Jumat, 25 Juni 2010

Perlukah Pendidikan Seks di Sekolah?

Perlukah Pendidikan Seks di Sekolah?
Oleh: Yudi Juniardi, M.Pd.

Beredarnya video porno (saya lebih suka menyebutnya video tabu) yang ‘diduga’ dilakukan oleh tiga artis papan atas sangat meresahkan masyarakat. Tentunya ada ketakutan dampak negatif yang akan muncul imbas dari peristiwa ini. Belum lagi beberapa media dengan ‘getol’ melansir kabar ini dan diulang-ulang. Walaupun sudah lebih dari sepekan tetapi tetap saja menjadi bahan pemberitaan dan pembicaraan. Selain itu, pihak kepolisan dan sekolah pun melakukan razia handphone yang ada di handphone siswa dan beberapa PNS. Sedihnya adalah ketika ditemukan banyak siswa yang memiliki video tabu tersebut. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak siswa yang telah melihat video ini dan dampak apa yang terjadi setelah melihat tayangan dewasa itu.
Sebagai seorang pendidik dan orangtua, tentunya merasa resah dan ketakutan akan dampak negatif terhadap anak-anak salah satunya adalah perilaku seksual yang menyimpang dan pergaulan seks bebas. Kekhawatiran ini bertambah dengan adanya data penelitian yang menjelaskan bahwa Berdasarkan survei di 33 provinsi di Indonesia, ditemukan 62,7 persen anak-anak perempuan di tingkat SLTP dan SMA sudah tidak perawan seperti ditulis oleh Toto S.Harva, selain itu dengan data yang dirilis Pikiran Rakyat bahwa selama April sampai Juni 2008. kasus AIDS tertinggi di temukan di Jawa Barat yaitu 207 kasus" (PR/23/4). Dapat kita bayangkan jika benar demikian, berarti dari 10 siswa ada 6 orang yang sudah pernah melakukan hubungan seks bebas. Memang bila dilihat sebab akibat, tampaknya perkembangan kasus AIDS tidak terlepas karena adanya pergaulan seks bebas. Tapi anehnya dalam suatu running text disebuah televisi swasta, Mendiknas mengatakan belum perlunya pendidikan seks di sekolah, ini sangat ironis sekali.
Pendidikan Seks Diperlukan
Seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi yang begitu pesat dan canggih, tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat akan dibanjiri oleh informasi baik yang positf maupun negatif. Tentunya hal ini harus dibarengi dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang mendalam dalam hal agama, moral dan pendidikan, sehingga dapat menjadi benteng dan filter dalam memilah mana informasi yang baik atau buruk. Pada kasus video tabu, video ini sangat dengan mudah untuk diunduh kapan saja dan dimana saja tanpa harus minta ijin terlebih dahulu. Bila masyarakat sudah cukup umur dia atas 17 tahun, dewasa, dan dapat membedakan mana yang benar dan salah , tentunya kita tidak khawatir, tetapi, bagi mereka yang di bawah umur seperti siswa SD,SMP, atau SMA, ini sangat riskan karena secara psikologi mereka masih pada posisi labil, serba ingin tahu dan sedang mencari jati diri. Informasi yang paling dominan yang mereka konsumsi tentu itulah yang akan mempengaruhi perkembangan kejiwaan mereka.
Kaitannya dalam pornografi, bukan hal yang tidak mungkin mereka akan mencari tahu secara otodidak. Mengapa demikian?, karena pendidikan seks di masyarakat Indonesia yang memiliki adat budaya ketimuran masih dianggap sangat tabu bahkan dalam lingkungan keluarga pun, masih ada orang tua yang sepertinya enggan untuk menjelaskan secara rinci pertanyaan seputar seksual. Sepertinya ada pemahaman secara konvesional bahwa pada saatnya pun mereka akan “tahu dengan sendirinya”. Nah ini yang berbahaya, karena ada pepatah “mempelajari sesuatu harus ada ilmunya dan gurunya” bila tidak demikian maka akan berbahaya. Terlebih di sekolah belum ada kebijakan atau kurikulum serta muatan yang membahas tentang seksual secara khusus.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pendidikan seksual itu perlu diberikan pada anak? Tentunya bila melihat data penyimpangan perilaku seksual dan penularan AIDS di kalangan remaja perlu dilakukan usaha secara sadar dan terencana dalam mengatasi masalah ini. Setidaknya ada beberapa pihak yang paling berkepentingan seperti keluarga, sekolah, agama, dan lingkungan.
