masih menyoal masalah ini. Begitu juga rektor sebagai ketua senat Universitas hendaknya berdiri paling depan menghadapi prahara ini.
Politik Etis Yes, Politik Praktis No
Mau tidak mau, pilrek di Untirta akan menjadi wajah demokrasi di Banten. Idealnya proses demokrasi di kampus memberikan contoh dan tauladan bagi masyarakat. Banyak nilai moral yang bisa dipetik dari peristiwa ini seperti; kebijaksanaan, kecendekiaan, kebajikan, kebesaran hati, fair play, etika politik, dan nilai lainnya.
Singkirkan keegoan dan kepentingan kelompok. kalau ini tumbuh subur maka Untirta tidak akan pernah maju apa lagi menjadi world class university. Bila Untirta pecah yang akan dirugikan adalah civitas akademika Untirta dan secara umum masyarakat Banten. Kepada siapa lagi masyarakat akan belajar, kalau kaum cendikia saja sudah anarkis sedemikian rupa.
Kepada Mendiknas diharapkan dapat mengambil langkah solutif dan bijaksana. Bukankah ketika melakukan pemilihan rektor dan memberikan suara dilakukan dengan sadar dan penuh tanggung jawab. Jadi akan menjadi masalah baru apa bila rektor terpilih tidak dilantik. Masalah plagiasi sudah selesai di tingkat senat universitas dan mengatakan Prof Sholeh Hidayat tidak melakukan plagiasi. Keputusan senat sebagai lembaga tertinggi di universitas dalam pengambilan kebijakan dan keputusan hendaknya dihargai.
Jadi bukanlah hal yang salah seandainya menteri melantik rektor terpilih. Karena sebetulnya semua calon rektor ketika mencalonkan sudah melalui verifikasi terlebih dahulu baik yang sifatnya administratif maupun moral serta sudah sesuai dengan Permendiknas No 24/2010 tentang pengangkatan dan pemilihan rektor, juga sesuai dengan tatib pemilihan rektor Untirta (Peraturan Rektor No 146/UN 43/OT/SK/2011)
Memang setiap pilrek berakhir akan memunculkan pemenang dan yang kalah. Saya sebagai bagian dari civitas akademika Untirta berharap kita tidak melihat siapa yang menang dan kalah tetapi mari bersama-sama mengedepankan kepentingan Untirta, Pemenang merangkul yang kalah dan yang kalah menghormati yang menang. Semoga Untirta lebih maju dan keberadaanya bermanfaat untuk masyarakat Banten. Semoga.
Yudi Juniardi,M.Pd.Dip.AppLing.
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Untirta.