Di lingkungan keluarga, orang tua hendaknya menciptakan suasana keterbukaan agar anak dapat berkeluh kesah atau curhat berkaitan dengan problematika seksual. Orangtua dapat memberikan muatan-muatan pendidikan seksual dalam memberikan nasehat pada anak, misalnya pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, perkembangan reproduksi, dampak pergaulan bebas dan hal lainnya seiring dengan perkembangan wacana pergaulan remaja.
Di rumah juga orang tua harus mensterilisasi semua informasi yang berbau pornografi, baik media cetak, audio aupun audio visual. Bila rumah di lengkapi dengan akses internet orang tua juga harus mengawasi penggunaannya, misalnya internet hanya disimpan ditempat terbuka yang bisa dilihat oleh orang tua, penggunaan internet ditentukan dan dibatasi waktunya. Karena saat ini akses informasi yang paling cepat dan lengkap dapat diperoleh melalui internet (dunia maya) baik yang positif maupun negatif. Dan harus berdasarkan pertimbangan yang matang ketika orang tua memberikan fasilitas handphone kepada anak. Jadi ketika orangtua memberikan akses pada putera-puterinya ini berarti orang tua sudah siap untuk tindakan preventifnya.
Lingkungan sekolah juga sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku seks yang sehat. Sekolah dapat memasukkan pendidikan seks kepada siswa melalui mata pelajaran secara khusus atau integratif dengan pelajaran lain seperti, agama: norma kehidupan beragama , pendidikan kewarganegaraan: moral dan hukum, biologi: fungsi alat reproduksi, pendidikan jasmani dan kesehatan, dan sebagainya.
Di sekolah , akses atau pengaruh negatif dapat diperoleh melalui teman. Terlebih siswa SMP dan SMA kebanyakan memiliki alat komunikasi (hand phone) yang bisa akses internet, jika tidak dikontrol maka alat tersebut dikhawatirkan akan digunakan untuk kegiatan negatif, seperti menngunduh cerita,gambar, atau film porno, transaksi seks bebas dan sebagainya. Bila seperti ini sekolah juga harus memiliki kebijakan untuk mensterilisasi pornografi di sekolah dengan memberikan pemahaman pada siswa tentang dampak buruk pornografi dan melakukan “pemeriksaan” konten negatif yang ada pada alat komunikasi siswa. Sepertinya sekolah harus memiliki kebijakan yang tujuan akhirnya memberikan pendidikan seks dengan tujuan akhir terbinanya karakter yang beriman, bertakwa, tangguh, dan mandiri.
Agama pun turut berperan dalam menciptakan dan memberikan pendidikan seksual. Pendekatan pengajaran agama tidak hanya sekedar doktrin tapi juga harus aplikatif dan dikaitkan dengan wacana kekinian. Sehingga yang siswa dapatkan terasa manfaatnya dan nyata dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebetulnya dalam pelajaran agama pun kita sudah diajarkan hal yang berkaitan dengan seks seperti: nifas, haid, baligh, mandi junub, syarat nikah, wudhu, khitan, dan banyak lagi. Tapi tampaknya harus lebih dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman dan persoalan yang up to date. Misalnya hukumnya dan dampaknya seperti apa dalam agama bila melakukan seks bebas serta melihat pornografi atau menyebarkannya
Penegak hukum saat ini sedang sibuk mencari tahu kebenaran keaslian pemeran dalam video tabu itu, juga siapa yang mengunggah pertama kali video itu. Ini penting, tapi ada yang lebih penting yaitu menjaga mental dan psikologi generasi muda kita dari dampak video tabu itu. Generasi muda kita sudah kewalahan dengan adanya peredaran narkoba yang meraja lela yang sampai saat ini belum tuntas diberantas. Jangan sampai diperparah lagi dengan adanya peredaran video tabu dan pornografi yang dapat berdampak terhadap pergaulan seks bebas. Keluarga, sekolah, dan Lingkungan merupakan tiga mata rantai yang tidak boleh terputus dalam menjaga anak kita terhadap bahaya pornografi dan pergaulan seks bebas. Artinya bila salah satu komponen putus maka sia-sialah dua komponen yang lainnya. Kita tak dapat bayangkan apa yang akan terjadi pada generasi muda kita bila pendidikan seks tidak diberikan, dampak negatifnya akan multi efek: pergaulan seks bebas, narkoba, HIV, Aids, sehingga secara tidak langsung membunuh mereka. Karena bila demikian maka Mereka akan “mati dalam hidup” . Semoga kita dihindarkan dari hal yang demikian.

Critical Thinking Definition

Critical Thinking Definition